Di Indonesia, perwujudan pemenuhan hak asasi manusia, baik hak-hak ekonomi, sosial dan budaya serta hak-hak sipil politik, ditemukan dalam sejumlah peraturan perundang undangan yang ada. UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (yang lebih dikenal dengan UUPA 1960) misalnya telah memuat sejumlah peraturan yang menegaskan perlunya dipenuhi hak atas tanah untuk penghidupan yang layak bagi kelompok masyarakat yang hidupnya sangat tergantung kepada tanah.
UUPA juga mengatur bagaimana Negara seharusnya memberikan jaminan dan pelayanan untuk mengatur seluruh sumber-sumber agraria di Indonesia untuk tujuan sebesar-besarnya kepentingan rakyat. Prinsip utama yang diuraikan dalam UUPA adalah prinsip keadilan dalam penguasaan tanah dengan memberikan prioritas kepada petani dan keluarga tani yang tidak memiliki tanah. Prinsip ini merupakan perwujudan dari pandangan bahwa penguasaan tanah dalam luasan tertentu akan memberikan (menjamin) terjadinya peningkatan produktivitas mereka yang sekaligus akan menjamin kebutuhan pangan serta mencapai kehidupan yang layak.
Walaupun UUPA telah merumuskan dan menjamin hak-hak rakyat khususnya kaum tani untuk mencapai penghidupan yang layak, menguatnya kecenderungan untuk memberikan fasilitas yang sebesar-besarnya kepada kepentingan pengusaha untuk menguasai tanah dan sumber-sumber agraria lainnya lebih mendominasi kebijakan pemerintah di Indonesia pasca 1965. Akibatnya yang terjadi adalah ketimpangan dalam penguasaan tanah yang disusul dengan maraknya konflik pertanahan sebagai akibat dari praktek-praktek penggusuran dan proses peningkatan ”ketuna-kismaan” (landlessness).
Pentingnya reforma agraria kembali ditegaskan dengan penerbitan Tap MPR No. lX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Substansi dari Tap MPR itu adalah, pertama; penataan hukum dan politik pertanahan. Kedua; inventarisasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan (landreform) yang berkeadilan. Ketiga; menyelesaikan konflik berkenaan dengan sumber daya agraria. Keempat; memperkuat kelembagaan dalam rangka pelaksanaan pembaharuan keagrariaan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya pada 31 Januari 2007 menyatakan bahwa kegiatan itu dilaksanakan bertahap dengan terlebih dahulu mengalokasikan tanah bagi rakyat.
PENYELESAIAN KONFLIK DI TRISOBO
Di banyak tempat, seperti di Trisobo, Tanah eks hak erfpacht tidak diusahakan secara produktif oleh pemegang haknya. PT KAL gagal mengelola tanah secara produktif bahkan PT KAL, di beberapa wilayah konsesi HGU lainnya, melakukan konversi lahan dari kawasan perkebunan menjadi kawasan perumahan mewah dan kawasan industri. Di sisi lain, model penguasaan tanah oleh petani Trisobo menunjukkan pengelolaan tanah secara produktif, Model yang dilakukan adalah menduduki tanah yang masih terlantar dilanjutkan penanaman palawija dan pohon pisang. Petani juga diwajibkan menanam tanaman keras (rambutan, durian dan mangga) masing-masing 9 (sembilan) pohon, untuk ditanam dan mencegah erosi. Petani juga dilarang untuk menyewakan lahan, serta menjual belikan lahan. Maka dibuat keputusan bahwa lahan reclaiming tidak boleh disewakan dan dijual belikan antar petani.
Walaupun PT KAL gagal mengelola lahan secara produktif, BPN tetap mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Nomor: SK.80-550.2-33-2009 tertanggal 30 Juni 2009 tentang Pemberian HGU Atas Nama PT KAL atas 5 (lima) Bidang Tanah di Kabupaten Kendal, salah satunya adalah Sertipikat Hak Guna Usaha No.2 terletak di Desa Trisobo, Kecamatan Boja dengan luas 519.054 m2. BPN memang melepaskan 11,5 ha tanah dari objek HGU, namun subjek penerima tanah itu bukan petani yang berjuang untuk hak atas tanah.
Penyelesaian konflik agraria dalam praktek tidak berjalan di Trisobo di satu sisi mencerminkan berlanjutnya kebijakan yang lebih mengutamakan penguasaan tanah dalam skala besar oleh badan-badan usaha komersial. Di sisi lain, menunjukan semakin terbatasnya akses penduduk setempat terhadap tanah untuk kepentingan keberlanjutan kehidupan ekonomi dan sosialnya. Menurut penulis, klaim Kanwil BPN telah melaksanakan reforma agraria dengan menyelesaikan konflik antara masyarakat dan badan hukum, melalui mediasi berpola win-win solution adalah bentuk penyelesaian konflik agraria tanpa redistribusi tanah kepada petani [.]