Konflik Perkebunan PT PHP (Permata Hijau Pasaman) atau GMT di Pasaman Barat
Konflik Perkebunan sawit PT. PHP atau GMT dengan Masyarakat di Kabupaten Pasaman Barat berawal dari penandatanganan perjanjian yg menyepakati kedua pihak untuk tidak memanen/beraktivitas di Vase IV "titik nol" yg ternyata dilanggar oleh pihak PT. PHP, serta tuntutan masyarakat terhadap pemenuhan hak plasma.
Perkebunan Kelapa Sawit
Perkebunan
202
2012
Konflik Pertambangan Rakyat dengan Polsek Aur Jaya dan Pemerintah Aur jaya Dharmasraya
Warga di sekitar Sitiung V Jorong Aur Jaya Kenagarian Koto Padang melakukan penambangan tanpa ijin. Pemerintah Daerah melarang aktivitas tersebut, namun karena tidak ada alternatif pekerjaan maka masyarakat tetap melakukannya. Dengan kekuatan dari kepolisian, pemerintah melakukan berbagai tindakan represi untuk menghentikan aktivitas tersebut. Akibatnya serangkaian kekerasan menimpa masyarakat seperti sweeping, penangkapan paksa secara membabibuta pada setiap laki-laki, penyiksaan, pembakaran kendaraan, dll. Atas kejadian tersebut masyarakat mengalami trauma yang mendalam
Emas
Pertambangan
203
2013
Konflik Masyarakat Masyarakat Bungus Timur dengan TNI dan Pemerintahan Kota Padang dalam TNI Manunggal Masuk Desa (TMMD)
Kasus TMMD ini, bermula dari pembangunan jalan lingkar yang di bangun oleh Pemko Padang sebagai penanggung jawab proyek pembangunan TMMD dan Kodim 0312 Padang sebagai pelaksana proyek pembangunan TMMD melakukan pengerjaan pada tanggal 12 Maret 2012 yang melewati tanah perladangan dan tanah persawahan masyarakat yang merupakan sebagai sumber mata pencaharian untuk menghidupi keluarganya, karena sebagian besar masyarakat Nagari Bungus merupakan hidup dari bertani sawah dan bertani ladang untuk menghidupi keluarganya. Tanah perladangan dan persawahan warga masyarakat yang menjadi korban proyek pembangunan TMMD ditanami dengan berbagai macam-macam tanam-tanaman. Pengerjaan Proyek tersebut tanpa ada ganti rugi lahan maupun tanaman. Pembangunan jalan melalui TMMD yang dilakukan oleh Kodim 0312 Padang tidak didasarkan pada perencanaan yang baik serta minus Amdal, hal ini terbukti dilapangan, dimana telah dilakukan penebangan pohon dan pengerukan terhadap tanah di lokasi perladangan masyarakat, tanpa adanya proses sosialisasi ataupun ganti rugi.
Jalan & Jalan Tol
Infrastruktur
204
1992
Konflik PLTA Singkarak di Nagari Guguak Malalo
Kasus diawali dengan dibangunnya Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Sektor Bukittinggi tahun 1992 seluas 4 ha yang berlokasi di Nagari Guguak Malalo, Kecamatan Batipuah Selatan, Kabupaten Tanah Datar. Tahun 1997 Mulai beroperasi PLTA Singkarak, Dalam perjalanannya PLTA Singkarak menimbulkan berbagai perubahan terhadap lingkungan Danau Singkarak dan Nagari Guguak Malalo khususnya, Hal ini disebabkan oleh pengelolaan dan pemanfaatkan lingkungan yang tidak ramah lingkungan oleh PLTA Singkarak. Pada tahun 1993 terdapat retakan tanah sepanjang kurang lebih 250 meter tepatnya di Jalan Jorong II Koto. dan pada januari 2000, terdapat korban 11 Orang Tewas Karena Sedimen Tanah Amblas
PLTA
Infrastruktur Energi Listrik
205
2012
Konflik Akibat Pencemaran Perusahaan Sawit PT. Incasi Raya Sodetan POM di Nagari Inderapura Barat
Konflik masyarakat Tanjuang Batang Kapas Kenagarian Inderapuro barat berawal pada buruknya pengelolaan aktifitas perusahaan kelapa sawit yang dikelola oleh PT. Incasi Raya Sodetan POM (Lahan perkebunan dengan izin No. 660/332/Kpts/BPT-PS/2010). Perusahaan diduga telah melakukan pembuangan limbah di aliran sungai. Akibatnya perekonomian masyarakat terganggu dengan banyak ditemukannya lokan-lokan mati dan kualitas air sungai yang semakin memburuk. Sungai berwarna hitam kecoklat-coklatan, berbau busuk dan gatal-gatal saat digunakan untuk mandi. Memanfaatkan sungai dan berprofesi sebagai penyelam lokan (pencari lokan) dahulunya mampu menopang kebutuhan ekonomi masyarakat Inderapura
Perkebunan Kelapa Sawit
Perkebunan
206
2007
Konflik Masyarakat Adat Lunang dengan PT Tripabara
Areal konflik berada di areal merupakan hutan ulayat Nagari yang belum dikuasi dan dibagi-bagi kepada suku dan kaum di Lunang. Areal hutan Nagari tersebut dikelola dan diatur dengan hukum adat. Ketentuan adat Minangkabau yang mengikatnya diwakili oleh Niniak Mamak (Kepala Adat) nan Salapan untuk mengawasinya dan mengaturnya. Namun Pada hari Kamis tanggal 05 Mei 2007 adanya perjanjian kerjasama PT.Triba Bara dengan Niniak Penghulu Nan Salapan, mengenai penyerahan tanah ulayat seluas 2000 Ha yang disahkan oleh Notaris Indra Jaya S.H, dengan Nomor 2.409/SBTB/V/2007 dengan fee atas tambang batu bara Rp.65.00/Ton. Sampai saat ini fee yang dimaksud belum diterima niniak mamak, dikarenakan belum jalannya kegitan produksi pertambangan. Berdasarkan rencana tata ruang wilayah (RTRW) Lokasi tersebut berada di Hutan Produksi Terbatas (HPT). Secara ekologis lokasi penambangan batu bara berada di aliran Sungai Kumbung Gadang atau Sub DAS Batang Lunang yang bermuara di Samudera Hindia.
Batu Bara
Pertambangan
207
2009
Konflik antara Masyarakat Adat Nagari Simpang Tanjung Nan Ampek dengan PT. Kuatassi dan CV Citra Mineral Magnetic
Pada 2009 dengan adanya kegiatan penambangan biji besi di Jorong Rawang Gadang dan Jorong Gurun Data Kanagarian Simpang Tanjung Nan Ampek, oleh PT Buana Alam jaya (di Jorong Rawang Gadang) yang diambil alih oleh PT. Kuatassi dan CV Citra Mineral Magnetic (Jorong Gurun Data). Kegiatan pertambangan tersebut dilakukan dan menimbulkan sejumlah masalah karena beberapa hal. Dimulai dari izin pertambangan dan penyerahan lahan pertambangan dilakukan hanya oleh sekelompok orang saja dan dilakukan tanpa peosedur yang telah ditetapkan dalam hukum adat yang berlaku di Nagari Simpang Tanjung Nan Ampek
Biji Besi
Pertambangan
208
2002
Konflik masyrakat Adat Ketemenggungan Belaban Ella dengan Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya (TNBBBR)
Luas kawasan TNBBBR bagian Kalimantan Barat bertambah karena masuknya wilayah eks HPH PT. Kurnia Kapuas Plywood (KKP) ke dalam TNBBBR dan batas TNBBBR kembali ke batas awal yang panjangnya 123.029,60 sesuai dengan tata batas pertama kali tahun 1985/1986. Dari sejarah penunjukkan di atas, pihak TNBBBR mulai melakukan perintisan tata batas yang sebagian besarnya masuk ke dalam wilayah adat Ketemenggungan Belaban Ella (yang sebelumnya adalah Ketemenggungan Siyai). Akibatnya terjadi pelarangan dan pembatasan aktifitas masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, yang berakhir pada dikriminalisasinya 2 warga Sungkup yaitu TR dan PR oleh Polres Melawi berdasarkan laporan dari pihak TNBBBR.
Taman Nasional
Hutan Konservasi
209
2015
Tanah Warga Diklaim oleh PT Timah (Persero)
Tanah atas nama pemegang hak yakni ABD bin IM (Alm) serta FTH Binti MI (Alm), kedua bidang tanah tersebut berlokasi di Kawasan Batu Rakit/Tanjung Kalian, Kelurahan Tanjung Kecamatan Muntok Kabupaten Bangka Barat, kedua bidang tanah tersebut terakhir diklaim masuk dalam penguasaan/milik PT.Timah (persero), Tbk berdasarkan sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) No.136 Desa Tanjung Kecamatan Mentok, Kabupaten Bangka, provinsi Sumatera Selatan dan terdaftar tahun 1994. Pada tahun 2014/2015, oleh PT Timah (persero), Tbk, tanah tersebut kemudian dijual ke Pemkab Bangka Barat. Padahal tanah atas namaABD bin IM (Alm) berukuran 126 meter x 48 meter memiliki dokumen surat tanah asli beserta bukti kewajiban membayar pajak bumi dan bangunan (PBB) hingga saat ini. Dokumen tersebut saat ini dipegang ahli warisnya atas nama IR. Tanah tersebut telah diusahakan sejak tahun 1946. Dokumen yang serupa juga dimiliki tanah atas nama FTH Binti MI (Alm) berukuran 100 meter x 75 meter dengan surat tanah tahun 1985 berikut kewajiban membayar PBB dan ditangan ahli warisnya bernama SH. Para ahli waris mempertanyakan asal usul HGB PT Timah di lahan tersebut padahal selama ini di lokasi yang sengketa, PT Timah tidak mempunyai bangunan. Termasuk bukti ganti rugi lahan jika sudah dibebaskan oleh PT Timah, selama ini menurut ahli waris pihaknya tidak merasa mendapatkan. Masih banyak pertanyaan lain yang tidak bisa diklarifikasi oleh PT Timah Tbk melalui pejabat terkait, padahal surat sudah dilayangkan oleh pihak keluaga ke Direksi PT Timah (persero), Tbk di Pangkalpinang Oktober 2017 lalu. Hingga ahli waris keluarga ini terpaksa mondar-mandir menemui pejabat PT Timah di Pangkalpinang, namun tidak mendapatkan jawaban secara tertulis.sehingga pada 14 September 2018 perwakilan keluarga atau ahli waris ke Ombudsman Babel untuk melakukan pengaduan
Timah
Pertambangan
210
2013
Masyarakat Bangka Belitung Menolah Hutan Tanaman Industri PT Bangun Rimba Sejahtera
Kabupaten Bangka Barat terkepung HTI (Hutan Tanaman Industri) yang dikelola oleh PT. BRS (Bangun Rimba Sejahtera), bekerjasama dengan OKI Mills milik Asia Pulp and Paper (APP) dan Sinar Mas (penyuplai bahan baku kertas). Berdasarkan SK IUPHHK-HTI No. 336/Menhut-II/2013, luas areal konsensi PT. BRS mencapai 66.460 hektar dan tersebar di 39 desa, di 6 Kecamatan (Parit Tiga, Jebus, Tempilang, Muntok, Simpang Teritip, dan Kelapa).