Catatan 2018 LBH Makassar Soroti Konflik PSDA di Sulsel

 

 Admin    24-02-2019    00:00 WIB  

oleh Wahyu Chandra [Makassar] di 24 February 2019

 

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar dalam Laporan Akhir Tahunnya mencatat masih banyak konflik agraria dan akses pengelolaan sumber daya alam (SDA) di Sulawesi Selatan

Sepanjang 2018, LBH Makassar telah menangani kasus sengketa tanah berjumlah 24 kasus, yang tersebar di sembilan daerah di Sulsel. Kasus tersebut antara lain menyangkut sektor kehutanan, infrastruktur, pertambangan dan kawasan pesisir laut

 

 

Buruknya perlindungan hak kepemilikan dan akses pengelolaan sumber daya alam (SDA) di Sulawesi Selatan menjadi masalah pelik ketika perangkat negara yang bekerja di daerah tidak menghormati hak-hak kepemilikan yang melekat secara tradisional dan turun-temurun dalam kehidupan masyarakat kelas bawah. Situasi ini berujung pada sengketa hak yang dialami oleh masyarakat kelas bawah.

 

“Sengketa tersebut kerap melibatkan campur tangan kekuasaan negara yang berimplikasi pada tindakan intimidasi, kekerasan, penggusuran secara paksa hingga kriminalisasi,” ungkap Edy Kurniawan, Ketua Divisi Tanah dan Lingkungan, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, dalam Laporan Akhir Tahun LBH Makassar 2018, yang dirilis ke media, Selasa, (12/02/2019).

 

Sepanjang tahun 2018, LBH Makassar telah menangani kasus sengketa tanah berjumlah 24 kasus, yang tersebar di sembilan daerah, yaitu Kota Makassar, Kabupaten Gowa, Takalar, Bulukumba, Kepulauan Selayar, Bone, Soppeng, Wajo, dan Enrekang.

 

“Terjadi peningkatan dibanding tahun sebelumnya yang hanya menangani sebanyak 9 kasus. Sektor kehutanan adalah penyumbang terbesar pelanggaran HAM tahun 2018, di mana aktor yang paling sering melakukan pelanggaran HAM berasal dari instansi kehutanan dan pemerintah daerah,” ungkap Edy.

 

Terkait pembangunan infrastruktur, Edy menyoroti keberadaan UU No.2/2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, yang menjadi payung kebijakan untuk menggenjot pembangunan infrastruktur rezim pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla.

 

“Namun, implikasinya berdampak pada pengabaian hak milik petani atas tanah yang melekat secara tradisional dan turun-temurun,” ungkap Edy.

 

Penerapan UU ini dinilai sangat kaku karena menggunakan pendekatan legal-formal, khususnya cara pandang hak milik atas tanah. Pihak penyelenggara pengadaan tanah hanya menggunakan kacamata kuda, dalam memahami hak atas tanah semata-mata berdasar Sertifikat Hak Milik (SHM).

 

“Sedangkan secara substansi pembuktian hak milik atas tanah adalah penguasaan secara turun-temurun yang membentuk hubungan kuat antara tanah dengan empunya. Sementara SHM hanyalah bukti formal-administratif,” tambah Edy.

 

Kesalahpahaman terhadap hak milik atas tanah berdampak pada proses pembebasan lahan dengan ganti rugi yang tidak layak dan tidak adil. Bahkan dalam beberapa kasus, Panitia Pengadaan Tanah (P2T) dinilai tidak berpikir untuk memberikan ganti rugi kepada petani/pemilik lahan lantaran tidak mengantongi SHM.

 

“Situasinya semakin memburuk, manakala proses pembebasan lahan melibatkan Polri dan TNI. Sebab, keterlibatan Polri dan TNI hanya semata-mata melindungi kepentingan penyelenggara pengadaan tanah, tanpa memahami akar permasalahan.”

 

Hal lain yang disoroti LBH Makassar terkait keberadaan UU No.18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H), yang dalam implementasinya dianggap banyak menelan korban kriminalisasi petani kecil tradisional yang menggantungkan hidup dalam kawasan hutan.

 

“Kriminalisasi disebabkan oleh ketidakpastian norma hukum maupun pertentangan norma secara internal dalam UU P3H, khususnya yang mengatur tentang subjek hukum dan jenis perbuatan.”

 

Edy mencontohkan kasus yang terjadi di Soppeng, di mana para petani telah mengelola lahan dalam kawasan hutan Laposo Niniconang selama empat generasi, sejak ratusan tahun lalu. Namun pada 2014, oleh pihak kehutanan ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung. Akibatnya seluruh warga dianggap ilegal, karena mendiami kawasan hutan lindung tanpa hak.

 

“Padahal ada sekitar 3.950 KK atau 23.428 jiwa yang menggantungkan hidup dalam kawasan hutan tersebut,” tambah Edy.

 

Kasus yang sama juga terjadi di Pattapang, Kecamatan Tinggimoncong, Gowa, di mana petani dituduh menyerobot lahan milik Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA).

 

“Sejak keberadaan kawasan hutan, pihak kehutanan terus melakukan intimidasi, pengusiran paksa petani yang sedang menggarap lahannya, penangkapan sewenang-wenang, hingga upaya kriminalisasi.”

 

Tercatat selama 2018, LBH Makassar telah mendampingi tiga orang petani hingga tahap pengadilan, mereka dinyatakan bebas oleh pengadilan. Sedangkan 11 petani lainnya sudah ditetapkan sebagai tersangka, saat ini masih tahap penyidikan di kepolisian dan penyidik kehutanan.

 

Untuk sektor perkebunan, konflik tersebar di tiga daerah, yaitu Kabupaten Bulukumba di mana terjadi konflik HGU PT. London Sumatra (Lonsum) melawan masyarakat hukum Adat Ammatoa Kajang dan petani tradisional. Kemudian di Kabupaten Gowa, terjadi konflik eks HGU PTPN XIV antara petani melawan pihak kehutanan, dan di Kabupaten Bone terjadi konflik antara masyarakat melawan PTPN XIV Camming.

 

Kasus sengketa lahan yang terjadi di Bulukumba di atas lahan seluas 2.555,30 hektar antara PT. Lonsum melawan 2.028,00 KK masyarakat hukum Adat Ammatoa Kajang.

 

Menurut Edy, kegiatan pembukaan dan pematangan lahan PT. Lonsum pada areal perbukitan berpotensi terjadinya gangguan hidrologi yang kaitannya pada peresapan air. Berkurangnya vegetasi pada areal perbukitan berpotensi terjadinya laju peresapan air ke tanah semakin menurun dan laju aliran permukaan semakin tinggi.

 

Berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, PT. Lonsum harus selalu menyesuaikan dalam setiap transisi kebijakan, baik dari segi perizinan maupun ketentuan pokok dalam kegiatan perkebunan.

 

“Namun dalam praktiknya, Lonsum tidak mampu menyesuaikan, khususnya terkait perizinan. Pelanggaran hukum yang dilakukan Lonsum telah merugikan masyarakat Adat Ammatoa Kajang. Sehingga kemudian memicu aksi reclaiming,” jelas Edy.

 

Untuk kasus di Kabupaten Gowa, warga di Desa Belapunranga, Kecamatan Parangloe, sejak 2010 telah berhasil menguasai lahan HGU PTPN XIV seluas 600 hektar. Akan tetapi, beredar kabar jika lahan tersebut ditetapkan sebagai ‘zona merah’, dalam artian tidak seorang pun yang bisa meningkatkan status kepemilikan lahan tersebut.

 

“Menurut informasi, setelah PTPN XIV melepaskan lahannya, lahan itu telah diambil alih oleh pihak kehutanan.”

 

Sorotan lain terkait pengelolaan wilayah pesisir, yaitu penambangan pasir di wilayah pesisir Galesong, Takalar. Lokasi penambangan tersebut digunakan oleh nelayan setempat sebagai wilayah tradisional untuk memancing, pemasangan rompong maupun jaring.

 

Namun sejak aktivitas tambang, nelayan tidak bisa lagi menggunakan lokasi tersebut. Hal ini kemudian berdampak pada mata pencaharian nelayan yang turun secara drastis.

 

“Hingga saat ini Pemerintah Provinsi Sulsel belum menetapkan Peraturan Daerah tentang RZWP3K. Sehingga dipastikan, tambang pasir laut di wilayah Galesong, Takalar adalah kegiatan ilegal,” ujar Edy.

 

Lemahnya fungsi pengawasan dari Pemprov Sulsel maupun Pemda Takalar, dianggap berdampak buruk bagi kehidupan nelayan di pesisir Galesong. Di lain pihak, tumpulnya pisau penegakan hukum lingkungan dari pihak kepolisian maupun Penyidik Pegawai Negeri Sipil Lingkungan Hidup, mengakibatkan nelayan semakin kehilangan harapan.

 

Terkait berbagai permasalahan tersebut, LBH Makassar menyampaikan sejumlah rekomendasi kepada pemerintah. Pertama, LBH Makassar meminta pemerintah menjalankan Reforma Agraria secara genuine.

 

Tuntutan lain terkait pemenuhan hak atas informasi bagi warga negara dalam proses pembangunan infrastruktur, kebijakan sektor kehutanan, perkebunan dan pesisir laut.

 

“Kami juga mendesak Presiden R.I. untuk meninjau ulang kebijakan infrastruktur pembangunan bendungan di Sulsel sebagai Proyek Strategis Nasional serta mendorong review terhadap UU No.2/2012 dan UU No.18/2013.”

 

LBH Makassar juga mendesak KLHK mempercepat proses penataan ulang PAL batas kawasan hutan dengan melibatkan partisipasi dari semua stakeholders dan mendorong percepatan penyelesaian konflik lahan dalam kawasan hutan melalui skema perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan, dalam bentuk Enclave dan Tanah Objek Reforma Agraria (TORA).

 

“Kami juga mendorong Pemerintah dan Pemda untuk maksimalkan fungsi pengawasan terhadap korporasi khususnya di sektor perkebunan dan pesisir laut serta mempercepat pengesahan Ranperda Sulsel tentang RZWP3K, dengan memperhatikan aspirasi nelayan dan keberlanjutan.”

 

https://www.mongabay.co.id/2019/02/24/catatan-2018-lbh-makassar-soroti-konflik-psda-di-sulsel/

Berita Lain