Diusir dari Tanah Adat Masyarakat Hukum Adat Talonang Terhempas Rezim Konsesi Perkebunan
konflik wilayah adat di Talonang mulai terjadi sejak tahun 1992, ketika pemerintah secara sepihak menetapkan wilayah Talonang sebagai daerah transmigrasi melalui SK Gubernur NTB No.404/1992 tentang Pencadangan Tanah Transmigrasi seluas 4.050 ha. Selanjutnya pada tahun 2012, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia mendorong masuknya investasi PT Dongfang Sisal Group yang membentuk perusahaan baru, yaitu PT Guangken Dongfang Sisal Indonesia dengan kepemilikan saham atau shareholding PT. Pulau Sumbawa Agro
area transmigran
Transmigrasi
162
2014
30 Tahun Negeri Tananahu Terjajah PN Perkebunan Xxviii dan Ptpn Xiv
PTPN
Perkebunan
163
2009
Wilayah adat Barambang Katute terkikis dan semakin menyempit
Hutan Lindung
Hutan Lindung
164
2003
Konflik Agraria Komunitas Adat Karunsi’e dengan PT Vale Indonesia Tbk Kabupaten Luwu Timur Provinsi Sulawesi Selatan
Nikel
Pertambangan
165
2006
Masyarakat Adat Dayak Iban Semunying Jaya Dianiaya di Tanah Leluhur
Perkebunan Kelapa Sawit
Perkebunan
166
2014
Hilangnya Hak Masyarakat Adat Dayak Ma’anyan Mengelola Sumber Daya Alamnya
Perkebunan Karet
Perkebunan
167
2014
Pembangunan Pariwisata dan Perampasan Ruang Hidup Rakyat Tengger
Pada tahun 1960-an warga desa ranupani tidak masalah dengan pemerintah yang mengklaim bahwa daerah sekitar mereka dijadikan hutan negara karena saat itu warga desa hanya 50KK, asalkan warga desa tidak dibatasi aksesnya untuk memanfaatkan hutan yang digunakan sebagai sumber kehidupan muali dari air bersih, tanaman obat, kayu bakar, dan pangan/rumput untuk hewan ternak mereka. Namun, pembatasan akses terhadap hutan mulai dirasakan penduduk pada Pertengahan 1970-an ketika Perhutani mulai intensif mengelola hutan di sekitar wilayah Ranu Pani, khususnya hutan lindung dan hutan produksi. Perhutani mulai memberlakukan larangan penebangan pohon, sementara warga hanya boleh memanfaatkan kayu bakar dari pohon yang sudah roboh, dahan, serta ranting pohon yang berjatuhan. Semenjak periode 2000-an, Balai Taman Nasional mulai memberlakukan larangan secara ketat terkait aturan penggunaan kawasan sesuai batas zonasi pengelolaan. Dengan posisi yang terkepung Taman Nasional terjadilah pembatasan hak-akses atas lahan dan manfaat kawasan terhadap pemenuhan kebutuhan dasar rumah tangga, upacara, dan ritual adat. Bagaimanapun kebutuhan lahan menjadi bagian penting kehidupan penduduk Ranupani yang didominasi petani dan buruh tani. Selain itu, menjadi tidak rasional apabila pemenuhan kebutuhan kayu bakar penduduk Ranupani harus dipenuhi dari luar wilayah Ranupani.
Taman Nasional
Hutan Konservasi
168
2010
Sungai Masyarakat Adat Malind Tercemar Perusahaan Sawit
Merauke merupakan tempat yang banyak diminati para investor untuk berinvestasi. Selain itu, Pemerintah Daerah yang tidak memiliki dana yang cukup untuk memfasilitasi daerahnya mengundang para investor untuk membangun perusahaan di Merauke. Namun, yang terjadi adalah pencemaran dimana-mana setelah perusahaan tersebut berjalan. Sungai-sungai masyarakat adat menjadi kotor dan membuat mereka tidak bisa mendapat air bersih. Hutan-hutan tempat melakukan kegiatan spiritual sudah habis menjadi kebun sawit.
Perkebunan Kelapa Sawit
Perkebunan
169
2004
Hutan Masyarakat Adat Yerisiam Terus Terkuras
Yerisieam adalah suku terbesar di Nabire. Wilayah adat yang sangat luas tersebut makin hari semakin terkuras karena PT Nabire Baru terus menerus melakukan penebangan dan memangkas hutan adat mereka. Diawal 2003 mereka mengajak masyarakat berdoa untuk kelancaran perusahaan namun setelah itu pemerintah dipaksa untuk menandatangani izin mendirikan bangunan dan kontraknya hana sampa 2017. Pada 2012 pihak perusahaan melakukan perpanjangan kontrak namun setelah berjalan bertahun-tahun ternyata PT. Nabire Baru baru membahas dokumen AMDAL setelahnya.
Perkebunan Kelapa Sawit
Perkebunan
170
2014
Hilangnya Tanah Adat Arso
Saat hutan adat memiliki makna yang sangat besar bagi masyarakat adat Daiget(Arso) dan dianggap sebagai ibu, tempat untuk menjalankan ritual untuk memuja dewa yang diagungkan dan tentunya sumber untuk bertahan hidup dengan kekayaan alam yang ada didalam hutan adat mereka hilang sudah ketika hutan adat mereka diklaim sebagai 'tanah negara'.
Meskipun telah berjuang puluhan tahun menuntut hutan adat yang dirampas perusahaan sawit, orang Arso baru mengetahui jika PTPN II ternyata tak memiliki hak guna usaha (HGU) perkebunan sebagai syarat membuka kebun sawit. Perusahaan baru memiliki izin HGU setelah 16 tahun alih fungsi hutan adat menjadi kebun sawit. Fakta ini baru terungkap saat DKU Inkuiri Nasional Hak Masyarakat Hukum adat di wilayah hutan, yang digelar di Jayapura, 26–28 November 2014. Atau setelah 32 tahun PTPN II beroperasi di Keerom.