Masyarakat Kampung Surabaya, Sendang Ayu, dan Padangratu, Kecamatan Padangratu menuntut HGU PT Sahang Bandar Lampung
Permasalahan sengketa tanah berawal dari masyarakat Kampung Surabaya, Sendang Ayu, dan Padangratu, Kecamatan Padangratu menuntut HGU PT Sahang Bandar Lampung No.U.I/LT tahun 1984 seluas 238.063 ha yang berakhir pada 31 Desember 2008. Masyarakat ketiga kampung tersebut, merasa tidak pernah menjual tanah kepada PT Sahang Bandar Lampung. Namun, pihak perusahaan menyewakannya kepada orang Jepang melalui APK selama 25 tahun, yakni dari 1970 hingga 1995. Masyarakat juga tidak mengetahui dan tidak dilibatkan dalam proses terbitnya HGU PT Sahang No.U.I/LT tahun 1984 seluas 238.063 ha yang berkhir pada 31 Desember 1984. Namun diawal Desember 2008, PT Sahang telah mengajukan permohonan perpanjangan HGU kepada BPN RI melalui Kakanwil BPN Provinsi Lampung. Namun dari pihak BPN belum memberi keputusan atas perpanjangan HGU tersebut.
Perkebunan Kelapa Sawit
Perkebunan
162
2009
Konflik warga Pekon Giritunggal Dengan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup
Lahan sekitar 80 hektar milik 68 kepala keluarga (KK) yang masuk dalam kompensasi lahan, sejak awal bukan lahan register 22. Akan tetapi, saat proses kompensasi berjalan, 80 hektar lahan di Giri Tunggal itu dinyatakan sebagai lahan register 22 yang kemudian di margakan. Tanah itu milik warga yang dapat dibuktikan dengan surat keterangan tanah, surat tebang dan salinan pembayaran IPeDa (Iuran Pemerintahan Daerah). Terbitnya Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomer SK/742/MENHUT-II/2009 tentang Penetapan Sebagian Kawasan Hutan Lindung Kelompok Hutan Way Waya Register 22 mempengaruhi status kepemilikan 68 KK atas lahan 80 hektar tersebut.
Hutan Lindung
Hutan Lindung
163
2003
Konflik PT MSS dengan masyarakat Desa Lubuk Lagan
PT MSS mengubar janji kepada masyarakat bahwa mereka mengatakan bahwa masyarakat yang memberikan lahan mendapatkan 25% dari tanah yang diberikan dan plasma yang diberikan dari luasan sebelumnya namun sudah 2 tahun PT MSS menghasilkan buah namun plasma belum juga diberikan kepada masyarakat.
Perkebunan Kelapa Sawit
Perkebunan
164
1983
Konflik PTPN VII Dengan Warga Desa Pagar Dewa dan Sumber Mulya
Warga menyatakan lahan seluas sekitar 1414 hektar (ha) yang ada di afdelling V milik masyarakat desa yang diambil PTPN VII dari sejak tahun 1983 dengan cara menipu dan membohongi masyarakat desa. Disamping itu massa juga menuntut pihak PTPN VII Unit Usaha Beringin, untuk segera merealisasikan program kebun pola kemitraan yang pernah disepakati perusahaan plat merah tersebut.
Perkebunan Kelapa Sawit
Perkebunan
165
2010
Konflik PT Buana Eltra (BE) dengan Masyarakat Talang Nangka Desa Gunung Kuripan
PT Buana Eltra (BE) melakukan eksploitasi tambang batubara tanpa disertai oleh pelepasan hak atas tanah masyarakat setempat. Masyarakat Talang Nangka Desa Gunung Kuripan Kecamatan Pengandonan, Kabupaten OKU mengajukan gugatan perdata terhadap perusahaan ini yang dianggap telah menyerobot tanah mereka. Namun dengan tegas perusahaan menolak tuntutan 47 Kepala Keluarga (KK) di Talang Nangka, Desa Gunung Kuripan yang meminta ganti rugi lahan milik mereka seluas 300 hektare (ha) yang saat ini dikelola perusahaan pertambangan batubara tersebut. Alasannya, manajemen merasa sudah melakukan ganti rugi sesuai prosedur. Besarnya antara Rp20 juta-Rp25 juta per hektar. Pembebasan lahan telah dilakukan sejak 2010.
Batu Bara
Pertambangan
166
1985
Konflik Masyarakat Adat Seko dengan PT. Seko Fajar Plantation
Pada tahun 1985 PT. Seko Fajar Plantation melakukan pengkaplingan di wilayah adat Orang Seko. Perusahaan kemudian baru mulai melakukan studi kelayakan untuk pengembangan perkebunan teh di wilayah adat Seko pada 1989. Pada tahun 1996, PT. Seko Fajar Plantation mendapat Sertifikat HGU No. 1/1996 tertanggal 10 Agustus 1996 dan Sertifikat HGU No. 2 tertanggal 16 Agustus 1996, dengan luas keseluruhan areal 23.718 hektar (data dari masyarakat saat FGD seko padang). Dalam perkembangannya, PT. Seko Fajar Plantation tidak melakukan aktifitas sesuai dengan fungsi dan peruntukannya sebagaimana termaksud dalam Sertifikat HGU. Tahun 2012, Kepala BPN RI mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 5/PTT-HGU/BPN RI/2012, tanggal 18 Januari 2012 tentang Penetapan Tanah Terlantar atas tanah Hak Guna Usaha Nomor 1 atas nama PT Seko Fajar Plantation dan Surat Keputusan Nomor 6/PTT-HGU/BPN RI/2012, tanggal 18 Januari 2012 tentang Penetapan Tanah Terlantar atas Tanah Hak Guna Usaha Nomor 2 atas nama PT Seko Fajar Plantation. Tanggal 28 Pebruari 2012, PT. Seko Fajar Plantation mengajukan gugatan atas Surat Keputusan tersebut, dan putusan terhadap gugatan tersebut memenangkan pihak perusahaan (PT. Seko Fajar Plantation). Karena itu, sampai saat ini tanah-tanah masyarakat secara administrasi masih dikuasai oleh PT. Seko Fajar Plantation, meski fakta di lapangan menunjukkan bahwa PT. Seko Fajar Plantation tidak beroperasi sebagaimana mestinya.
Perkebunan Teh
Perkebunan
167
2012
Konflik PT Russelindo Putra Prima (RPP) dengan masyarakat Transmigrasi di desa Gajah Mati
Desa Gajah Mati, Kecamatan Sungai Menang, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan wilayah S1 sampai SP9 tadinya untuk program transmigrasi. Sampai 2007, program tersebut hanya terlaksana di SP1 sampai SP6. Lalu lahan tersebut akan ditanami sawit oleh PT Russelindo Putra Prima (RPP). Sedangkan SP8 dan SP9 sudah ditanami sawit. lahan yang dikerjakan PT RPP hanya berkisar 15 meter hingga 20 meter dari pinggiran Sungai Mesuji. Sehingga aktifitas tersebut bisa dikatakan meyalahi aturan Amdal dan Dampak Aliran Sungai (DAS).
Perkebunan Kelapa Sawit
Perkebunan
168
2000
Konflik Masyarakat Adat Nagari Kapa dengan PT. Permata Hijau Pasaman (PHP)
persoalan konflik sawit yang terjadi antara masyarakat Nagari Kapa dengan PT. PHP Pasaman. Konflik berawal pada 1997, ketika pucuk adat dan ninik mamak di Nagari Kapa menyerahkan tanah ulayat kepada Bupati Pasaman untuk dijadikan tanah negara dan selanjutnya diserahkan lahan tersebut kepada perusahaan untuk kegiatan perkebunan sawit dalam bentuk Hak Guna Usaha (HGU) sebagai alas hak pengusahaannya. Penyerahan itu ternyata tidak dimusyawarahkan terlebih dahulu dengan masyarakat Nagari Kapa sehingga banyak diantara masyarakat Nagari tidak mengetahui proses penyerahan, luasan, lokasi dan sebagainya. Akhirnya banyak kalangan anak nagari (masyarakat kampung) dirugikan karena merasa kehilangan tanah, termasuk dari kalangan bundo kanduang yang notabene sebagai pemilik ulayat. Bahkan mereka mengangap penyerahan lahan yang dilakukan oleh pucuk adat dan ninik mamak pada saat itu kepada perusahan hanya mewakili kepentingan mereka sendiri, bukan kepentingan masyarakat Nagari Kapa.
Pada tahun 1999-2000, pecah konflik di Nagari Kapa, dimana sekitar 150 KK menggarap sisa lahan sekitar 200 hektar yang lokasinya berdampingan dengan perkebunan perusahaan. Aparat kepolisian kemudian datang dan mengusir masyarakat pengarap. Kejadian itu memantik kemarahan masyarakat dan menyerang kantor perusahaan. Akibatnya beberapa orang laki-laki yang diduga melakukan pengrusakan, ditahan, disidangkan dan dipenjara
Konflik juga terjadi akibat persoalan plasma. Sekitar tahun 2000, masyarakat Nagari Kapa berunjuk rasa menuntut untuk menyerahkan kebun plasma yang menjadi kewajiban perusahaan, dengan menghalangi kegiatan perusahaan untuk memanen tandan buah segar lahan perkebunannya. Hingga pada tahun 2004, perusahaan menyerahkan lahan plasma seluas 353 hektar dan pada tahun 2009 seluas 344 hektar kepada masyarakat Nagari Kapa.
Perkebunan Kelapa Sawit
Perkebunan
169
2017
Konflik Masyarakat Adat Alam Surambi Sungai Pagu dengan PT. Andalas Merapi Timber
Konflik tenurial antara masyarakat adat Alam Surambi Sungai Pagu dengan PT. AMT sebagai pemegang konsesi HPH membara setelah dilayangkannya Surat oleh Masyarakat adat Alam Surambi Sungai Pagu pada tanggal 27 Juli 2011 yang berisi Permohanan Penolakan, Pencabutan dan Peninjauan Kembali Izin HPH PT Andalas Merapi (AMT) kepada Menteri Kehutanan Republik Indonesia. Surat tersebut disusun berdasarkan hasil kesepakatan bersama Pimpinan Lembaga Adat, Ninik Mamak, Pemerintah Nagari, tokoh masyarakat, alim ulama, cadiak pandai, bundo kanduang, pemuda dan masyarakat se-Alam Surambi Sungai Pagu yang menolak dengan tegas keberadaan PT AMT dalam kawasan hutan ulayat masyarakat adat Alam Surambi Sungai Pagu
HPH
Hutan Produksi
170
2007
Konflik Perkebunan PT PHP (Permata Hijau Pasaman) atau GMT di Pasaman Barat
Konflik Perkebunan sawit PT. PHP atau GMT dengan Masyarakat di Kabupaten Pasaman Barat berawal dari penandatanganan perjanjian yg menyepakati kedua pihak untuk tidak memanen/beraktivitas di Vase IV "titik nol" yg ternyata dilanggar oleh pihak PT. PHP, serta tuntutan masyarakat terhadap pemenuhan hak plasma.