Petani dari sejumlah desa di Kabupaten Kediri secara turun-temurun telah mengelola tanah bekas waduk aliran lahar dingin Gunung Kelud. Waduk tersebut terbentang sepanjang aliran sungai Konto, yang merupakan anak sungai dari sungai Brantas. Adapun bekas waduk aliran lahar dingin gunung Kelud tersebut berada di Desa Blaru, Desa Krecek, Kecamatan Kandangan dan Desa Karangtengah, Kecamatan Badas, Kabupaten Kediri. Petani telah mengelola dan menggarap tanah pertanian tersebut sejak zaman sebelum kemerdekaan, tepatnya tahun 1942. Berdasarkan keterangan salah satu saksi hidup dari warga Desa Blaru, sebelumnya tanah tersebut masih berupa tanah kosong dan ditumbuhi semak belukar, dan masyarakat sekitar tidak mempunyai tanah untuk bercocok tanam. Kemudian, dengan adanya tanah kosong tersebut masyarakat dari beberapa desa tersebut mulai membuka lahan sedikit demi sedikit – praktik membuka lahan ini dikenal dengan istilah “bibrikan” – dan memanfaatkannya dengan menanami ketela dan tanaman pangan lainnya.
Setelah masa kemerdekaan atau sekitar tahun 1950-an, masyarakat semakin banyak yang memanfaatkan tanah tersebut untuk pertanian. Sampai pada akhirnya, sekitar tahun 1965, tanah tersebut sudah menjadi tanah produktif yang diolah masyarakat petani dari tiga desa tersebut di atas, dengan total luas kurang lebih 300 hektar dan diusahakan oleh 600 Rumah Tangga Petani (RTP). Pada tahun 1980-an, pihak Dinas Pengairan melakukan pemasangan patok batas sempadan Sungai Konto, dan menetapkannya menjadi kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS). Selanjutnya, Dinas Pengairan menyewakannya kepada petani dengan memberikan surat hak guna sewa tanah untuk pertanian. Bentuk sewa ini disertai penarikan retribusi tiap tahunnya.
Pada tahun 1990-an, terdapat kegiatan penambangan pasir yang dilakukan oleh banyak perusahaan atas izin bupati yang menjabat saat itu. Masyarakat tidak berani menolak, dan akibatnya tanah pertanian yang selama ini diolah untuk bercocok tanam menjadi rusak. Pada tahun 1998, kegiatan penambangan pasir berakhir, masyarakat petani dari tiga desa tersebut pun mulai mengolah tanah mereka kembali.
Namun, secara tiba-tiba, pada 2017, Pemerintah Provinsi Jawa Timur melalui rekomendasi Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) mengeluarkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk kegiatan pertambangan galian C kepada PT. Gemilang Bumi Sarana seluas 30,58 hektar. Area IUP tersebut berada di tengah tanah pertanian masyarakat, sehingga kembali memicu konflik antara petani dengan BBWS. Praktis sejak adanya IUP PT. Gemilang Bumi Sarana sejak 2017 ini, petani berkali-kali harus menghadapi intimidasi dan tindakan represif di lapangan yang diikuti dengan upaya-upaya kriminalisasi. Bahkan, pada September 2021, upaya kriminalisasi yang berujung pada pemanggilan oleh pihak Kepolisian Resort Kediri dialami oleh tujuh orang petani.
Penolakan demi penolakan terhadap kegiatan pertambangan dilakukan oleh para petani yang tergabung dalam Paguyuban Masyarakat Sejahtera Bersama Kediri (PMSBK). Penolakan ini dilakukan dengan aksi-aksi penghadangan langsung di lapangan. Situasi ketegangan akibat konflik agraria tersebut masih menggunakan cara-cara represi, intimidasi, dan kriminalisasi dari preman maupun dari aparat penegak hukum sebagai respon atas aksi penolakan yang dilakukan oleh petani PMSBK yang ada di lapangan.
Selain penolakan secara langsung di lapangan, pada November 2021, petani yang tergabung dalam organisasi PMSBK tersebut juga melakukan pemetaan partisipatif, untuk pendataan spasial masing-masing di lokasi garapan petani. Selanjutnya, peta hasil pemetaan partisipatif tersebut akan diusulkan kepada Pemerintahan Kabupaten Kediri dan Pemerintahan Provinsi Jawa Timur, sebagai salah satu upaya penyelesaian konflik antara petani dengan BBWS.