Areal hutan menjadi sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dari keberadaan masyarakat, terutama masyarakat adat. Sebagaimana yang dimaknai oleh masyarakat adat di Jambi, dalam Bahasa Limun Sarolangun Jambi, wilayah hutan adat dikenal dengan nama Imbo larangan yang dapat ditemukan di wilayah marga Datuk Nan Tigo kecamatan Limun Kabupaten Sarolangun, istilah marga atau margo di Jambi adalah identitas persekutuan masyarakat adat yang mempunyai hukum teritorial. Dalam wilayah marga datuk nan Tigo, terdapat beberapa datuk yang mengepalai dusun, seperti datuk Temengung yang berpusat di Mengkadai, Datuk Ranggo yang berpusat di Muaro Mensao, dan Datuk Demang yang berpusat di Dusun Pondok. Namun, secara umum marga Datuk Nan tigo berpusat di Dusun Mengkadai. Setelah keluarnya Undang-Undang Desa, wilayah marga Datuk nan tigo terpisah menjadi Beberapa desa yang dikepalai oleh kepala desa sampai saat ini.
Meski saat ini wilayah adat Datuk nan Tigo telah terpisah dalam beberapa desa, namun hubungan masyarakat antar desa masih terjalin dengan baik. Ini dapat dilihat melalu ikatan sosial, seperti hukum-hukum adat yang masih berlaku dalam acara perkawinan dan denda adat bagi mereka yang melanggar hukum adat. Meski tidak tertulis, tapi tetap efektif berlaku di masyarakat.
Peta marga Jambi
Imbo Larangan Dusun Mengkadai di Desa Temengung dibentuk pada tahun 1929 sebagaimana yang tertera dalam berita acara kesepakatan yang ditandatangani oleh pemangku adat pada waktu itu. Di salam kesepakatan tersebut, kawasan Imbo larangan di Dusun Mengkadai diberi nama Pematang Kulim dan Inum sakti. Selain alasan nama ini dibuat berdasarkan kondisi hutan, nama pematang kulim juga dibuat karena di lokasi tersebut terdapat banyak jenis kayu kulim atau kayu bawang dengan Bahasa latin Scorodocarpus - sebuah jenis kayu yang sangat bagus untuk bahan bangunan. Sementara, penamaan Imbo larangan Inum sakti karena di lokasi hutan tersebut terdapat sumber air asin, yang dalam Bahasa setempat di sebut inum. Pada waktu tertentu, sumber air asin menjadi tempat satwa, seperti burung, untuk minum.
Inisiatif masyarakat Dusun Mengkadai di Desa Temengung membentuk Imbo larangan adalah untuk menjaga hutan mereka dari pembukaan lahan dan pengambilan kayu untuk kebutuhan tertentu dalam jumlah yang besar. Termasuk, untuk menjaga pasokan kayu bangunan bagi masyarakat desa agar tetap tersedia saat dibutuhkan. Ini dikarenakan pada waktu itu bahan bangunan hanya berasal dari kayu hutan. Agar pemamfaatan hutan di imbo larangan tidak dilakukan secara besar-besaran, pola pemamfaatannya diatur dalam peraturan adat Desa Temengung dan membentuk lembaga pengelola yang dipilih melalui rapat adat desa. Seiring berjalanya waktu dan bertambahnya jumlah penduduk, kebutuhan kayu untuk bahan bangunan semakin berkurang tapi masyarakat tetap mempertahankan Imbo Larangan. Hanya saja, bentuk pengelolaan secara adat ini belum mendapat pengakuan dari pemerintah melalui surat keputusan.
Dengan keluarnya peraturan pemerintah tentang penguatan hutan adat, pada tahun 2013, tokoh adat Mengkadai berinisiatif untuk mengajukan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk memperoleh Surat Keputusan (SK) Menteri Lingkungan Hidup sebagai dasar hukum dan pengakuan wilayah hutan adat mereka. Dari hasil pemetaan yang dilakukan secara partisipatif, diperoleh luas hutan adat Pematang Kulim dan Inum Sakti adalah 109 hektar. Setelah melengkapi semua dokumen pengajuan pada 2013, masyarakat memperoleh pengakuan Bupati Sarolangun melalui SK No. 357 tahun 2014. Kemudian pada 2018, hutan Imbo Larangan Pematang Kulim dan Inum Sakti memperoleh pengakuan dari KLHK yang diserahkan langsung oleh Presiden Republik Indonesia di istana negara Jakarta dengan nomor SK No. 774 tahun 2018.
Sementara itu, untuk pemanfaatan Hutan Adat diatur di dalam peraturan adat Desa Temenggung. Sejak dibentuk aturan ini pada 1929, pemanfaatan hasil hutan kayu dari Hutan Adat ini hanya diperuntukan bagi masyarakat desa untuk membangun rumah dan fasilitas umum dengan nilai kubikasi kayu yang dibatasi per tahunnya. Misalnya, saat ada warga yang baru menikah dan akan membangun rumah untuk tempat tinggal di perbolehkan mengambil kayu di hutan sebagai bahan dasar bangunan maksimal delapan kubik dengan terlebih dahulu meminta izin kepada lembaga pengelola. Izin ini juga berlaku jika ada masyarakat yang terkena musibah kebakaran rumah. Namun, jika jumah kayu yang diambil melebih batas minimal dari izin yang diberikan, maka akan sisanya harus dikembalikan ke lembaga pengelola hutan adat.
Gambar : Kondisi Tutupan Hutan adat Desa Temenggung
Saat ini tutupan hutan yang masih ditumbuhi dengan hutan primer di Desa Temengung hanya berada di dalam Kawasan Hutan Adat. Sementara di luar itu telah berubah fungsi menjadi areal tanaman kelapa sawit karena memang lokasi Hutan Adat berada di luar Kawasan Hutan Negara. Selain itu, maraknya aktivitas Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) juga menyebabkan beberapa lahan di desa telah berubah fungsi menjadi areal tambang emas.
Sebelum Tahun 2009, mata pencaharian masyarakat desa Temengung adalah petani karet. Namun, dengan turunya harga karet, masyarakat mulai mencari emas sebagai pendapatan tambahan. Pada awalnya, proses pencarian emas dilakukan secara tradisional dengan mendulang di pinggir sungai kemudian ada beberapa pemodal yang datang dari luas desa menawarkan pola pencarian emas dengan lebih modern dengan menggunakan mesin dompeng. Seiring berjalannya waktu, pola pencarian emas dengan menggunakan mesin dompeng pun dinilai sudah tidak lagi efektif, maka pola pencarian emas dilakukan dengan menggunakan alat berat ekskavator.
Pemilik modal biasanya berasal dari luar desa atau masyarakat setempat yang memang memiliki modal besar. Selain dari pada itu, ada juga masyarakat desa yang selama ini hanya bertindak sebagai pemilik lahan. Mereka menyewakan lahannya kepada penambang dengan skema bagi hasil yang mana rata-rata pemilik lahan mendapa 10% dari jumlah keuntungan yang diperoleh dari kegiatan pertambangan emas. Skema yang demikian masih terus beroperasi sampai saat ini.
Selama kebutuhan pembangunan masih menggunakan kayu yang diperoleh dari hutan, selama itu pula kegiatan menebang kayu menjadi ladang bisnis bai beberapa tengkulak/pengumpul (toke) yang beroperasi di desa Temengung dan sekitarnya. Ini berakibat pada maraknya pengambilan (: pencurian) kayu yang terjadi dalam Kawasan Hutan Adat. Ini terbukti dari hasil temuan tim patroli pengurus Hutan Adat yang masih menemukan bekas potongan tebangan kayu yang dilakukan secara ilegal di dalam Kawasan Hutan Adat.
Gambar : Temuan bekas aktivitas illegal logging dalam Hutan Adat
Sementara, ancaman dari sektor tambang bisa dilihat dari banyaknya lobang galian tambang emas yang saat ini berdekatan dengan Kawasan Hutan Adat. Beberapa kali masyarakat yang mempertahankan Hutan Adat harus berkonflik dengan toke atau pemilik modal yang tergiur untuk melakukan aktivitas tambang emas di dalam Hutan Adat. Posisi hutan adat yang berdekatan dengan Izin Usaha Perkebunan (IUP) PTPN dan Makin Group juga mengancam Hutan Adat karena berupaya melakukan perluasan kebun sawit. Saat ini, jalur kegiatan produksi perusahaan tersebut dibangun dengan membelah sisi barat Hutan Adat Pematang Kulim. Meski sempat mendapat peringatan dari masyarakat, sampai saat ini jalur tersebut masih digunakan oleh perusahaan.
Gambar : Bekas galian Tambang Emas
Bertahanya tutupan dan fungsi Imbo larangan sebagai hutan yang tersisa dan penyedia kebutuhan kayu di Dusun Mengkadai, Desa Temenggung saat ini bukan hanya karena telah memperoleh pengakuan dari Pemerintah. Namun, apa yang lebih penting daripada itu adalah masyarakat desa yang menyadari akan nilai historis areal hutan yang telah dititipkan oleh leluhur mereka sejak dahulu.