DATA KONFLIK

No

Tahun

Judul

Klip

Konflik

Sektor

 

521 2009 Hilangnya Wilayah Kelola Masyarakat Desa Bagan Limbur
hutan
Hutan Produksi
522 2009 Hilangnya Wilayah Kelola Masyarakat Desa Mekar Sari
hutan
Hutan Produksi
523 2009 Hilangnya Wilayah Kelola Masyarakat Desa Lukit
hutan
Hutan Produksi
524 2014 Konflik konsesi lahan Masyarakat Adat Malind Teluk Wodama Masyarakat adat tampak belum mendapatkan pengakuan penuh dari Pemerintah Kabupaten Merauke. Salah satu terlihat dari Rencana Tata Ruang Wilayah Merauke, belum memasukkan wilayah-wilayah adat. Masyarakat adat Malind Anim mendiami 20 Distrik 160 Kampung dan delapan kelurahan dengan luas kabupaten 45.071 kilometer persegi tetapi tak ada dalam RTRW. Baru, tempat-tempat adat sakral yang masuk RTRW. Perusahaan datang tanpa kesepakatan langsung menggusur dan membongkar hutan kami. Hutan dan dusun-dusun kami dirusak dan kita sulit sekarang mendapatkan binatang buruan yang biasanya mudah untuk ditemukan. Kami menyadari selama ini hak -hak kami terabaikan oleh semua pihak yang punya kepentingan dengan kekayaan alam di hutan kami. Sebagai masyarakat kami menuntut ada keadilan menyangkut hak- hak adat kami. Kita berharap pemerintah tidak tutup mata dari kami. (Doni Saba, tokoh masyarakat adat Wandamen, 2014.)
hutan
Hutan Produksi
525 2014 MA Punan Dulau Vs PT Intracawood Manufacturing Masyarakat Dayak Punan dinilai menjadi korban dalam konflik lahan dengan perusahaan. Ini menunjukkan bahwa pemberian izin lokasi kepada perusahaan tidak sesuai prosedur sehingga masyarakat tersingkir dari hutan adat mereka sendiri. Intracawood mulai merambah hutan adat Punan Dulau dan Ujang sejak 1988. Dengan berbekal izin HPH dari Kementerian Kehutanan, mereka menguasai hutan adat Dayak Punan tanpa ada sosialisasi dan persetujuan dari masyarakat setempat. MA Punan Dulau merasa ditipu, diabaika dan diadudomba
hutan
Hutan Produksi
526 2014 Hutan Pinus dan Harapan Perempuan Adat Matteko Pemberian Konsesi kepada Perusahaan Ketika pohon pinus mulai dewasa, masalah baru kembali datang. Ancaman yang diterima oleh masyarakat adat Matteko tidak hanya berasal dari Dinas Kehutanan, melainkan juga dari pihak perusahaan. Hingga saat ini, terhitung hutan pinus di Matteko sudah berpindah tangan ke 3 perusahaan, yakni PT Wigas (hingga 1999), PT Maju Lurus (hingga 2001), dan PT Adimitra Pinus Utama yang memegang hak konsesi sejak 2007 hingga sekarang. PT Adimitra mengajukan permohonan izin penyadapan getah pinus kepada Pemerintah Kabupaten Gowa sejak tahun 2006. Pemerintah Kabupaten Gowa kemudian mengeluarkan rekomendasi tentang izin penyadapan dengan Nomor: 503/026/Ekonomi. Dinas Kehutanan Kabupaten Gowa kemudian menindaklanjuti surat rekomendasi tersebut dengan perjanjian kerja sama dengan PT Adimitra Pinus Utama dengan Nomor: 522.2/25/V/2007/Dishut pada tanggal 14 Mei 2007. PT Adimitra diberikan izin penyadapan hingga tahun 2018 mendatang. Ketika perusahaan yang diberi hak konsesi mulai masuk, masyarakat adat Matteko diminta bekerja sebagai tenaga penyadap dengan imingiming upah bulanan. Pada saat perusahaan mengajak masyarakat menyadap, metode yang digunakan sama dengan yang digunakan Dinas Kehutanan ketika mengajak masyarakat menanam pinus. Perusahaan mulanya mendekati tokoh masyarakat. Tokoh masyarakat ini yang kemudian menyampaikan kepada masyarakat tentang rencana penyadapan tersebut. Tanpa rasa keberatan, masyarakat, khususnya para perempuan mulai bekerja sebagai penyadap. Apalagi, mereka tidak hanya diiming-imingi gaji bulanan. Menurut Ibu Salmah, perusahaan menjanjikan bahwa warga yang bekerja sebagai penyadap diperbolehkan mengambil dahan pinus yang jatuh untuk kayu bakar. Sementara yang tidak mau menyadap, tidak akan mendapatkan apa-apa. Karena janji tersebut, Ibu Salmah, seperti juga halnya perempuanperempuan adat lainnya, bersedia bekerja sebagai penyadap. Apalagi, ia membayangkan gaji bulanan yang akan diperolehnya kelak. Biasanya, Ibu Salmah hanya membantu suaminya di sawah. Ketika penyadapan mulai dilakukan, ia dan suaminya menyadap getah bersama-sama. Mereka menyadap sambil tetap mengerjakan sawahnya. Di Matteko, penyadapan memang dilakukan secara berkelompok, bukan sendiri- sendiri. Masyarakat yang menyadap biasanya mengajak anggota keluarganya masing-masing. Sebab jika menyadap sendiri, hasilnya tidak seberapa. Betapa tidak, dalam sehari, setiap batang pohon pinus hanya bisa menghasilkan getah sebanyak kurang lebih 3 gram. Getah yang dihasilkan penyadap dikumpulkan dan ditimbang setiap 2 kali dalam sebulan. Oleh karena itu, jika penyadapan dilakukan secara berkelompok, hasilnya akan lebih banyak. Hal ini pula yang dilakukan oleh keluarga Ibu Nuraeni. Ia menyadap getah pinus bersama 4 orang anaggota keluarganya yang lain. Ibu Nuraeni adalah salah seorang warga Matteko yang masih bertahan menjadi penyadap getah pinus. Tidak seperti Ibu Salmah yang akhirnya berhenti, Ibu Nuraeni terpaksa bertahan menyadap karena tidak ada pilihan sumber pendapatan tambahan lain. Dalam sebulan, Ibu Nuraeni bersama kelompoknya bisa menghasilkan Rp600 ribu. Gaji yang cukup minim tentu saja tidak lantas membuat penyadap puas. Mereka sadar bahwa gaji tersebut tidak sebanding dengan tenaga dan waktu yang mereka habiskan di dalam hutan pinus. Di sisi lain, pihak perusahaan juga ternyata tidak menepati janjinya kepada masyarakat untuk diberi izin mengambil kayu. Kenyataan yang ada, perusahaan malah menjadi ancaman baru bagi masyarakat adat Matteko. Secara tidak langsung, pihak perusahaan turut mengawasi aktivitas masyarakat.
hutan
Hutan Produksi
527 2014 tanah Masyarakat Adat sembahulun dari Masa ke Masa Taman Nasional Gunung Rinjani yang dahulunya kawasan masyarakat adat dan seluruh kekayaan yang ada di dalamnya merupakan hak masyarakat adat. Namun, sampai saat ini masyarakat adat masih merasa ketakutan memasuki kawasan tersebut, karena adanya ancaman dari pihak yang ingin menguasai wilayah adat. Masyarakat Adat Sembahulun pada masa kini, menjadi tidak berani memasuki kawasan hutan mereka sendiri sebagai akibat dari kebijakan pemerintah mengenai Hutan Negara, semenjak zaman kolonial. Masyarakat Adat Sembahulun tidak mengetahui cara untuk mempertahankan tanah yang diambil oleh oknum pejabat Kehutanan dan Perkebunan di wilayah ini. Sebagaimana tuturan Ustadz Abdurrahman Sembahulun sebagai berikut. “Pada tahun 1941, diadakan klasiran terhadap kawasan atau wilayah Kemangkuan Tanaq Sembahulun. Antara lain ada yang dijadikan tanah GG, hutan tutupan, hutan lindung, hutan Suaka Marga Satwa, dan lahan hak milik. Ada pun lahan yang dijadikan tanah GG, antara lain; Lendang Tinggi, Dalam Petung, Urat Kemitan, Kebon, Aur Ketu, Aran Puk Otak, Mercak, Dendaun, dan Selak Langan. Luas lahan yang dijadikan tanah GG sekitar 3000 ha. Lahan tutupan dan hutan lindung, antara lain Gunung Pergasingan, Gunung Anak Dara, Gunung Bao, Gunung Kukusan, Gawar Kukusan, Urat Suleman, Belukus Putek, dan Gawar Aik Kalak. Hutan Suaka Marga Satwa antara lain; Gawar Oloromba, Gawar Sebau, Pondok Mamben, Peropok, Bujangga, Lompak, Celidan, Pus-pus, Bon Jeruk, Pelar, Kanji, Ceret Merong, Koan Kalik, Urat Puk Cali, Kasia Bajang, Manto, Maletan, Urat Baras, Urat Jiring, Tengenegan, dan Pada Balong. Sedangkan, lahan yang dijadikan hak milik, antara lain Torek, Rembuk, Saklendak, Orong Dalem, Tepas, Keterik, Lahamban, Nongo, Segok, Serut, Sempaga, Monggon, Paok, Rantemas Dalem Bara Sendong Papek Belunak, Sada, Peraya, Orong Tojang, Gureja, Lauk Rura, Nangka Beleq, Rembuk, Jororng Bangket, Talun Kubur Nunggal, Lekok, Telaga, Ara Manis, Urat Lombok, Nap-Nap, Reban Dendaun, dan Manuk. Pada tahun 1950, sebagian besar lahan hak milik yang tersebut di atas dibuatkan pipil. Sekitar tahun 1960, para tokoh adat membuka kembali sebagian lahan tutupan untuk dikelola oleh masyarakat adat. Pada tahun 1979, pemerintah mengusir masyarakat dari lahannya,” tuturnya
Taman Nasional
Cagar Alam
Hutan Konservasi
528 2014 Pola kekerasan negara terhadap (Hutan) Masyarakat Adat Pekasa Pekasa merupakan salah satu komunitas masyarakat adat yang secara administrasi pemerintahan negara Republik Indonesia berada di wilayah Desa Jamu Kecamatan Lunyuk Kabupaten Sumbawa Besar Provinsi Nusa Tenggara Barat. Masyarakat Adat Pekasa memanfaatkan sumber daya alam sebagai sumber ekonomi dan sumber pangan sehari-hari. Disamping itu wilayah dan SDA juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan budaya dan spiritual khususnya untuk penyelenggaraan upacara adat. Keberadaan dan keterikatan masyarakat adat dengan wilayah dan dibuktikan dengan adanya pemukiman, kuburan leluhur, keramat dan kebun (kopi, kemiri dan tanaman lainnya).
Hutan Lindung
Hutan Lindung
529 2001 Konflik Kehutanan Taman Wisata Alam Nanggala III di Battang Barat, Palopo, Sulawesi Selatan Kawasan Hutan Konservasi TWA Nanggala III sebelumnya merupakan Kawasan Hutan Lindung yang ditunjuk berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK).
Taman Nasional
Hutan Konservasi
530 1982 Konflik Perkebunan PTPN XXVIII/PTPN XIV di Desa Uraso, Sulawesi Selatan PT Perkebunan Nusantara XIV (Persero) didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 tanggal 14 Pebruari 1995 dan Akta Notaris Harun Kamil, SH Nomor 47 tanggal 11 Maret 1996.
Perkebunan Kelapa Sawit
Perkebunan
Displaying : 521 - 530 of 561 entries, Rows/page: