Wilayah adat Barambang Katute terkikis dan semakin menyempit
Hutan Lindung
Hutan Lindung
323
2003
Konflik Agraria Komunitas Adat Karunsi’e dengan PT Vale Indonesia Tbk Kabupaten Luwu Timur Provinsi Sulawesi Selatan
Nikel
Pertambangan
324
2006
Masyarakat Adat Dayak Iban Semunying Jaya Dianiaya di Tanah Leluhur
Perkebunan Kelapa Sawit
Perkebunan
325
2014
Hilangnya Hak Masyarakat Adat Dayak Ma’anyan Mengelola Sumber Daya Alamnya
Perkebunan Karet
Perkebunan
326
2017
Krisis Agraris dan Ekosistem Kepulauan Seribu
Kepulauan Seribu dari beberapa dekade telah mengalami degradasi dan
kerusakan ekosistem yang tinggi. Kerusakan tersebut akibat perubahan alat tangkap
masyarakat nelayan, semakin menyempitnya wilayah darat-pemukiman bagi masyarakat,
limpahan limbah minyak kapal, limbah materi dari muara-muara sungai Teluk Jakarta,
produksi sampah yang tinggi, dan aktivitas wisata bahari. Kerusakan ekosistem berdampak
pada ketersediaan ikan tangkap bagi masyarakat nelayan. Kerusakan-kerusakan ekosistem
tersebut diperparah dengan adanya penguasaan pulau-pulau kecil oleh privat dan swasta.
Lebih dari 50% pulau-pulau di Kepulauan Seribu telah dikuasai oleh privat dan swasta.
Krisis ekosistem dan agraria memberikan konsekuensi timpang pada alternatif
penghidupan masyarakat, yaitu wisata bahari. Atas dasar penguasaan pulau-pulau kecil
dan alat produksi yang lain, bisa dipastikan bahwa pihak yang akan mendapatkan manfaat
lebih besar dari sektor wisata bahari bukanlah masyarakat nelayan, tetapi pihak yang
menguasai alat produksi wisata dan khususnya privat/swasta yang menguasai pulau-pulau
kecil.
-
Pariwisata
327
2015
Sengketa tanah Warga Pulau Pari dan Swasta
Ombudsman Republik Indonesia mengeluarkan Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan terhadap Dugaan Maladministrasi berupa penyalahgunaan wewenang Kantor Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Utara terkait dengan penerbitan SHM No. 210 dan SHG No. 9 Tahun 2015 yang di klaim milik PT. Bumi Pari Asri (“LAHPâ€). LAHP tersebut menegaskan adanya dugaan pelanggaran administrasi berupa penyimpangan prosedur, penyalahgunaan wewenang, dan pengabaian kewajiban hukum yang dilakukan oleh BPN Jakarta Utara dalam terhadap 62 Sertifikat Hak Milik (SHM) dan 14 sertifikat Hak Guna Bangunan
Taman Nasional
Kawasan Konservasi Laut
328
2017
Konflik Tenurial Wakatobi
Ketika mendengar kata "wakatobi" hal yang pertama kali muncul dalam benak adalah keindahan bawah laut yang dimiliki. Pengandaian ini tak hanya berlaku untuk warga indonesia saja melainkan bagi seluruh warga dunia. Wakatobi merupakan kawasan yang berada dalam world coral triangle memiliki kenaekaragaman hayati tinggi (khususnya biota laut) yang merupakan sumber pendapatan yang menjajikan, tak hanya untuk warga lokal dan negara, warga asingpun turut serta dalam praktek ini.Potensi ini seharusnya dapat memberikan hasil yang waksimal kesemua pihak baik masyarakat lokal, pemda, negara maupun investor jika dikelola dengan bijaksana. Konflik tenurial yang terjadi selama ini di kawasan wakatobi merupakan implikasi dari ketidak harmonisan kebijakan yang diberlakukan. Konflik ini muncul tak lain akibat adanya kebijakan yang tumpah tindih antara Badan otoritas pariwisata (BOP), Taman Nasional Wakatobi dan Masyarakat Adat wakatobi.
Taman Nasional
Kawasan Konservasi Laut
329
2014
Pembangunan Pariwisata dan Perampasan Ruang Hidup Rakyat Tengger
Pada tahun 1960-an warga desa ranupani tidak masalah dengan pemerintah yang mengklaim bahwa daerah sekitar mereka dijadikan hutan negara karena saat itu warga desa hanya 50KK, asalkan warga desa tidak dibatasi aksesnya untuk memanfaatkan hutan yang digunakan sebagai sumber kehidupan muali dari air bersih, tanaman obat, kayu bakar, dan pangan/rumput untuk hewan ternak mereka. Namun, pembatasan akses terhadap hutan mulai dirasakan penduduk pada Pertengahan 1970-an ketika Perhutani mulai intensif mengelola hutan di sekitar wilayah Ranu Pani, khususnya hutan lindung dan hutan produksi. Perhutani mulai memberlakukan larangan penebangan pohon, sementara warga hanya boleh memanfaatkan kayu bakar dari pohon yang sudah roboh, dahan, serta ranting pohon yang berjatuhan. Semenjak periode 2000-an, Balai Taman Nasional mulai memberlakukan larangan secara ketat terkait aturan penggunaan kawasan sesuai batas zonasi pengelolaan. Dengan posisi yang terkepung Taman Nasional terjadilah pembatasan hak-akses atas lahan dan manfaat kawasan terhadap pemenuhan kebutuhan dasar rumah tangga, upacara, dan ritual adat. Bagaimanapun kebutuhan lahan menjadi bagian penting kehidupan penduduk Ranupani yang didominasi petani dan buruh tani. Selain itu, menjadi tidak rasional apabila pemenuhan kebutuhan kayu bakar penduduk Ranupani harus dipenuhi dari luar wilayah Ranupani.
Taman Nasional
Hutan Konservasi
330
2010
Sungai Masyarakat Adat Malind Tercemar Perusahaan Sawit
Merauke merupakan tempat yang banyak diminati para investor untuk berinvestasi. Selain itu, Pemerintah Daerah yang tidak memiliki dana yang cukup untuk memfasilitasi daerahnya mengundang para investor untuk membangun perusahaan di Merauke. Namun, yang terjadi adalah pencemaran dimana-mana setelah perusahaan tersebut berjalan. Sungai-sungai masyarakat adat menjadi kotor dan membuat mereka tidak bisa mendapat air bersih. Hutan-hutan tempat melakukan kegiatan spiritual sudah habis menjadi kebun sawit.