Imbo Putui adalah hutan larangan kebanggaan masyarakat adat Kenegerian Petapahan. Keberadaan Hutan Adat Imbo Putui dan Kenegerian Petapahan tidak bisa dipisahkan dari sejarah awal mula peradaban di era kerajaan pra-Islam, peradaban di Selat Malaka, penyebaran awal Islam, kerajaan Islam, era kolonial, hingga awal kemerdekaan Republik Indonesia. Hutan adat ini juga menyimpan sejarah tentang kesepakatan dua alam, alam gaib dan alam nyata.
Gambar 1. Gerbang Masuk Hutan Adat Imbo Putui
Hutan Larangan Imbo Putui dan Masyarakat Hukum Adat Kenegerian Petapahan telah diakui statusnya oleh Negara sejak terbitnya Surat Keputusan (SK) Bupati Kampar pada tahun 2018 No. 660-491/X/2018, dan pengakuan hutan adat dari Negara berdasarkan SK KLHK no. SK.7503/MENLHK-PSKL/PKTHA/KUM.1/9/2019 tanggal 17 September 2019 yang diserahkan oleh Presiden Joko Widodo pada awal tahun 2020. Sebagai hutan adat pertama yang diakui di Provinsi Riau, hutan adat yang terletak di desa Petapahan, Kecamatan Tapung, Kabupaten Kampar ini mencakup wilayah seluas 251 hektar. Waktu tempuhnya hanya 40 menit dari Kota Pekanbaru, dekat dengan jalan lintas Kabupaten Pekanbaru-Pasir Pengaraian (Rokan Hulu). Gambar 2. di bawah menampakkan foto udara Hutan Adat Imbo Putui yang begitu kontras dengan tegakan sawit yang mengelilinginya.
Gambar 2. Hutan Adat Imbo Putui dikelilingi Konsesi Sawit
Dahulu, luasan hutan larangan hampir dua kali lipat lebih dari luasan yang diakui sebagai hutan adat saat ini. Sayangnya, ekspansi perkebunan sawit perlahan menggerogoti sebagian hutan adat tanpa diketahui oleh masyarakat. Masyarakat adat Kenegerian Petapahan masygul saat mengetahui hutan larangan yang dapat disahkan sebagai hutan adat hanya sekitar 251 hektar.
Tidak hanya lahan, kebun sawit di sekitar hutan adat juga secara tidak langsung telah menghapus ritual adat yang kerap dilakukan oleh masyarakat di sungai. Badan sungai diluruskan, ditimbun, dicemari, hingga menyebabkan erosi, sedimentasi, dan banjir. Sungai saat ini kehilangan fungsi sebagai cikal bakal budaya dan sumber kehidupan.
Jalan yang membelah hutan adat Imbo Putui dahulu merupakan jalan setapak menuju ladang kini dilalui truk-truk pengangkut kayu dan sawit. Lalu lalang truk dengan frekuensi yang tinggi telah menyebabkan debu jalanan terangkat dan menutupi dedaunan di samping kiri dan kanan jalan. Debu tebal yang menempel pada daun menghambat pertumbuhan pepohonan yang berada di sisi jalan.
Ekosistem utama bagi masyarakat adat Kenegerian Petapahan bukan hanya hutan, tetapi hutan-sungai. Sungai dan hutan dibagi menurut peruntukannya. Bahkan, ruang-ruang sungai sampai diatur antara wilayah laki-laki dan wilayah perempuan.
Tata ruang hutan dibagi menjadi pemanfaatan bagi manusia untuk permukiman dan ladang, hutan larangan adat (imbo ghano), dan hutan bagi satwa liar (imbo pitaliong). Ruang yang boleh dimanfaatkan oleh masyarakat hanya wilayah permukiman dan ladang. Hutan larangan adat boleh dimanfaatkan hanya saat ada kebutuhan mendesak, misalkan saat ladang tidak menghasilkan. Tetapi, pemanfaatan hutan larangan adat harus berdasarkan izin dari pemangku adat.
Tata ruang sungai dibagi menjadi tepian mudiok, tepian lakuok, tepian masojik, dan tepian ujuong tanjuong yang diperuntukkan bagi kelompok laki-laki, serta tepian sughau, tepian macang, dan tepian samogham yang diperuntukkan bagi perempuan. Saat ini ruang sungai yang masih digunakan adalah tepian mudiok, tepian sughau, tepian samogham, tepian ujuong tanjuong, dan sebagian tepian macang.
Gambar 3. Sungai Petapahan
Saat ini, sungai telah surut. Sungai yang tadinya memiliki kedalaman hingga tiga meter, kini hanya sebatas betis kaki. Otomatis, ikan yang membutuhkan genangan dalam untuk bertelur tak lagi dapat ditemukan dan hanya menyisakan ikan yang toleran terhadap air dangkal dan tercemar. Ikan-ikan tapah yang wajib tersedia dalam sajian adat sekarang hanya bisa diperoleh dengan cara membeli. Budaya menangkap ikan beramai-ramai (manubo) beberapa tahun belakangan sudah tak dilakukan karena tubo sulit didapat. Balimau kasai kini harus dilakukan di sungai yang dangkal. Bahkan, masyarakat rutin membeli air kemasan untuk kebutuhan minum harian. Air yang bersumber dari sungai juga tak dapat mengalir dengan lancar ke pemukiman saat musim kemarau untuk keperluan mandi, cuci, dan kakus.
Setelah hampir 30 tahun, masyarakat baru menyadari dampak buruk operasional sawit yang abal-abal. Hutan dibabat dan ditanami sawit tanpa melalui kesepakatan secara adat. Sungai-sungai diluruskan. Anak-anak sungai ditimbun. Sawit ditanam hingga nyaris ke badan sungai. Tanaman-tanaman asli di bibir sungai telah berganti dengan jajaran sawit, bersamaan dengan tegakan bambu yang bisa dihitung jari. Sementara, ikan-ikan asli penghuni sungai tidak dapat ditemukan lagi entah karena mati atau bermigrasi mencari habitat baru.
Setelah pengakuan Hutan Adat Imbo Putui oleh negara, masyarakat adat perlahan mulai sadar dan berbenah. Usaha penyelamatan ekosistem hutan dan sungai yang tersisa terus didorong. Kesadaran pentingnya menjaga hutan dan sungai di-estafetkan kepada para generasi muda dan pengunjung Hutan Adat Imbo Putui. Pemilik lahan sawit di sekitar hutan adat bisa berganti, staf perusahaan dapat dirotasi, tetapi masyarakat adat Kenegerian Petapahan tidak akan pindah. Hutan adat akan terus dijaga oleh para pemangku adat yang tidak bisa diganti.
Sudah selayaknya tamu menghormati tuan rumah. Sudah selayaknya perusahaan sawit sebagai pendatang menaruh hormat dan respect pada kepemilikan penduduk asli, jika masih ingin hidup tentram berdampingan. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Hal yang bisa dilakukan masyarakat adat terhadap pelanggar peraturan negara dan pelanggar kesepakatan adat harus ditempuh dengan segala cara demi memastikan keberlangsungan ekosistem hutan adat, sungai, dan sumber-sumber air lainnya secara beradat dan beradab.
Saat ini, sebagian wilayah Hutan Adat Imbo Putui diusahakan sebagai ekowisata berbasis adat. Setiap pengunjung diharapkan dapat mematuhi beberapa aturan yang dibuat oleh lembaga pengelola hutan adat. Aturan tersebut dibuat berdasarkan atas adat bersendi syara’ yang dianut oleh Masyarakat Adat Kenegerian Petapahan. Masyarakat Adat Kenegerian Petapahan saat ini juga sedang mengajukan keluhan kepada RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil), asosiasi yang mengembangkan dan mengimplementasikan standar global untuk produksi minyak sawit berkelanjutan. Hal ini dilakukan sebagai upaya memulihkan ekosistem hutan dan sungai yang sudah dirusak oleh kehadiran perkebunan besar sawit yang telah memiliki sertifikat RSPO. Masyarakat Adat Kenegerian Petapahan menuntut tanggung jawab dari perusahaan yang telah hadir, melakukan ekspansi ke hutan adat, dan menyebabkan dampak buruk bagi masyarakat dan lingkungan.