Konflik di tanah eks hak erfpacht antara petani Trisobo dan PT Karyadeka Alam Lestari (KAL) dimulai oleh politik hukum agraria yang tidak adil. Di tahun 1965, tanah diambil alih kepemilikannya oleh Perusahaan Perkebunan Negara (PPN) setelah meletusnya G30S. Para petani dituduh oleh PPN sebagai orang-orang yang terlibat PKI sehingga kalau tidak mau meninggalkan lahan pertaniannya akan “diciduk”.
Desa Trisobo merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Boja Kabupaten Kendal, Provinsi Jateng. Letak Desa Trisobo dikelilingi perkebunan dan Perhutani. Adanya perkebunan dan hutan yang dikuasai oleh Perhutani tidak memberikan keuntungan bagi masyarakat. PT KAL, pada tahun 90-an, hanya menyerap tenaga kerja sejumlah 15 orang dengan upah rata-rata Rp.400.000,- per bulan. Masyarakat Trisobo mayoritas bekerja sebagai petani dan buruh tani. Mereka rata-rata hanya mengelola 0,25 ha lahan.
Pada tanggal 17 April 2000, sekitar jam 10.30 WIB petani Desa Trisobo melakukan aksi reclaiming di perkebunan karet PT KAL Afdeling Trisobo. Mereka melakukan reclaiming dengan menutup jalan masuk ke kebun karet, memasang spanduk-spanduk yang berbunyi diantaranya Tanah Milik Rakyat, Kembalikan Tanah Milik Rakyat, Cabut HGU Cacat Hukum, Kembalikan Hak Tanah Rakyat dan menduduki lahan. Petani kemudian membuat 2 (dua) pos keamanan.
Setahun sebelumnya tanaman karet seluas 67 ha ditebang oleh PT KAL sehingga petani tidak mengalami kesulitan dalam menduduki lahan yang telah siap diolah sebagai lahan pertanian. Akhirnya petani bisa menduduki lahan seluas 80 Ha. Petani lalu mendirikan organisasi tani bernama Paguyuban Petani Ngaglik Trisobo (PPNT) dan kemudian bergabung dalam Organisasi Tani Jawa Tengah (ORTAJA). Sejak itu PPNT didampingi ORTAJA dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang aktif menempuh jalur non litigasi untuk memperkuat posisi dengan menemui BPN, Gubernur, Bupati, dan DPRD namun semua tidak menghasilkan penyelesaian konflik.
Oktober 2003, PPNT mengumpulkan petani untuk pendaftaran pembuatan SPPT. Hasilnya pada bulan Maret 2004 KPPBB Ungaran mengeluarkan SPPT baru sejumlah 394 wajib pajak. PT KAL melakukan intervensi dengan mengirim surat keberatan tanggal 27 April 2004 No: 045/KAL-PW/IV/2004 tentang keberatan atas terbitnya SPPT. KPPBB Ungaran kemudian membatalkan SPPT sampai dengan adanya kepastian hukum selanjutnya tentang masalah tanah yang digarap masyarakat Desa Ngaglik Trisobo. Tidak hanya itu, intimidasi kerap dilakukan oleh preman, bahkan 10 (sepuluh) orang petani dikriminalisasi. PT KAL mengajukan permohonan perpanjangan hak guna usaha (HGU) per 20 Maret 2009 ke BPN Kanwil Jateng. Seharusnya, HGU PT KAL berakhir pada 31 Desember 2002. Padahal, dalam PP No 40/1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah disebutkan bahwa permohonan perpanjangan dilakukan dua tahun sebelum HGU berakhir.
Berbagai upaya yang dilakukan oleh petani tidak berbuah manis. BPN akhirnya mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Nomor: SK.80-550.2-33-2009 tertanggal 30 Juni 2009 tentang Pemberian HGU Atas Nama PT KAL atas 5 (lima) Bidang Tanah di Kabupaten Kendal, salah satunya adalah Sertipikat Hak Guna Usaha No.2 terletak di Desa Trisobo, Kecamatan Boja dengan luas 519.054 m2. BPN memang melepaskan 11,5 ha tanah dari objek HGU, namun subjek penerima tanah itu bukan petani yang berjuang untuk hak atas tanah. Merespon SK BPN itu, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang menerima mandat dari petani untuk melakukan gugatan PTUN. Seperti jalur non litigasi, jalur litigasi ini membentur tembok tebal