Penembakan Petani Kampung Cikawung oleh Petugas Taman Nasional Ujung Kulon
Ketegangan masyarakat dengan TNUK mulai terjadi ketika Perubahan bentuk pengelolaan kawasan dari cagar alam menjadi Taman Nasional Ujung Kulon. Puncaknya, tanggal 4 November 2006, terjadi penembakan terhadap salah seorang petani hingga tewas oleh petugas Taman Nasional (semacam Jagawana) yang bernama Untung di Curug Cikacang-Kp. Cikawung Girang.
Taman Nasional
Hutan Konservasi
12
1988
Konflik Warga Pesisir Bukit dengan Taman Nasional Kerinci Seblat
Pada 12 Desember 1988, terbit SK Gubernur No. 508 tentang penghapusan dan penyatuan desa. SK itu menjadi landasan operasional tentang keharusan pengosongan taman nasional dari keberadaan rakyat. Rakyat harus angkat kaki dari kawasan yang termasuk taman nasional. Konflik mencapai puncaknya ketika petugas BPN dan Kehutanan melakukan pengukuran. Mereka melakukan pemasangan patok tanpa melibatkan rakyat setempat.
Taman Nasional
Hutan Konservasi
13
2000
Merebut Kembali Lahan Masyarakat Adat Tau Taa Wana dari Taman Nasional Kepulauan Togean dengan Pembuatan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat adat di Kabupaten Tojo Una-Una
Masyarakat Adat Tau Taa Wana yang berada di Kabupaten Tojo Una-Una Provinsi Sulawesi Selatan merasa resah dengan ditetapkannya Taman Nasional Kepulauan Togean pada tahun 2000 dikawasan wilayah adat. Selain adanya Taman Nasional, masyarakat diresahkan dengan hadirnya izin Perkebunan PT. Kurnia Luwuk Sejati dan izin Pengelolaan Hutan PT. Balantak Raya. Masyarakat adat Tau Taa Wana merasa perlu mengajukan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat di Kabupaten Tojo Una-Una.
Taman Nasional
Hutan Konservasi
14
2014
Pembangunan Pariwisata dan Perampasan Ruang Hidup Rakyat Tengger
Pada tahun 1960-an warga desa ranupani tidak masalah dengan pemerintah yang mengklaim bahwa daerah sekitar mereka dijadikan hutan negara karena saat itu warga desa hanya 50KK, asalkan warga desa tidak dibatasi aksesnya untuk memanfaatkan hutan yang digunakan sebagai sumber kehidupan muali dari air bersih, tanaman obat, kayu bakar, dan pangan/rumput untuk hewan ternak mereka. Namun, pembatasan akses terhadap hutan mulai dirasakan penduduk pada Pertengahan 1970-an ketika Perhutani mulai intensif mengelola hutan di sekitar wilayah Ranu Pani, khususnya hutan lindung dan hutan produksi. Perhutani mulai memberlakukan larangan penebangan pohon, sementara warga hanya boleh memanfaatkan kayu bakar dari pohon yang sudah roboh, dahan, serta ranting pohon yang berjatuhan. Semenjak periode 2000-an, Balai Taman Nasional mulai memberlakukan larangan secara ketat terkait aturan penggunaan kawasan sesuai batas zonasi pengelolaan. Dengan posisi yang terkepung Taman Nasional terjadilah pembatasan hak-akses atas lahan dan manfaat kawasan terhadap pemenuhan kebutuhan dasar rumah tangga, upacara, dan ritual adat. Bagaimanapun kebutuhan lahan menjadi bagian penting kehidupan penduduk Ranupani yang didominasi petani dan buruh tani. Selain itu, menjadi tidak rasional apabila pemenuhan kebutuhan kayu bakar penduduk Ranupani harus dipenuhi dari luar wilayah Ranupani.
Taman Nasional
Hutan Konservasi
15
2017
Kasepuhan Masyarakat Adat Cirompang Vs Taman Nasional Gunung Halimun-Salak
Konflik sumber daya alam (SDA) yang terjadi antara MA Cirompang dengan pihak TNGHS yang dilatarbelakangi oleh tumpang tindih kawasan. Akibat dari konflik ini MA cirompang mengalami pelanggaran HAM dan hak-hak perempuang yang meliputi ; hak atas rasa aman dan hak ekonomi, sosial, dan budaya.
Taman Nasional
Hutan Konservasi
16
2017
Kasepuhan Masyarakat Adat Ciptagelar Vs Taman Nasional Halimun-Salak
Keberadaan masyarakat kasepuhan di Kabupaten Lebak dan Sukabumi telah diakui (melalui SK, Perda, RTRW). Namun status hak atas wilayah adatnya masih belum jelas sehingga telah terjadi tumpang tindih batas wilayah yang diklaim oleh masyarakat kasepuhan dan Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak.
Taman Nasional
Hutan Konservasi
17
2014
Kasepuhan Masyarakat Adat Cibedug Vs Taman Nasional Halimun-Salak
Status kepemilikan lahan yang tumpang tindih antara pihak TNGHS dengan MA Cibedug yang mengakibatkan semakin sulitnya MA Cibedug dalam mengakses SDA yang seharusnya dapat diakses dengan mudah sesuai hukum adat yang berlaku.
Taman Nasional
Hutan Konservasi
18
2006
Kasepuhan Masyarakat Adat Cibedug Vs Taman Nasional Halimun-Salak
Masyarakat adat memiliki kearifan lokal dan pengetahuan tradisi yang
bermanfaat bagi penetapan dan pengaturan fungsi hutan (Poerwanto, 2000).
Poerwanto (2000) juga menyebutkan bahwa kearifan lokal ini merupakan salah
satu dari pola adaptasi yang dikembangkan oleh masyarakat adat agar mampu
memanfaatkan lingkungan sekitar demi kepentingannya baik untuk memperoleh
bahan pangan, menghindari diri dari bahaya serta dapat dikatakan juga sebagai
bentuk penjagaan dengan ekosistemnya agar tetap dapat mempertahankan hidupnya. Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional No 5 Tahun 1999 disebutkan masyarakat hukum adat adalah
sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga
bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas
dasar keturunan. Menurut UN Economic and Social Council, masyarakat adat atau
tradisional adalah suku-suku dan bangsa yang karena mempunyai kelanjutan
historis dengan masyarakat sebelum masuknya penjajah di wilayahnya,
menganggap dirinya berbeda dari kelompok masyarakat lain yang hidup di
wilayah mereka. Dalam Peraturan Menteri Kehutanan No 56 tahun 1996,
masyarakat adat yang terdapat di dalam kawasan taman nasional disebut sebagai
kelompok masyarakat yang mempunyai pengertian sebagai sekumpulan orang
yang karena kondisi kesejarahan, ikatan ekonomi, religi, sosial dan budaya yang
hidup dan tinggal secara bersama-sama dalam wilayah tertentu.
Taman Nasional
Hutan Konservasi
19
2017
Masyarakat Adat Semende Vs TN Bukit Barisan Selatan
DI kawasan TNBBS ini terdapat tiga kelompok sosial, yaitu masyarakat desa,
PT. Adhiniaga Kreasinusa, dan pemerintah (Kemenhut RI). Di dalam ekosistem TNBBS tersebut, masing-masing dari tiga kelompok sosial tersebut
memiliki kepentingan yang berbeda satu sama lain. Pihak TNBBS sebagai pengelola
memiliki kepentingan untuk melakukan kebijakan, perencanaan, dan program untuk
melindungi dan mengelola lingkungan hidup Bukit Barisan Selatan yang memiliki luas
sekitar 365.000 hektar. PT. Adhiniaga Kreasinusa sebagai korporasi yang memiliki tanggung
jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility) melaksanakan tanggung jawabnya
dengan melakukan berbagai kegiatan konservasi di area TNBBS, mulai dari konservasi Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), pembibitan kayu ulin, perlindungan kawasan
laut, dan berbagai fauna lainnya. Di kawasan yang dikelola oleh TWNC, fauna seperti rusa
sambar (Cervus unicolor), kijang (Muntiacus muntjac), kerbau liar (Bubalus bubalis), burung
merak dan kuda dapat ditemukan hidup liar di sana. Di sisi lain, masyarakat desa yang
berbatasan dengan TNBBS memiliki kepentingan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
sehari-hari. Masyarakat desa memenuhi kebutuhan hidupnya dengan memanfaatkan dataran
di sekitarnya baik tanah berupa hutan maupun laut. Kegiatan pemenuhan kebutuhan tersebut
telah dilakukan oleh masyarakat desa bertahun-tahun lamanya di daerah TNBBS.
Perbedaan kepentingan ini menyebabkan terjadinya konflik kepentingan di antara ketiga
kelompok sosial tersebut. Di antara masing-masing kelompok sosial tersebut terjadi saling
klaim terhadap sumber daya yang berada di dalam area TNBBS tersebut bahwa sumber daya
tersebut merupakan hak kelompok yang satu dan bukan hak kelompok lainnya.
Taman Nasional
Hutan Konservasi
20
2010
Terenggutnya Areal Penggembalaan dan Berkebun Orang Toiba