Trisobo: Reforma Agraria Setengah Hati (Bagian Kedua)

 

 Admin    02-09-2022    00:00 WIB  

Di Indonesia, perwujudan pemenuhan hak asasi manusia, baik hak-hak ekonomi, sosial  dan budaya serta hak-hak sipil politik, ditemukan dalam sejumlah peraturan perundang undangan yang ada. UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (yang  lebih dikenal dengan UUPA 1960) misalnya telah memuat sejumlah peraturan yang  menegaskan perlunya dipenuhi hak atas tanah untuk penghidupan yang layak bagi  kelompok masyarakat yang hidupnya sangat tergantung kepada tanah.  

 

UUPA juga mengatur bagaimana Negara seharusnya memberikan jaminan dan  pelayanan untuk mengatur seluruh sumber-sumber agraria di Indonesia untuk tujuan  sebesar-besarnya kepentingan rakyat. Prinsip utama yang diuraikan dalam UUPA adalah  prinsip keadilan dalam penguasaan tanah dengan memberikan prioritas kepada petani  dan keluarga tani yang tidak memiliki tanah. Prinsip ini merupakan perwujudan dari  pandangan bahwa penguasaan tanah dalam luasan tertentu akan memberikan  (menjamin) terjadinya peningkatan produktivitas mereka yang sekaligus akan menjamin  kebutuhan pangan serta mencapai kehidupan yang layak.  

 

Walaupun UUPA telah merumuskan dan menjamin hak-hak rakyat khususnya kaum tani  untuk mencapai penghidupan yang layak, menguatnya kecenderungan untuk  memberikan fasilitas yang sebesar-besarnya kepada kepentingan pengusaha untuk  menguasai tanah dan sumber-sumber agraria lainnya lebih mendominasi kebijakan  pemerintah di Indonesia pasca 1965. Akibatnya yang terjadi adalah ketimpangan dalam  penguasaan tanah yang disusul dengan maraknya konflik pertanahan sebagai akibat dari  praktek-praktek penggusuran dan proses peningkatan ”ketuna-kismaan” (landlessness). 

 

Pentingnya reforma agraria kembali ditegaskan dengan penerbitan Tap MPR No.  lX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.  Substansi dari Tap MPR itu adalah, pertama; penataan hukum dan politik pertanahan.  Kedua; inventarisasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan  (landreform) yang berkeadilan. Ketiga; menyelesaikan konflik berkenaan dengan sumber  daya agraria. Keempat; memperkuat kelembagaan dalam rangka pelaksanaan  pembaharuan keagrariaan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya pada  31 Januari 2007 menyatakan bahwa kegiatan itu dilaksanakan bertahap dengan terlebih  dahulu mengalokasikan tanah bagi rakyat.  

 

PENYELESAIAN KONFLIK DI TRISOBO 

Di banyak tempat, seperti di Trisobo, Tanah eks hak erfpacht tidak diusahakan secara  produktif oleh pemegang haknya. PT KAL gagal mengelola tanah secara produktif  bahkan PT KAL, di beberapa wilayah konsesi HGU lainnya, melakukan konversi lahan  dari kawasan perkebunan menjadi kawasan perumahan mewah dan kawasan industri. Di  sisi lain, model penguasaan tanah oleh petani Trisobo menunjukkan pengelolaan tanah  secara produktif, Model yang dilakukan adalah menduduki tanah yang masih terlantar  dilanjutkan penanaman palawija dan pohon pisang. Petani juga diwajibkan menanam  tanaman keras (rambutan, durian dan mangga) masing-masing 9 (sembilan) pohon,  untuk ditanam dan mencegah erosi. Petani juga dilarang untuk menyewakan lahan, serta menjual belikan lahan. Maka dibuat keputusan bahwa lahan reclaiming tidak boleh  disewakan dan dijual belikan antar petani.  

 

Walaupun PT KAL gagal mengelola lahan secara produktif, BPN tetap mengeluarkan  Surat Keputusan (SK) Nomor: SK.80-550.2-33-2009 tertanggal 30 Juni 2009 tentang  Pemberian HGU Atas Nama PT KAL atas 5 (lima) Bidang Tanah di Kabupaten Kendal,  salah satunya adalah Sertipikat Hak Guna Usaha No.2 terletak di Desa Trisobo,  Kecamatan Boja dengan luas 519.054 m2. BPN memang melepaskan 11,5 ha tanah dari  objek HGU, namun subjek penerima tanah itu bukan petani yang berjuang untuk hak atas  tanah. 

 

Penyelesaian konflik agraria dalam praktek tidak berjalan di Trisobo di satu sisi  mencerminkan berlanjutnya kebijakan yang lebih mengutamakan penguasaan tanah  dalam skala besar oleh badan-badan usaha komersial. Di sisi lain, menunjukan semakin  terbatasnya akses penduduk setempat terhadap tanah untuk kepentingan keberlanjutan  kehidupan ekonomi dan sosialnya. Menurut penulis, klaim Kanwil BPN telah  melaksanakan reforma agraria dengan menyelesaikan konflik antara masyarakat dan  badan hukum, melalui mediasi berpola win-win solution adalah bentuk penyelesaian  konflik agraria tanpa redistribusi tanah kepada petani [.]

 

Berita Lain