Trisobo: Reforma Agraria Setengah Hati (bagian pertama)

 

 Admin    02-09-2022    00:00 WIB  

Konflik di tanah eks hak erfpacht antara petani Trisobo dan PT Karyadeka Alam Lestari  (KAL) dimulai oleh politik hukum agraria yang tidak adil. Di tahun 1965, tanah diambil alih  kepemilikannya oleh Perusahaan Perkebunan Negara (PPN) setelah meletusnya G30S.  Para petani dituduh oleh PPN sebagai orang-orang yang terlibat PKI sehingga kalau  tidak mau meninggalkan lahan pertaniannya akan “diciduk”.  

 

Desa Trisobo merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Boja Kabupaten Kendal,  Provinsi Jateng. Letak Desa Trisobo dikelilingi perkebunan dan Perhutani. Adanya  perkebunan dan hutan yang dikuasai oleh Perhutani tidak memberikan keuntungan bagi  masyarakat. PT KAL, pada tahun 90-an, hanya menyerap tenaga kerja sejumlah 15  orang dengan upah rata-rata Rp.400.000,- per bulan. Masyarakat Trisobo mayoritas  bekerja sebagai petani dan buruh tani. Mereka rata-rata hanya mengelola 0,25 ha lahan. 

 

Pada tanggal 17 April 2000, sekitar jam 10.30 WIB petani Desa Trisobo melakukan aksi  reclaiming di perkebunan karet PT KAL Afdeling Trisobo. Mereka melakukan reclaiming dengan menutup jalan masuk ke kebun karet, memasang spanduk-spanduk yang berbunyi diantaranya Tanah Milik Rakyat, Kembalikan Tanah Milik Rakyat, Cabut HGU Cacat Hukum, Kembalikan Hak Tanah Rakyat dan menduduki lahan. Petani kemudian  membuat 2 (dua) pos keamanan.  

 

Setahun sebelumnya tanaman karet seluas 67 ha ditebang oleh PT KAL sehingga petani  tidak mengalami kesulitan dalam menduduki lahan yang telah siap diolah sebagai lahan  pertanian. Akhirnya petani bisa menduduki lahan seluas 80 Ha. Petani lalu mendirikan  organisasi tani bernama Paguyuban Petani Ngaglik Trisobo (PPNT) dan kemudian  bergabung dalam Organisasi Tani Jawa Tengah (ORTAJA). Sejak itu PPNT didampingi  ORTAJA dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang aktif menempuh jalur non  litigasi untuk memperkuat posisi dengan menemui BPN, Gubernur, Bupati, dan DPRD  namun semua tidak menghasilkan penyelesaian konflik. 

 

Oktober 2003, PPNT mengumpulkan petani untuk pendaftaran pembuatan SPPT.  Hasilnya pada bulan Maret 2004 KPPBB Ungaran mengeluarkan SPPT baru sejumlah  394 wajib pajak. PT KAL melakukan intervensi dengan mengirim surat keberatan tanggal  27 April 2004 No: 045/KAL-PW/IV/2004 tentang keberatan atas terbitnya SPPT. KPPBB  Ungaran kemudian membatalkan SPPT sampai dengan adanya kepastian hukum selanjutnya tentang masalah tanah yang digarap masyarakat Desa Ngaglik Trisobo.  Tidak hanya itu, intimidasi kerap dilakukan oleh preman, bahkan 10 (sepuluh) orang  petani dikriminalisasi. PT KAL mengajukan permohonan perpanjangan hak guna usaha  (HGU) per 20 Maret 2009 ke BPN Kanwil Jateng. Seharusnya, HGU PT KAL berakhir  pada 31 Desember 2002. Padahal, dalam PP No 40/1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak  Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah disebutkan bahwa permohonan  perpanjangan dilakukan dua tahun sebelum HGU berakhir.  

 

Berbagai upaya yang dilakukan oleh petani tidak berbuah manis. BPN akhirnya  mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Nomor: SK.80-550.2-33-2009 tertanggal 30 Juni  2009 tentang Pemberian HGU Atas Nama PT KAL atas 5 (lima) Bidang Tanah di  Kabupaten Kendal, salah satunya adalah Sertipikat Hak Guna Usaha No.2 terletak di  Desa Trisobo, Kecamatan Boja dengan luas 519.054 m2. BPN memang melepaskan  11,5 ha tanah dari objek HGU, namun subjek penerima tanah itu bukan petani yang  berjuang untuk hak atas tanah. Merespon SK BPN itu, Lembaga Bantuan Hukum (LBH)  Semarang menerima mandat dari petani untuk melakukan gugatan PTUN. Seperti jalur  non litigasi, jalur litigasi ini membentur tembok tebal

 

 

 

 

Berita Lain