DATA KONFLIK

No

Tahun

Judul

Klip

Konflik

Sektor

 

191 2009 Konflik antara Masyarakat Adat Nagari Simpang Tanjung Nan Ampek dengan PT. Kuatassi dan CV Citra Mineral Magnetic Pada 2009 dengan adanya kegiatan penambangan biji besi di Jorong Rawang Gadang dan Jorong Gurun Data Kanagarian Simpang Tanjung Nan Ampek, oleh PT Buana Alam jaya (di Jorong Rawang Gadang) yang diambil alih oleh PT. Kuatassi dan CV Citra Mineral Magnetic (Jorong Gurun Data). Kegiatan pertambangan tersebut dilakukan dan menimbulkan sejumlah masalah karena beberapa hal. Dimulai dari izin pertambangan dan penyerahan lahan pertambangan dilakukan hanya oleh sekelompok orang saja dan dilakukan tanpa peosedur yang telah ditetapkan dalam hukum adat yang berlaku di Nagari Simpang Tanjung Nan Ampek
Biji Besi
Pertambangan
192 2002 Konflik masyrakat Adat Ketemenggungan Belaban Ella dengan Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya (TNBBBR) Luas kawasan TNBBBR bagian Kalimantan Barat bertambah karena masuknya wilayah eks HPH PT. Kurnia Kapuas Plywood (KKP) ke dalam TNBBBR dan batas TNBBBR kembali ke batas awal yang panjangnya 123.029,60 sesuai dengan tata batas pertama kali tahun 1985/1986. Dari sejarah penunjukkan di atas, pihak TNBBBR mulai melakukan perintisan tata batas yang sebagian besarnya masuk ke dalam wilayah adat Ketemenggungan Belaban Ella (yang sebelumnya adalah Ketemenggungan Siyai). Akibatnya terjadi pelarangan dan pembatasan aktifitas masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, yang berakhir pada dikriminalisasinya 2 warga Sungkup yaitu TR dan PR oleh Polres Melawi berdasarkan laporan dari pihak TNBBBR.
Taman Nasional
Hutan Konservasi
193 2015 Tanah Warga Diklaim oleh PT Timah (Persero) Tanah atas nama pemegang hak yakni ABD bin IM (Alm) serta FTH Binti MI (Alm), kedua bidang tanah tersebut berlokasi di Kawasan Batu Rakit/Tanjung Kalian, Kelurahan Tanjung Kecamatan Muntok Kabupaten Bangka Barat, kedua bidang tanah tersebut terakhir diklaim masuk dalam penguasaan/milik PT.Timah (persero), Tbk berdasarkan sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) No.136 Desa Tanjung Kecamatan Mentok, Kabupaten Bangka, provinsi Sumatera Selatan dan terdaftar tahun 1994. Pada tahun 2014/2015, oleh PT Timah (persero), Tbk, tanah tersebut kemudian dijual ke Pemkab Bangka Barat. Padahal tanah atas namaABD bin IM (Alm) berukuran 126 meter x 48 meter memiliki dokumen surat tanah asli beserta bukti kewajiban membayar pajak bumi dan bangunan (PBB) hingga saat ini. Dokumen tersebut saat ini dipegang ahli warisnya atas nama IR. Tanah tersebut telah diusahakan sejak tahun 1946. Dokumen yang serupa juga dimiliki tanah atas nama FTH Binti MI (Alm) berukuran 100 meter x 75 meter dengan surat tanah tahun 1985 berikut kewajiban membayar PBB dan ditangan ahli warisnya bernama SH. Para ahli waris mempertanyakan asal usul HGB PT Timah di lahan tersebut padahal selama ini di lokasi yang sengketa, PT Timah tidak mempunyai bangunan. Termasuk bukti ganti rugi lahan jika sudah dibebaskan oleh PT Timah, selama ini menurut ahli waris pihaknya tidak merasa mendapatkan. Masih banyak pertanyaan lain yang tidak bisa diklarifikasi oleh PT Timah Tbk melalui pejabat terkait, padahal surat sudah dilayangkan oleh pihak keluaga ke Direksi PT Timah (persero), Tbk di Pangkalpinang Oktober 2017 lalu. Hingga ahli waris keluarga ini terpaksa mondar-mandir menemui pejabat PT Timah di Pangkalpinang, namun tidak mendapatkan jawaban secara tertulis.sehingga pada 14 September 2018 perwakilan keluarga atau ahli waris ke Ombudsman Babel untuk melakukan pengaduan
Timah
Pertambangan
194 2013 Masyarakat Bangka Belitung Menolah Hutan Tanaman Industri PT Bangun Rimba Sejahtera Kabupaten Bangka Barat terkepung HTI (Hutan Tanaman Industri) yang dikelola oleh PT. BRS (Bangun Rimba Sejahtera), bekerjasama dengan OKI Mills milik Asia Pulp and Paper (APP) dan Sinar Mas (penyuplai bahan baku kertas). Berdasarkan SK IUPHHK-HTI No. 336/Menhut-II/2013, luas areal konsensi PT. BRS mencapai 66.460 hektar dan tersebar di 39 desa, di 6 Kecamatan (Parit Tiga, Jebus, Tempilang, Muntok, Simpang Teritip, dan Kelapa).
HTI
Hutan Produksi
195 2012 Konflik Kehutanan PT Tirta Rahmat Bahari (TRB) di Ngurah Rai Hutan Mangrove di kawasan Taman Hutan Raya (TAHURA) Ngurah Rai merupakan benteng terakhir kawasan pesisir Bali Selatan dari abrasi/erosi. Selain berfungsi sebagai pengendali intrusi air laut, mereduksi polutan dan pencemaran air agar kualitas air terjaga, serta tempat berbagai jenis fauna dan biota laut berkembang biak termasuk sebagai kawasan mitigasi bencana terutama Bencana Tsunami. Hal ini mengingat daerah ini memiliki sejarah terkena Tsunami, setidaknya tujuh kali dari tahun 1818 sampai 1994 dengan rata-rata kejadian setiap 25 tahun. Ditengah kondisi lingkungan hidup yang makin kritis, tidak disangka pada tanggal 27 Juni 2012 Gubernur Bali menerbitkan izin pengusahaan pariwisata alam di kawasan Mangrove Taman Hutan Raya Ngurah Rai kepada PT. Tirta Rahmat Bahari (PT. TRB) seluas 102.22 Ha melalui Surat Keputusan Gubernur Bali No. 1051/03-L/HK/2012. Jangka waktu yang diberikan kepada PT. TRB selama 55 tahun disertai hak prioritas selama 20 tahun. Dapat dikatakan kawasan mangrove akan diusahakan oleh PT. TRB selama 75 tahun.
Taman Hutan Raya
Hutan Konservasi
196 1998 Konflik Perkebunan PTPN VIII VS Desa Jatisari, Garut Masyarakat penggarap yang berada di Desa Jatisari Kecamatan Cisompet Kabupaten Garut yang menggarap diatas lahan Eks. HGU PTPN VIII Bunisari Lendra sejak tahun 1998 yang tergabung kedalam organisasi Serikat Petani Pasundan sangat khawatir dan takut karena PTPN VIII Bunisari Lendra melakukan pembabatan tanaman milik penggarap tersebut. Kronologis kejadian pembabatan yang dilakukan PTPN VIII Bunisari Lendra adalah sebagai berikut: Waktu Kejadian 14-15 April 2014 Pihak PTPN VIII Bunisari Lendra melakukan pembabatan terhadap tanaman pisang dan tanaman keras milik masyarakat yang berada diatas lahan Eks. HGU PTPN VIII Bunisari Lendra, lahan yang dibabat tanamannya tersebut milik 6 Orang masyarakat penggarap dengan luas lahan yang sudah di babat tanamannya seluas 3 Hektare hingga merusak 40 pohon, dan sekitar 1000 pohon pisang, menurut salah satu saksi yang bernama DD (Inisal) 35 Thn, pembabatan tersebut dilakukan oleh karyawan perkebunan PTPN VIII Bunisari Lendra dengan kawalan preman bayaran dan oknum aparat Brimob.
Eks-Perkebunan
Perkebunan
197 2007 Konflik Taman Nasional Gunung Gede Pangrango VS Desa Wates jaya dan Desa Pasir buncir, Bogor, Masyarakat telah bermukim dan menetap sejak masa kolonial, sebagian besar bekerja menjadi buruh perkebunan jaman Belanda. Setelah kemerdekaan RI, masyarakat mulai menguasai dan menggarap lahan hutan; maka ada penggarap yang mengatakan telah menggarap lahannya sejak tahun 1945. Tahun 1978, Perum Perhutani mengusai lahan hutan Gunung Gede Pangrango menjadi Hutan Produksi Tetap dan Hutan Produksi Terbatas, termasuk yang di wilayah Desa Watesjaya dan Pasirbuncir. Sejak adanya SK Menhut No.174/Kpts-II/2003 tentang Penunjukan dan Perubahan Fungsi Kawasan lalu Berita Acara Serah Terima No.002/BAST-HUKAMAS/III/2009 tanggal 6 Agustus 2009 menyatakan bahwa luas kawasan Perhutani yang diserahkan pada TNGGP adalah 7.655,03 ha sehingga total luas kawasan TNGGP adalah 22.851,03 ha. Maka lahan garapan masyarakat Desa Watesjaya dan Pasirbuncir pun diklaim masuk menjadi kawasan konservasi TNGGP sejak tahun 2009. Menurut pengakuan masyarakat, sejak tahun 2011 petugas kehutanan (polhut) TNGGP melarang masyarakat untuk menggarap lahan. Pada Juni 2015, disebarluaskan surat dari BBTNGGP mengenai Penghentian Penggarapan di Kawasan TNGGP. Surat disampaikan pada Kepala Desa di 3 kabupaten (total ada 64 desa meliputi Kab.Cianjur, Kab.Bogor dan Kab.Sukabumi). Adanya surat tersebut memancing reaksi keras masyarakat khususnya petani penggarap. Ada sekitar 200 petani penggarap di Desa Watesjaya dan Pasirbuncir. Hingga saat ini kasus ini belum diselesaikan, masyarakat merasa belum tenang untuk menggarap lahannya.
HPT
Hutan Produksi
Hutan Produksi
198 2007 Konflik Perkebunan PT. Lido Nirwana Parahyangan di Desa Watesjaya dan Desa Pasirbuncir, Lahan perkebunan merupakan bekas perkebunan swasta milik asing yang telah dinasionalisasi oleh Pemerintah saat penyerahan kedaulatan Belanda ke Republik Indonesia. Pada tahun 1968-1971 perkebunan bernama Perusahaan Negara Perkebunan XI atau PNP XI (yang meliputi tanaman karet dan teh) dan semenjak tahun 1971 PNP XI berubah dengan nama Perseroan Terbatas Perkebunan XI atau PTP XI. Pada tanggal 11 maret 1996 PTP XI dilebur menjadi satu dengan PTP XII dan PTP XIII yang berada di Bandung dalam satu nama yaitu PT Perkebunan Nusantara VIII (Persero). Ironisnya sebelum peleburan terjadi antara PTP XI, XII dan XIII menjadi PTPN VIII, ternyata telah terjadi oper alih lahan perkebunan menjadi lahan HGU (Hak Guna Usaha), milik beberapa perusahaan swasta nasional. PT. Pengembangan Agrowisata Prima (PT. PAP) menebang habis tanaman karet milik PTP XI dalam rangka pengambil alihan lahan seluas 680 Ha. PT. PAP membangun lapangan golf 18 holes (direncanakan hingga 32 holes) dan hotel Lido. PT. PAP memiliki anak perusahaan lain bernama PT. Lido Sarana Prima yang membeli tanah-tanah milik masyarakat untuk memperluas usaha bisnisnya.
Eks-Perkebunan
Perkebunan
199 2005 Konflik Perkebunan PT Sinar Kaloy Perkasa Indo (PTSKPI) VS Warga Desa Wonosari Pada tahun 2005, tanah seluas 60 ha yg berada di wilayah Kawasan Konservasi Gunung Titi Akar dijadikan proyek pengembangan tanaman karet rakyat sebagai penyangga oleh Kantor Perkebunan Aceh Taming dengan dana yg bersumber dari APBD tahun 2005. Namun daerah ini, tahun 2007 sudah diperjualbelikan secara bawah tangan, kepada pihak PT Sinar Kaloy Perkasa Indo, seluas 195 Ha. Namun Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Aceh Tamiang tidak mengambil tindakan (membiarkan). Pada tanggal 31 Oktober 2008, Dishutbun Aceh Tamiang mengeluarkan Rekomendasi Penambahan Lahan di Kawasan Konservasi Gunung Titi Akar, dengan surat nomor 522/2350/2008 dan SK BUPATI 1 Juni 2008 menerbitkan Rekomendasi Ijin Usaha Perkebunan Nomor 522/9187/2008 berikut mengesahkan peta lokasi, PT SKPI juga meminta rekomendasi ijin penambahan 200 hektar lahan yg berada di kawasan Konservasi Gunung Titi Akar tersebut. Sengketa warga Desa Wonosari dan PT. Sinar Kaloy Perkasa Indo (Perusahaan HGU) terjadi sejak tahun 2008 sampai Oktober 2011, tidak ada penyelesaian konkrit oleh Pemda Aceh Tamiang, dalam hal ini Bupati, Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan serta DPRK Aceh Tamiang dan telah menimbulkan keresahan di tengah-tengah masyarakat Masih Nanok, padahal PT. Sinar Kaloy Perkasa Indo telah memiliki HGU seluas 500 Ha (sebelumnya) SK HGU No. 24-HGU-BPN-RI-2007 tanggal 29 Mei 2007 tidak bermasalah dengan masyarakat
Perkebunan Karet
Perkebunan
200 1995 Konflik PT. Boswa Megalo Polis VS Masyrakat Desa Curek Perusahaan yang bernama PT. Boswa Megalo Polis telah lama mendapat izin di daerah Provinsi Aceh, yaitu pada Tahun 1995. Berhubung Aceh tidak kondusif sehingga perusahaan ini tidak aktif. Setelah GAM ( gerakan Aceh Merdeka) dan Pemerintah Republik Indonesia menanda tangani MoU Helsinki pada tahun 2005 maka Provinsi Aceh secara perlahan-lahan kondusif dan keamanan dapat dikendalikan. PT. Boswa Megalo Polis yang telah memegang izin di Aceh khususnya di Kabupaten Aceh Jaya mulai beroperasi lagi : Pertama : PT. Boswa Megalo Polis menggarap Kebun Kelapa Sawit Di Desa Curek Kecamatan Krueng Sabe Kabupaten Aceh Jaya Provinsi Aceh Negara Indinesia dan Sekitarnya dengan dasar Izin HGU yang perusahaan tersebut kantongi. Sehingga Masyarakat Gampong / Desa Curek Kecamatan Krueng Sabee Kabupaten Aceh Jaya Provinsi Aceh memprotes keberadaan PT.Boswa Megalo Polis tersebut karena sumber Air yang terdapat di Gampong ( Desa) Curek yaitu Sungai Curek telah di cemari oleh PT tersebut sehingga bagi masyarakat sulit mendapat air bersih karena dialiri oleh tanah liat dan oli bekas ke dalam sungai tersebut
Perkebunan Kelapa Sawit
Perkebunan
Displaying : 191 - 200 of 561 entries, Rows/page: