Hilangnya Wilayah Kelola Masyarakat Desa Bagan Limbur
hutan
Hutan Produksi
62
2009
Hilangnya Wilayah Kelola Masyarakat Desa Mekar Sari
hutan
Hutan Produksi
63
2009
Hilangnya Wilayah Kelola Masyarakat Desa Lukit
hutan
Hutan Produksi
64
2014
Konflik konsesi lahan Masyarakat Adat Malind Teluk Wodama
Masyarakat adat tampak belum mendapatkan pengakuan penuh dari Pemerintah Kabupaten Merauke. Salah satu terlihat dari Rencana Tata Ruang Wilayah Merauke, belum memasukkan wilayah-wilayah adat. Masyarakat adat Malind Anim mendiami 20 Distrik 160 Kampung dan delapan kelurahan dengan luas kabupaten 45.071 kilometer persegi tetapi tak ada dalam RTRW. Baru, tempat-tempat adat sakral yang masuk RTRW. Perusahaan datang tanpa kesepakatan langsung menggusur dan
membongkar hutan kami. Hutan dan dusun-dusun kami dirusak
dan kita sulit sekarang mendapatkan binatang buruan yang
biasanya mudah untuk ditemukan. Kami menyadari selama ini
hak -hak kami terabaikan oleh semua pihak yang punya
kepentingan dengan kekayaan alam di hutan kami. Sebagai
masyarakat kami menuntut ada keadilan menyangkut hak- hak
adat kami. Kita berharap pemerintah tidak tutup mata dari kami.
(Doni Saba, tokoh masyarakat adat Wandamen, 2014.)
hutan
Hutan Produksi
65
2014
MA Punan Dulau Vs PT Intracawood Manufacturing
Masyarakat Dayak Punan dinilai menjadi korban dalam konflik lahan dengan perusahaan. Ini menunjukkan bahwa pemberian izin lokasi kepada perusahaan tidak sesuai prosedur sehingga masyarakat tersingkir dari hutan adat mereka sendiri. Intracawood mulai merambah hutan adat Punan Dulau dan Ujang sejak 1988. Dengan berbekal izin HPH dari Kementerian Kehutanan, mereka menguasai hutan adat Dayak Punan tanpa ada sosialisasi dan persetujuan dari masyarakat setempat. MA Punan Dulau merasa ditipu, diabaika dan diadudomba
hutan
Hutan Produksi
66
2014
Hutan Pinus dan Harapan Perempuan Adat Matteko
Pemberian Konsesi kepada Perusahaan
Ketika pohon pinus mulai dewasa, masalah baru kembali datang.
Ancaman yang diterima oleh masyarakat adat Matteko tidak hanya
berasal dari Dinas Kehutanan, melainkan juga dari pihak perusahaan.
Hingga saat ini, terhitung hutan pinus di Matteko sudah berpindah
tangan ke 3 perusahaan, yakni PT Wigas (hingga 1999), PT Maju Lurus
(hingga 2001), dan PT Adimitra Pinus Utama yang memegang hak
konsesi sejak 2007 hingga sekarang. PT Adimitra mengajukan
permohonan izin penyadapan getah pinus kepada Pemerintah
Kabupaten Gowa sejak tahun 2006. Pemerintah Kabupaten Gowa
kemudian mengeluarkan rekomendasi tentang izin penyadapan dengan
Nomor: 503/026/Ekonomi.
Dinas Kehutanan Kabupaten Gowa kemudian menindaklanjuti surat
rekomendasi tersebut dengan perjanjian kerja sama dengan PT Adimitra
Pinus Utama dengan Nomor: 522.2/25/V/2007/Dishut pada tanggal 14
Mei 2007. PT Adimitra diberikan izin penyadapan hingga tahun 2018
mendatang.
Ketika perusahaan yang diberi hak konsesi mulai masuk, masyarakat
adat Matteko diminta bekerja sebagai tenaga penyadap dengan imingiming
upah bulanan. Pada
saat perusahaan mengajak masyarakat
menyadap,
metode
yang
digunakan sama dengan yang
digunakan Dinas
Kehutanan
ketika
mengajak masyarakat
menanam pinus. Perusahaan
mulanya
mendekati tokoh
masyarakat.
Tokoh
masyarakat
ini yang
kemudian
menyampaikan
kepada
masyarakat
tentang
rencana
penyadapan
tersebut.
Tanpa
rasa
keberatan,
masyarakat,
khususnya
para
perempuan
mulai bekerja
sebagai penyadap.
Apalagi, mereka
tidak
hanya
diiming-imingi gaji bulanan. Menurut Ibu Salmah, perusahaan
menjanjikan
bahwa warga
yang
bekerja
sebagai penyadap
diperbolehkan
mengambil
dahan pinus yang
jatuh untuk kayu bakar.
Sementara
yang
tidak
mau menyadap,
tidak akan mendapatkan apa-apa.
Karena janji tersebut, Ibu Salmah, seperti juga halnya perempuanperempuan
adat lainnya,
bersedia
bekerja
sebagai penyadap.
Apalagi, ia
membayangkan
gaji bulanan yang
akan diperolehnya
kelak.
Biasanya,
Ibu
Salmah hanya
membantu suaminya
di sawah. Ketika penyadapan
mulai
dilakukan, ia dan suaminya
menyadap
getah
bersama-sama.
Mereka
menyadap
sambil tetap
mengerjakan sawahnya.
Di Matteko,
penyadapan memang dilakukan secara berkelompok, bukan sendiri-
sendiri. Masyarakat yang menyadap biasanya mengajak anggota
keluarganya masing-masing. Sebab jika menyadap sendiri, hasilnya
tidak seberapa. Betapa tidak, dalam sehari, setiap batang pohon pinus
hanya bisa menghasilkan getah sebanyak kurang lebih 3 gram. Getah
yang dihasilkan penyadap dikumpulkan dan ditimbang setiap 2 kali
dalam sebulan. Oleh karena itu, jika penyadapan dilakukan secara
berkelompok, hasilnya akan lebih banyak. Hal ini pula yang dilakukan
oleh keluarga Ibu Nuraeni. Ia menyadap getah pinus bersama 4 orang
anaggota keluarganya yang lain. Ibu Nuraeni adalah salah seorang
warga Matteko yang masih bertahan menjadi penyadap getah pinus.
Tidak seperti Ibu Salmah yang akhirnya berhenti, Ibu Nuraeni terpaksa
bertahan menyadap karena tidak ada pilihan sumber pendapatan tambahan lain. Dalam sebulan, Ibu Nuraeni bersama kelompoknya bisa
menghasilkan Rp600 ribu.
Gaji yang cukup minim tentu saja tidak lantas membuat penyadap puas.
Mereka sadar bahwa gaji tersebut tidak sebanding dengan tenaga dan
waktu yang mereka habiskan di dalam hutan pinus. Di sisi lain, pihak
perusahaan juga ternyata tidak menepati janjinya kepada masyarakat
untuk diberi izin mengambil kayu. Kenyataan yang ada, perusahaan
malah menjadi ancaman baru bagi masyarakat adat Matteko. Secara
tidak langsung, pihak perusahaan turut mengawasi aktivitas
masyarakat.
hutan
Hutan Produksi
67
2016
Perampasan Lahan Masyarakat Adat Marga Bulang Tengah Semangus
Jauh sebelum merdeka Marga Bulang Tengah Semangus
Kecamatan Muara Lakitan Kabupaten Musi Rawas Propinsi
Sumatera Selatan telah mendiami wilayah adat mereka.
hutan
Hutan Produksi
68
2017
Wilayah adat Salaki dalam kawasan hutan
Wilayah adat Salaki dijadikaan Hutan Lindung oleh Negara pada tahun 1999. Pemerintah beberapa kali memaksa mereaka untuk direlokasi (resetlement).
hutan
Hutan Produksi
69
2017
Desa dalam kawasan hutan
Pemukiman dan kebun masyarakat (hutan adat) masuk dalam kawasan hutan sejak tahun 1999, sementara masyarakat telah lama berkebun di wilayahnya secara arif
hutan
Hutan Produksi
70
2017
Konflik Masyarakat Adat Anoi dengan Pemda Kab. Donggala
Orang Anoi yang hidup di kaki gunung Sidole bagian Barat nerupakan penduduk asli Suku Kaili yang berdialek Rai (Kori). Tahun 1998, Pemda Kab. Donggala berencana memindahkan orang Anoi (resetlement) untuk perlindungan hutan.