Konflik yang terjadi di kawasan itu bermula saat Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Sikka menyerahkan 500 hektar tanah adat (hutan) kepada sebuah Gereja Katolik melalui pemberian Hak Guna Usaha (HGU) kepada perusahaan yang bernama PT Diosis Agung (DIAG). Perusahaan itu dimiliki oleh Gereja Katolik (missi).
Eks-Perkebunan
Perkebunan
72
2010
PT. Nusa Ina Group Serobot Lahan Adat Latea
PT. Nusa Ina Group melakukan penyerobotan lahan milik masyarakat adat Desa Latea di Seram Utara Barat Kecamatan Seram Utara Barat Maluku Tengah. awalnya petuanan lahan adat Desa Latea diserahkan untuk digunakan oleh PT. Sutra Sejati Indonesia dan bukan kepada PT. Nusa Ina Group.
Perkebunan Kelapa Sawit
Perkebunan
73
1998
Hak Ulayat Masyarakat Adat Kampung Dukuh yang 'Terampas'
Perlakuan Perhutani kepada masyarakat pada masa lalu yang telah menjadikan lahan garapan masyarakat menjadi perkebunan jati yang pada prinsipnya merugikan masyarakat setempat
Perum Perhutani
Perkebunan
74
2010
PTPN VII vs Masyarakat Adat Serawai Semidang Sakti
Warga mempertahankan tanahnya yang telah digusur oleh perusahaan. Terjadi pelecehan (HAM) terhadap 5 perempuan adat. (catatan tanggal dan bulan waktu kejadian hanya perkiraan)
Perkebunan Kelapa Sawit
Perkebunan
75
2011
Kriminalisasi Masyarakat Adat Punan Setarap dalam Memperjuangkan Haknya
Pada tahun 1970-an, masyarakat adat Punan Setarap memilih berdiam diri karena pemahaman bahwa hutan negara dan masyarakat adat tak berhak apapun atas hutan dan kayu yang dikeluarkan dari kawasan hutan. Pada tahun 2000-an, masyarakat adat Punan Setarap mengambil sikap atas penebangan hutan adat oleh CV Luhur Perkasa yang tanpa persetujuan mereka.
Perkebunan Kelapa Sawit
Perkebunan
76
2010
Ingkar Janji Pinjam Pakai Lahan oleh PTPN VII terhadap Masyarakat Adat Pering
Lahan masyarakat di pinjam oleh PTPN VII selama 25 tahun dan seharusnya berakhir pada Februaril 2010. Namun PTPN VII tidak segera mengembalikan tanah tersebut, tetapi menjanjikan akan mengembalikan kpd masyarakat pemilik lahan.
PTPN
Perkebunan
77
2010
Sabotase Lahan Milik Masyarakat Adat Pekal oleh PT Grand Jaya Niaga
Lahan perkebunan milik warga Desa Air Jabi dijual oleh beberapa oknum mantan perangkat desa itu sendiri kepada PT Grand tanpa sepengetahuan oleh warga pemilik, sedangkan sebelumnya warga desa sudah memperingatkan pada pihak perusahaan bahwa lahan mereka tidak dijual karena lahan tersebut merupakan sumber penghidupan warga yang mereka peroleh dari nenek moyang mereka dan diwariskan secara turun temurun ke anak cucunya
Perkebunan Kelapa Sawit
Perkebunan
78
1965
Sengketa Lahan Antara PT Sumber Manggis dan Masyarakat Desa Jogomulyan, Malang
Perkebunan yang berada di Desa Jogomulyan, Kecamatan Tirtoyudo, Malang, pada awal mulanya merupakan sebuah perkebunan yang dikuasai oleh kolonial Belanda yang diberikan melalui hak erfpacht, namun kemudian karena Belanda pada tahun 1942 menyerah tanpa syarat kepada penjajah Jepang lahan perkebunan menjadi terlantar. Setelah kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, masyarakat petani yang dahulu menjadi pekerja paksa perkebunan Belanda tersebut mulai memberanikan dan mengorganisir diri mereka untuk menguasai perkebunan bekas hak erfpacht tersebut. Masyarakat mulai menanami tanaman yang mereka inginkan, yang pada umumnya berupa tanaman pangan seperti padi dan ketela.
Eks-Perkebunan
Perkebunan
79
1959
Sengketa Lahan antara TNI AD dan Petani Desa Sukorejo, Jember
Pada awal abad ke 19, banyak migran yang berasa dari banyak daerah bermigrasi ke wilayah-wilayah yang masih berupa kawasan hutan untuk dibuka atau dibabat sebagai lahan pertanian ataupun perkebunan. Tak terkecuali kolonalis Belanda yang pada awal abad 19 terus melakukan eksplorasi hingga ke timur Pulau Jawa. Salah satu wilayah tersebut adalah Jember yang memiliki tanah yang subur untuk pelbagai macam jenis komoditas. Seorang yang bernama Onderneemer George Birnie menemukan lahan potensial unuk budidaya tanaman tembakau yang berada di Keresidenan Besuki yang pada 1858 mulai merintis wilayah yang secara umum masih merupakan kawasan hutan. Dengan modal yang dimiliki, Birnie, mengdatangkan para migran dan juga para pendatang lainnya untuk bekerja (secara paksa) padanya merintis kawasaan hutan tersebut dan juga membangun rel Penarukan-Klakah guna percepatan sarana distirbusi dan produksi. Kawasan yang telah dirintisnya akhirnya diajukan kepada pemerintah Belanda guna membuka perusahaan perkebunan tembakau. Pada 1870 terbitlah hak erfpacht untuk pengelolaan perkebunan selama 75 tahun oleh sebuah perusahaan Belanda bernama Landbouw Matschapij Ould Djember (LMOD). Hak erfpacht yang dimiliki oleh LMOD salah satunya adalah yang berada di wilayah Sukorejo melalui hak erfpacht NV LMOD Verponding No. 414.
Eks-Perkebunan
Perkebunan
80
1981
Konflik PG Cinta Manis, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan
Pada awal mulanya PTPN VII merupakan bekas perkebunan kolonial Belanda. Masyarakat yang menjadi pekerja-pekerja paksa di perkebunan Belanda itu masih menggarap lahan hingga 1942, ketika Belanda menyerah kepada Jepang. Nasionalisasi perkebunan eks hak erfpacht tersebut baru dapat dinasionalisasi pada 10 November 1957. Secara legal formal diterbitkan lah PP No. 14 yang dilanjutkan PP No. 114-175 pada tahun 1959. Kemudian, perkebuanan tersebut dibagi menjadi beberapa unit-unit usaha berdasarkan jenis komoditas pada tahun 1963 yang banyak di antaranya adalah perkebunan karet.