Desa benteng alla Utara (Enrekang)dan Kaduaja (Toraja) Komunitas Adat Tangsa
Tanah yang berada di 2 kabuapen Enrekang dan Toraja yang berada di perbatasan dan masyarakat adat disini mengolah ini tanah berpindah-pindah setelah banyak penduduk di situ akhir masyarakat disini menetap sampai sekarang, pada tahun 70 an hutan yang berada di atas kebun masyarakat itu yang di patok oleh dinas kehutanan untuk dijadiakn hutan lindung
Hutan Lindung
Hutan Lindung
42
2013
Kawasan Hutan di dalam WIlayah Adat Bassaran
Sebelum Indonesia ada tanah ini sudah di kelolah oleh masyarakat Adat Bassaran, luas lahan 300 ha di kelolah secara turun temurun dan hasilnya di bagi rata kepada semua masyarakat Adat Bassaran, semua masalah yang ada di masyarakat adat Bassaran tidak pernah sampai di kecamatan (camat) dan semua masalah akan di selesaikan di kamunitas masyarakta adat. Didalam hutan lindung yang di patok oleh pemerintah menyimpan banyak hasil alam yang bisa di manfaatkan oleh masyarakat, seperti tanaman obat-obatan, ayam hutan, inikan bisa sebagai mata pencarian pendapatan masyarakat, dan masyarakat yang sering cari makan didalam hutan sekarang tidak lagi karna ada ganguan piskologi masyarakat sehingga muncul rasa ketakutan, setiap mereka masuk dalam hutan mereka dikerjar oleh kehutanan sekitar lebih 30 tahu masyarakat adat di kejar-kejar oleh kehutanan kejadian ini berjalan cukup lama sampai-sampai masyarakat banyak yang ketakutan, dan juga kebun masyarakat di ambil oleh kehutanan lindung tanpa ada sosialisasi pada masyarakat yang di jadiakan kawasan hutan lindung.
Hutan Lindung
Hutan Lindung
43
2013
komunitas adat kalupini
Hutan Lindung
Hutan Lindung
44
2017
kawasan hutan dalam Masyarakat Adat Kalupini
Tanah yang di tempati masyarakat adat kalupini sudah berpuluh-puluh tahun semenjak nenek moyang mereka menguasai dan mengelolah ini tanah dengan menanam berbagai tanaman tahunan, hanya untuk mencukupi kehidupan sehari-hari dan ada juga tanaman satu kali menanam dalam satu tahun seperti tanaman padi dan jagung.
Hutan Lindung
Hutan Lindung
45
2006
Desa Baringin dalam kawasan hutan
Dinas kehultanan mematok itu lahan masyarakat di desa baringin dan masyarakat menolak pada saat itu
Hutan Lindung
Hutan Lindung
46
2017
MA Matteko Vs PT. Adimitra Pinus Utama
Masyarakat hukum adat Matteko berada di Desa Erelembeng, Kecamatan Tombolo Pao, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Secara geografis bentang wilayah Dusun Matteko berbukit-bukit dengan ketinggian antara 900-1.400 meter dari permukaan laut. Konflik ini muncul akibat dari mulai terbatasnya akses masyrakat terhadap kawasanya sendiri yang diperkuat dengan izin penyadapan pohon pinus yang diterbitkan oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Goa. Sehingga masyarakat merasa terintimidasi diwilayhnya sendiri.
hutan
Hutan Produksi
47
2014
Hutan Pinus dan Harapan Perempuan Adat Matteko
Pemberian Konsesi kepada Perusahaan
Ketika pohon pinus mulai dewasa, masalah baru kembali datang.
Ancaman yang diterima oleh masyarakat adat Matteko tidak hanya
berasal dari Dinas Kehutanan, melainkan juga dari pihak perusahaan.
Hingga saat ini, terhitung hutan pinus di Matteko sudah berpindah
tangan ke 3 perusahaan, yakni PT Wigas (hingga 1999), PT Maju Lurus
(hingga 2001), dan PT Adimitra Pinus Utama yang memegang hak
konsesi sejak 2007 hingga sekarang. PT Adimitra mengajukan
permohonan izin penyadapan getah pinus kepada Pemerintah
Kabupaten Gowa sejak tahun 2006. Pemerintah Kabupaten Gowa
kemudian mengeluarkan rekomendasi tentang izin penyadapan dengan
Nomor: 503/026/Ekonomi.
Dinas Kehutanan Kabupaten Gowa kemudian menindaklanjuti surat
rekomendasi tersebut dengan perjanjian kerja sama dengan PT Adimitra
Pinus Utama dengan Nomor: 522.2/25/V/2007/Dishut pada tanggal 14
Mei 2007. PT Adimitra diberikan izin penyadapan hingga tahun 2018
mendatang.
Ketika perusahaan yang diberi hak konsesi mulai masuk, masyarakat
adat Matteko diminta bekerja sebagai tenaga penyadap dengan imingiming
upah bulanan. Pada
saat perusahaan mengajak masyarakat
menyadap,
metode
yang
digunakan sama dengan yang
digunakan Dinas
Kehutanan
ketika
mengajak masyarakat
menanam pinus. Perusahaan
mulanya
mendekati tokoh
masyarakat.
Tokoh
masyarakat
ini yang
kemudian
menyampaikan
kepada
masyarakat
tentang
rencana
penyadapan
tersebut.
Tanpa
rasa
keberatan,
masyarakat,
khususnya
para
perempuan
mulai bekerja
sebagai penyadap.
Apalagi, mereka
tidak
hanya
diiming-imingi gaji bulanan. Menurut Ibu Salmah, perusahaan
menjanjikan
bahwa warga
yang
bekerja
sebagai penyadap
diperbolehkan
mengambil
dahan pinus yang
jatuh untuk kayu bakar.
Sementara
yang
tidak
mau menyadap,
tidak akan mendapatkan apa-apa.
Karena janji tersebut, Ibu Salmah, seperti juga halnya perempuanperempuan
adat lainnya,
bersedia
bekerja
sebagai penyadap.
Apalagi, ia
membayangkan
gaji bulanan yang
akan diperolehnya
kelak.
Biasanya,
Ibu
Salmah hanya
membantu suaminya
di sawah. Ketika penyadapan
mulai
dilakukan, ia dan suaminya
menyadap
getah
bersama-sama.
Mereka
menyadap
sambil tetap
mengerjakan sawahnya.
Di Matteko,
penyadapan memang dilakukan secara berkelompok, bukan sendiri-
sendiri. Masyarakat yang menyadap biasanya mengajak anggota
keluarganya masing-masing. Sebab jika menyadap sendiri, hasilnya
tidak seberapa. Betapa tidak, dalam sehari, setiap batang pohon pinus
hanya bisa menghasilkan getah sebanyak kurang lebih 3 gram. Getah
yang dihasilkan penyadap dikumpulkan dan ditimbang setiap 2 kali
dalam sebulan. Oleh karena itu, jika penyadapan dilakukan secara
berkelompok, hasilnya akan lebih banyak. Hal ini pula yang dilakukan
oleh keluarga Ibu Nuraeni. Ia menyadap getah pinus bersama 4 orang
anaggota keluarganya yang lain. Ibu Nuraeni adalah salah seorang
warga Matteko yang masih bertahan menjadi penyadap getah pinus.
Tidak seperti Ibu Salmah yang akhirnya berhenti, Ibu Nuraeni terpaksa
bertahan menyadap karena tidak ada pilihan sumber pendapatan tambahan lain. Dalam sebulan, Ibu Nuraeni bersama kelompoknya bisa
menghasilkan Rp600 ribu.
Gaji yang cukup minim tentu saja tidak lantas membuat penyadap puas.
Mereka sadar bahwa gaji tersebut tidak sebanding dengan tenaga dan
waktu yang mereka habiskan di dalam hutan pinus. Di sisi lain, pihak
perusahaan juga ternyata tidak menepati janjinya kepada masyarakat
untuk diberi izin mengambil kayu. Kenyataan yang ada, perusahaan
malah menjadi ancaman baru bagi masyarakat adat Matteko. Secara
tidak langsung, pihak perusahaan turut mengawasi aktivitas
masyarakat.
hutan
Hutan Produksi
48
2001
Konflik Kehutanan Taman Wisata Alam Nanggala III di Battang Barat, Palopo, Sulawesi Selatan
Kawasan Hutan Konservasi TWA Nanggala III sebelumnya merupakan Kawasan Hutan Lindung yang ditunjuk berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK).
Taman Nasional
Hutan Konservasi
49
1982
Konflik Perkebunan PTPN XXVIII/PTPN XIV di Desa Uraso, Sulawesi Selatan
PT Perkebunan Nusantara XIV (Persero) didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 tanggal 14 Pebruari 1995 dan Akta Notaris Harun Kamil, SH Nomor 47 tanggal 11 Maret 1996.