DATA KONFLIK

No

Tahun

Judul

Klip

Konflik

Sektor

 

501 2008 Perambahan Hutan Larangan Adat Suku Ampang Delapan Talang Mamak Oleh PT. Selantai Agro Lestari Konflik dipicu oleh perambahan hutan untuk perkebunan sawit di rimba pusaka Penyabungan dan Pangunaan pada 2004 terjadi hingga ke Sungai Tunu yang mengancam peninggalan leluhur Talang Mamak. PT SAL yang belum memiliki HGU sudah beroperasi seenaknya dan menggusur hutan adat yang menjadi tempat bergantung hidup masyarakat.
Perkebunan Kelapa Sawit
Perkebunan
502 2014 dianiaya di tanah leluhur Dalam Peraturan Daerah Kabupaten Bengkayang No.12 Tahun 2008, tentang Penyelenggaraan Usaha Perkebunan, pada bagian ketentuan umum poin 10 disebutkan adanya kemitraan Perkebunan adalah hubungan kerja yang saling menguntungkan, menghargai, bertanggung jawab, memperkuat dan saling ketergantungan antara perusahaan perkebunan dengan pekebun, karyawan, dan masyarakat sekitar perkebunan. Sekiranya ketentuan tersebut diterapkan, maka Masyarakat Adat Desa Semunying Jaya mungkin akan menerimanya, tetapi praktik perampasan lahan, penggusuran kampung, kebun, dan lahan pertanian masyarakat atas nama pembangunan serta terjadinya kriminalisasi tokoh masyarakat, rusaknya ekosistem, situs sejarah dan struktur sosial budaya masyarakat adat Semunying Jaya menyebabkan sering terjadi konflik vertikal dan horizontal yang tidak pernah diselesaikan dengan proporsional. Itulah sebabnya kasus Semunying Jaya menjadi fokus pembahasan utama di tingkat kabupaten, provinsi, dan nasional. Pertanyaan kritis muncul, mengapa berbagai regulasi yang dikeluarkan begitu mudah dibelokan untuk keuntungan pihak pengembang usaha perkebunan (dalam hal ini PT Ledo Lestari). Sepertinya pihak pengelola perkebunan telah menjadi buta mata dan hatinya sehingga tidak mau tahu jeritan dan penderitaan masyarakat adat sebagai petani perladangan. Hal ini terungkap dari hasil wawancara pada tanggal 28 Agustus 2014, seperti dikemukakan oleh Pak Abulipah sebagai berikut: “PT Ledo Lestari di Semunying Jaya telah melakukan perampasan hak-hak atas tanah kami, dikatakan merampas karena lahan yang mereka rampas dan kerjakan merupakan lahan milik kesayangan warga kami Semunying Jaya. Lahan tersebut terus kami jaga dan bila lengah sehari saja ditinggalkan maka lahan tersebut sudah digusur perusahaan. pihak sawit menawarkan kompensasi paksa untuk lahan tersebut, bila menolak kompensasi, maka lahan tersebut diambil begitu saja. Sesungguhnya, kami tidak pernah rela menyerahkan lahan kami kepada perusahaan walaupun pada kenyataannya lahan tersebut telah ditumbuhi pohon sawit. Jangan dikira kami mau menjual tanah-tanah kami tersebut.” Tegas Abulipah dengan penuh keyakinan. Abulipah berkeyakinan bahwa akan ada masanya kejahatan itu akan dipatahkan oleh kebenaran.
Perkebunan Kelapa Sawit
Perkebunan
503 1986 Kenegerian Batu Sanggan dengan Kawasan Suaka Margasatwa
Cagar Alam
Hutan Konservasi
504 2017 MA Batulasung (Suku Dayak Meratus) Vs PT. Kodeco Timber Miso Putra Dayak menegaskan warga Dayak Meratus sudah hidup secara turun temurun, berburu dan berladang di wilayah adat atau hak ulayat untuk melangsungkan kehidupan dan penghidupan. Kini, beber dia, sejak 1968, masyarakat adat Dayak Meratus khususnya di Kabupaten Kotabaru dan Tanah Bumbu justru terus digusur dan diusir oleh korporasi atau perusahaan yang mengklaim memiliki izin dari pemerintah seperti PT Kodeco Timber, PT Jhonlin Group, dan lain sebagainya.
hutan
Hutan Produksi
505 2005 Konflik Masyrakat Kemawen denga PT. Berjaya Agro Kalimantan
Perkebunan Kelapa Sawit
Perkebunan
506 2014 Jalan Panjang Perjuangan Suku Anak Dalam (SAD) 113 Melawan Perusahaan Perkebunan Sawit PT. Asiatic Persada Konflik perebutan lahan antara PT Asiatic Persada dengan masyarakat SAD merupakan konflik lahan yang berkepanjangan. Resolusi sulit mencampai titik pangkal. Setiap konsesus berakhir dengan penghianatan ataupun kecurangan dari pihak perusahaan sehingga menimbulkan reaksi yang semakin keras dari masyarakat SAD Batin Sembilan. Perusahaan perkebunan sawit PT Asiatic Persada (semula bernama PT Bangun Desa Utama/BDU) mendapatkan izin konsesi sejak tahun 1986 melalui SK No. 46/SHSU DA/1986 berupa Hak Guna Usaha (HGU). Izin HGU PT AP tersebut dikeluarkan satu tahun setelah diterbitkannya Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jambi No. 188.4/599 Tahun 1985 tentang pencadangan tanah seluas 40 ribu ha untuk PT BDU untuk penggunaan Proyek Perkebunan Sawit. Surat Keterangan tersebut diterbitkan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD). Namun, setahun setelah diterbitkannya izin HGU PT Asiatic Persada seluas 20 ribu ha, pada tahun 1987 Balai Inventarisasi Tata Guna Hutan mengeluarkan SK yang menyatakan bahwa dari 40 ribu ha lahan yang dicadangkan untuk perkebunan PT Asiatic Persada, hanya sebesar 27.150 ha yang bisa dilepaskan untuk kepentingan perkebunan sawit perusahaan. Sementara itu, izin HGU yang sudah dikeluarkan satu tahun sebelumnya itu (1986), luasnya mencapai 20.000 ha. Saat status kawasan hutan dilepaskan untuk kepentingan perkebunan sawit tersebut, seluas 1.485 ha merupakan areal kerja HPH PT Tanjung Asa, sebesar 10.550 merupakan areal kerja HPH PT Rimba Makmur, dan sebesar 15.115 ha merupakan areal kerja HPH PT Asialog.
Perkebunan Kelapa Sawit
Perkebunan
507 2017 MA Mukim Lango Vs PT. Raja Garuda Mas Konflik ini berawal dari SK Menhut no 799/Kpts-VI/1998 yang dijadikan landasan bagi PT Raja Garuda Mas Lestari beroperasi hingga wilayah permukiman Lango sehingga mengaggu aktivitas ekonomi utama masyarakat. Konflik agraria yang terjadi di wilayah masyarakat adat mukim lango didasari dengan tidak adanya kebijakan untuk menyediakan kepastian penguasaan terhadap akses atas tanah, seumberdaya alam, wilayah kelola masyarakat termasuk pada akses bagi masyarakat adat yang berada di dalam kawasan hutan Negara. Sehingga dalam proses pemberian ijin/hak/konsesi oleh pejabat publik (Menteri kehutanan, Menteri ESDM, Kepala BPN, Gubernur dan Bupati) kepada pengusaha hutan, perkebunan dan pertambangan dengan mudah memasukkan wilayah adat/tanah/wilayah kelola/SDA kepunyaan Masyarakat Adat kedalam wilayah konsesi perusahaan tersebut. Secara kebijakan khusus di Aceh memang ada pengakuan keistimewaan dalam bidang Agama, Adat, Pendidikan dan Peran ulama, yang tertuang dalam UU Nomor 44 Tahun 1999, Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Dengan adanya UU tentang Pemerintahan Aceh no 11 tahun 2006 ini merupakan penguat dari UU sebelumnya. Akan tetapi kebijakan tersebut tidak ada yang menerangkan kepastian akan hak masyarakat adat terhadap wilayah adatnya. Selain itu juga hokum hokum adat yang telah ada dari dulunya yang terus berlaku dan berkembang dalam kehidupan masyarakat adat diabaikan dan tidak diakuainya atau dimasukannya dalam produk kebijakan perundang undangan agrarian, kehutanan dan pertambangan. Pada saat konflik bersenjata di aceh berlangsung menjadi kekuatan bagi pihak Pengusaha yang memiliki hubungan dekat dengan rezim penguasa untuk memudahkan mendapat akses terhadap penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan peruntukan tanah/hutan/Sumberdaya alam lainnya. Hal ini juga terjadi diwilayah adat Mukim Lango yang mengalami Perampasan hak atas tanah dan sumberdaya alamnya.
hutan
Hutan Produksi
508 2017 MA Matteko Vs PT. Adimitra Pinus Utama Masyarakat hukum adat Matteko berada di Desa Erelembeng, Kecamatan Tombolo Pao, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Secara geografis bentang wilayah Dusun Matteko berbukit-bukit dengan ketinggian antara 900-1.400 meter dari permukaan laut. Konflik ini muncul akibat dari mulai terbatasnya akses masyrakat terhadap kawasanya sendiri yang diperkuat dengan izin penyadapan pohon pinus yang diterbitkan oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Goa. Sehingga masyarakat merasa terintimidasi diwilayhnya sendiri.
hutan
Hutan Produksi
509 2017 Wilayah Adat Vananga Bulang
hutan
Hutan Produksi
510 2014 PT. Kalimantan Citra Lestari VS Warga Mantangai Hulu Penolakan terhadap perusahaan perkebunan sawit karena berada dalam wilayah kelola warga. Penyerobotan lahan kelola warga dan kelompok 3 tani.
Perkebunan Kelapa Sawit
Perkebunan
Displaying : 501 - 510 of 561 entries, Rows/page: