DATA KONFLIK

No

Tahun

Judul

Klip

Konflik

Sektor

 

41 2017 kawasan hutan dalam Masyarakat Adat Kalupini Tanah yang di tempati masyarakat adat kalupini sudah berpuluh-puluh tahun semenjak nenek moyang mereka menguasai dan mengelolah ini tanah dengan menanam berbagai tanaman tahunan, hanya untuk mencukupi kehidupan sehari-hari dan ada juga tanaman satu kali menanam dalam satu tahun seperti tanaman padi dan jagung.
Hutan Lindung
Hutan Lindung
42 2006 Desa Baringin dalam kawasan hutan Dinas kehultanan mematok itu lahan masyarakat di desa baringin dan masyarakat menolak pada saat itu
Hutan Lindung
Hutan Lindung
43 2017 MA Matteko Vs PT. Adimitra Pinus Utama Masyarakat hukum adat Matteko berada di Desa Erelembeng, Kecamatan Tombolo Pao, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Secara geografis bentang wilayah Dusun Matteko berbukit-bukit dengan ketinggian antara 900-1.400 meter dari permukaan laut. Konflik ini muncul akibat dari mulai terbatasnya akses masyrakat terhadap kawasanya sendiri yang diperkuat dengan izin penyadapan pohon pinus yang diterbitkan oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Goa. Sehingga masyarakat merasa terintimidasi diwilayhnya sendiri.
hutan
Hutan Produksi
44 2014 Hutan Pinus dan Harapan Perempuan Adat Matteko Pemberian Konsesi kepada Perusahaan Ketika pohon pinus mulai dewasa, masalah baru kembali datang. Ancaman yang diterima oleh masyarakat adat Matteko tidak hanya berasal dari Dinas Kehutanan, melainkan juga dari pihak perusahaan. Hingga saat ini, terhitung hutan pinus di Matteko sudah berpindah tangan ke 3 perusahaan, yakni PT Wigas (hingga 1999), PT Maju Lurus (hingga 2001), dan PT Adimitra Pinus Utama yang memegang hak konsesi sejak 2007 hingga sekarang. PT Adimitra mengajukan permohonan izin penyadapan getah pinus kepada Pemerintah Kabupaten Gowa sejak tahun 2006. Pemerintah Kabupaten Gowa kemudian mengeluarkan rekomendasi tentang izin penyadapan dengan Nomor: 503/026/Ekonomi. Dinas Kehutanan Kabupaten Gowa kemudian menindaklanjuti surat rekomendasi tersebut dengan perjanjian kerja sama dengan PT Adimitra Pinus Utama dengan Nomor: 522.2/25/V/2007/Dishut pada tanggal 14 Mei 2007. PT Adimitra diberikan izin penyadapan hingga tahun 2018 mendatang. Ketika perusahaan yang diberi hak konsesi mulai masuk, masyarakat adat Matteko diminta bekerja sebagai tenaga penyadap dengan imingiming upah bulanan. Pada saat perusahaan mengajak masyarakat menyadap, metode yang digunakan sama dengan yang digunakan Dinas Kehutanan ketika mengajak masyarakat menanam pinus. Perusahaan mulanya mendekati tokoh masyarakat. Tokoh masyarakat ini yang kemudian menyampaikan kepada masyarakat tentang rencana penyadapan tersebut. Tanpa rasa keberatan, masyarakat, khususnya para perempuan mulai bekerja sebagai penyadap. Apalagi, mereka tidak hanya diiming-imingi gaji bulanan. Menurut Ibu Salmah, perusahaan menjanjikan bahwa warga yang bekerja sebagai penyadap diperbolehkan mengambil dahan pinus yang jatuh untuk kayu bakar. Sementara yang tidak mau menyadap, tidak akan mendapatkan apa-apa. Karena janji tersebut, Ibu Salmah, seperti juga halnya perempuanperempuan adat lainnya, bersedia bekerja sebagai penyadap. Apalagi, ia membayangkan gaji bulanan yang akan diperolehnya kelak. Biasanya, Ibu Salmah hanya membantu suaminya di sawah. Ketika penyadapan mulai dilakukan, ia dan suaminya menyadap getah bersama-sama. Mereka menyadap sambil tetap mengerjakan sawahnya. Di Matteko, penyadapan memang dilakukan secara berkelompok, bukan sendiri- sendiri. Masyarakat yang menyadap biasanya mengajak anggota keluarganya masing-masing. Sebab jika menyadap sendiri, hasilnya tidak seberapa. Betapa tidak, dalam sehari, setiap batang pohon pinus hanya bisa menghasilkan getah sebanyak kurang lebih 3 gram. Getah yang dihasilkan penyadap dikumpulkan dan ditimbang setiap 2 kali dalam sebulan. Oleh karena itu, jika penyadapan dilakukan secara berkelompok, hasilnya akan lebih banyak. Hal ini pula yang dilakukan oleh keluarga Ibu Nuraeni. Ia menyadap getah pinus bersama 4 orang anaggota keluarganya yang lain. Ibu Nuraeni adalah salah seorang warga Matteko yang masih bertahan menjadi penyadap getah pinus. Tidak seperti Ibu Salmah yang akhirnya berhenti, Ibu Nuraeni terpaksa bertahan menyadap karena tidak ada pilihan sumber pendapatan tambahan lain. Dalam sebulan, Ibu Nuraeni bersama kelompoknya bisa menghasilkan Rp600 ribu. Gaji yang cukup minim tentu saja tidak lantas membuat penyadap puas. Mereka sadar bahwa gaji tersebut tidak sebanding dengan tenaga dan waktu yang mereka habiskan di dalam hutan pinus. Di sisi lain, pihak perusahaan juga ternyata tidak menepati janjinya kepada masyarakat untuk diberi izin mengambil kayu. Kenyataan yang ada, perusahaan malah menjadi ancaman baru bagi masyarakat adat Matteko. Secara tidak langsung, pihak perusahaan turut mengawasi aktivitas masyarakat.
hutan
Hutan Produksi
45 2001 Konflik Kehutanan Taman Wisata Alam Nanggala III di Battang Barat, Palopo, Sulawesi Selatan Kawasan Hutan Konservasi TWA Nanggala III sebelumnya merupakan Kawasan Hutan Lindung yang ditunjuk berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK).
Taman Nasional
Hutan Konservasi
46 1982 Konflik Perkebunan PTPN XXVIII/PTPN XIV di Desa Uraso, Sulawesi Selatan PT Perkebunan Nusantara XIV (Persero) didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 tanggal 14 Pebruari 1995 dan Akta Notaris Harun Kamil, SH Nomor 47 tanggal 11 Maret 1996.
Perkebunan Kelapa Sawit
Perkebunan
Displaying : 41 - 50 of 47 entries, Rows/page: