Jalan Panjang Perjuangan Suku Anak Dalam (SAD) 113 Melawan Perusahaan Perkebunan Sawit PT. Asiatic Persada
Konflik perebutan lahan antara PT Asiatic Persada dengan masyarakat
SAD merupakan konflik lahan yang berkepanjangan. Resolusi sulit
mencampai titik pangkal. Setiap konsesus berakhir dengan
penghianatan ataupun kecurangan dari pihak perusahaan sehingga
menimbulkan reaksi yang semakin keras dari masyarakat SAD Batin
Sembilan.
Perusahaan perkebunan sawit PT Asiatic Persada (semula bernama PT
Bangun Desa Utama/BDU) mendapatkan izin konsesi sejak tahun 1986
melalui SK No. 46/SHSU DA/1986 berupa Hak Guna Usaha (HGU). Izin
HGU PT AP tersebut dikeluarkan satu tahun setelah diterbitkannya
Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jambi No. 188.4/599
Tahun 1985 tentang pencadangan tanah seluas 40 ribu ha untuk PT BDU
untuk penggunaan Proyek Perkebunan Sawit. Surat Keterangan tersebut
diterbitkan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD).
Namun, setahun setelah diterbitkannya izin HGU PT Asiatic Persada
seluas 20 ribu ha, pada tahun 1987 Balai Inventarisasi Tata Guna Hutan
mengeluarkan SK yang menyatakan bahwa dari 40 ribu ha lahan yang
dicadangkan untuk perkebunan PT Asiatic Persada, hanya sebesar
27.150 ha yang bisa dilepaskan untuk kepentingan perkebunan sawit
perusahaan. Sementara itu, izin HGU yang sudah dikeluarkan satu tahun
sebelumnya itu (1986), luasnya mencapai 20.000 ha.
Saat status kawasan hutan dilepaskan untuk kepentingan perkebunan
sawit tersebut, seluas 1.485 ha merupakan areal kerja HPH PT Tanjung
Asa, sebesar 10.550 merupakan areal kerja HPH PT Rimba Makmur, dan
sebesar 15.115 ha merupakan areal kerja HPH PT Asialog.
Perkebunan Kelapa Sawit
Perkebunan
492
2017
MA Mukim Lango Vs PT. Raja Garuda Mas
Konflik ini berawal dari SK Menhut no 799/Kpts-VI/1998 yang dijadikan landasan bagi PT Raja Garuda Mas Lestari beroperasi hingga wilayah permukiman Lango sehingga mengaggu aktivitas ekonomi utama masyarakat. Konflik agraria yang terjadi di wilayah masyarakat adat mukim lango didasari dengan tidak adanya kebijakan untuk menyediakan kepastian penguasaan terhadap akses atas tanah, seumberdaya alam, wilayah kelola masyarakat termasuk pada akses bagi masyarakat adat yang berada di dalam kawasan hutan Negara. Sehingga dalam proses pemberian ijin/hak/konsesi oleh pejabat publik (Menteri kehutanan, Menteri ESDM, Kepala BPN, Gubernur dan Bupati) kepada pengusaha hutan, perkebunan dan pertambangan dengan mudah memasukkan wilayah adat/tanah/wilayah kelola/SDA kepunyaan Masyarakat Adat kedalam wilayah konsesi perusahaan tersebut. Secara kebijakan khusus di Aceh memang ada pengakuan keistimewaan dalam bidang Agama, Adat, Pendidikan dan Peran ulama, yang tertuang dalam UU Nomor 44 Tahun 1999, Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Dengan adanya UU tentang Pemerintahan Aceh no 11 tahun 2006 ini merupakan penguat dari UU sebelumnya. Akan tetapi kebijakan tersebut tidak ada yang menerangkan kepastian akan hak masyarakat adat terhadap wilayah adatnya. Selain itu juga hokum hokum adat yang telah ada dari dulunya yang terus berlaku dan berkembang dalam kehidupan masyarakat adat diabaikan dan tidak diakuainya atau dimasukannya dalam produk kebijakan perundang undangan agrarian, kehutanan dan pertambangan. Pada saat konflik bersenjata di aceh berlangsung menjadi kekuatan bagi pihak Pengusaha yang memiliki hubungan dekat dengan rezim penguasa untuk memudahkan mendapat akses terhadap penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan peruntukan tanah/hutan/Sumberdaya alam lainnya. Hal ini juga terjadi diwilayah adat Mukim Lango yang mengalami Perampasan hak atas tanah dan sumberdaya alamnya.
hutan
Hutan Produksi
493
2017
MA Matteko Vs PT. Adimitra Pinus Utama
Masyarakat hukum adat Matteko berada di Desa Erelembeng, Kecamatan Tombolo Pao, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Secara geografis bentang wilayah Dusun Matteko berbukit-bukit dengan ketinggian antara 900-1.400 meter dari permukaan laut. Konflik ini muncul akibat dari mulai terbatasnya akses masyrakat terhadap kawasanya sendiri yang diperkuat dengan izin penyadapan pohon pinus yang diterbitkan oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Goa. Sehingga masyarakat merasa terintimidasi diwilayhnya sendiri.
hutan
Hutan Produksi
494
2017
Wilayah Adat Vananga Bulang
hutan
Hutan Produksi
495
2014
PT. Kalimantan Citra Lestari VS Warga Mantangai Hulu
Penolakan terhadap perusahaan perkebunan sawit karena berada dalam wilayah kelola warga. Penyerobotan lahan kelola warga dan kelompok 3 tani.
Perkebunan Kelapa Sawit
Perkebunan
496
2017
Wilayah Adat Mpoa
hutan
Hutan Produksi
497
2014
Kepulauan Aru terancam tenggelam
Kabupaten Kepulauan Aru merupakan gugusan kepulauan yang
dibatasi dengan selat-selat yang oleh masyarakat Aru selalu
menyebutnya dengan sebutan sungai. Walaupun jika kita
menelusuri apa yang mereka sebut sebagai sungai, tidak pernah kita
dapati sumber airnya, tetapi yang di dapat adalah laut bebas. Pada tahun
2010 masyarakat adat kepulauan Aru dikejutkan dengan hadirnya
perusahaan-perusahaan besar, yang mengajukan pemohonan izin
perkebunan ke Pemerintah Kabupaten Kepulauan Aru wilayah-wilayah
adat, dari komunitas-komunitas adat yang selama ini hidup turuntemurun
jauh sebelum Negara
Kesatuan Republik Indonesia terbentuk.
Pada tahun 2010 Pemerintah Kabupaten Kepulauan Aru telah
mengeluarkan Izin Usaha Perkebunan kepada Konsorsium PT Menara
Group yang akan melakukan aktivitas di atas tanah Aru.
hutan
Hutan Produksi
498
2016
Penyerobotan Lahan Masyarakat Desa Ramang oleh Perusahaan
PT. AGL Menggusur kebun dan ladang masyarakat seluas sekitar 800 Ha. Perusahaan tidak pernah melakukan sosialisasi, apalagi membeli tanah ke warga. Warga menolak PT.AGL, menuntut ganti rugi tanam tumbuh, dan menuntut pengembalian tanah.
Perkebunan Kelapa Sawit
Perkebunan
499
2017
Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Prov. NTT (Taman Wisa Alam Ruteng) – Kab. Manggarai (Colol)
MA Colol merupakan masyarakat adat yang telah menetap sejak tahun 1800an dan telah mengalami pemekaran desa sebanyak 4 desa akibat dari pertambahan jumlah penduduknya. keempat desa tersebut adalah 1) Kampung Colo (induk), 2) Kampung Biting, 3) Kampung Welu, dan 4) Kampung Tangkul. Namun keberadaan MA Colol tidak diakui oleh oleh pemerintah daerah walaupun sebenarnya secara tertulis MA Colol masuk ke dalam daftar masyarakat adat sesuai dengan MK 35. Akibatnya sering terjadi konflik vertikal antara MA Colol dan pemerintah daerah.
Taman Wisata Alam
Hutan Konservasi
500
2017
Wilayah Adat Ngata Toro sebagian besar masuk Taman NAsional Lore Lindu
Orang Toro merupakan bagian dari rumpun Suku Kulawi. Wilayah adatnya sebagian besar tumpang tindih dengan Taman Nasional Lore Lindu yang ditetapkan sejak tahun 1981.