Deklarasi Bandung: Jalankan Reforma Agraria Sejati dan Pengakuan Wilayah Adat

 

 Admin    01-10-2018    00:00 WIB  

Global Land Forum (GLF), 24-27 September 2018 mengusung tema United for Land Rights, Peace and Justice, telah usai. Konferensi tiga tahunan ini melahirkan Deklarasi Bandung, yang menyepakati tata kelola lahan harus berpusat pada masyarakat atau manusia.

 

Deklarasi Bandung, disepakati 260 organisasi dari 84 negara di seluruh dunia, tersebar di Afrika, Asia, Eropa, Timur Tengah, Amerika Utara, Amerika Latin dan Karibia.

 

Baca juga: Kado Hari Tani 2018: Presiden Tandatangani Perpres Reforma Agraria

 

Pada butir keempat deklarasi menyebutkan, dalam tiga tahun terakhir, mereka melihat ketidaksetaraan sosial ekonomi kian ekstrem dan makin akut.

 

”Kekayaan dan kekuasaan, mengontrol tanah dan sumber alam lain, seringkali terkonsentrasi pada segelintir orang yang mengorbankan banyak orang,” kata petikan dalam dokumen itu.

 

Dampak perubahan iklim kian nyata, konflik tanah kian terlihat dan peningkatan penderitaan manusia hingga mendorong migrasi. Korupsi, kurang transparan dan akuntabilitas jadi salah satu pemicu perampasan dan konflik.

 

Baca juga: Mengupas Borok Agraria, Akankah Temukan Obatnya?

 

Adapun fokus utama dalam deklarasi ini terbagi dalam dua masalah, yakni perlindungan lahan dan pembela lingkungan serta reformasi agraria, termuat dalam butir 7 dan 8.

 

Bahwa, tren pembunuhan, serangan dan kriminalisasi pembela atas lahan dan lingkungan, baik individu maupun masyarakat, tak dapat diterima. Ia jadi “krisis global” tak hanya di Indonesia, tetapi di berbagai negara, terutama pada petani dan masyarakat adat.

 

Selama dekade terakhir, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) melaporkan terjadi perampasan tanah melalui pengusiran 3,5 juta orang, penahanan pembela hak atas tanah dan lingkungan 1.617 orang dan pembunuhan pejuang tanah dan lingkungan 122 orang.

 

Dengan begitu, penting memperkuat kerangka kerja, lembaga dan instrument HAM, seperti proses yang sedang berlangsung di Dewan Hak Asasi Manusia pada Deklarasi PBB tentang hak-hak petani dan orang lain yang bekerja di pedesaan.

 

”Kami menyerukan kepada pemerintah segera menegakkan kewajiban mereka melindungi pembela lahan dan lingkungan.”

 

Dalam deklarasi itu, mereka meminta sepenuhnya menerapkan Deklarasi PBB tentang pembela hak asasi manusia yang diadopsi 20 tahun lalu. Juga memastikan perusahaan dan investor menghormati hak-hak pembela lahan dan lingkungan dalam kegiatan dan rantai pasokan mereka.

 

Untuk reformasi agraria diharapkan kembali menjadi agenda politik nasional dalam memperbaiki ketimpangan pada masyarakat pedesaan. Pendekatan reforma agraria berkelanjutan dan kesetaraan gender jadi jalan penting menuju masa depan dengan meminimalkan konflik dan menciptakan keadilan sosial.

 

Untuk mencapai tujuan, sangat penting pembaharuan agraria: pertama, didasarkan kebijakan pertanian, penguasaan lahan, investasi dan penggunaan lahan yang koheren dan berkelanjutan. Kedua, didukung sumber daya dan infrastruktur sosial memadai.

 

Ketiga, dirancang dan diimplementasikan dengan partisipasi berarti dari organisasi yang mewakili petani kecil, masyarakat adat, penggembala dan komunitas lokal yang terkena dampak.

 

Keempat, mengakui hubungan intrinsik masyarakat adat dengan tanah, wilayah, dan sumber daya alam mereka. Juga mendukung semua bentuk hak tanah masyarakat dan hak penguasaan lahan adat sebagai cara mengatasi konflik lahan. Kelima, tak boleh didanai pinjaman apapun atau dukungan keuangan eksternal lain yang bertentangan dengan tata kelola lahan yang berpusat pada manusia.

 

Michael Taylor, Direktur International Land Coalition (ILC) mengatakan, dalam deklarasi itu semua anggota setuju penatakelolaan lahan berpusat pada manusia. Ia langkah penting mengatasi kemiskinan dan kelaparan, serta membangun perdamaian dan keadilan.

 

“Tata kelola lahan yang berpusat pada masyarakat berarti keputusan tentang tanah, air dan sumber daya alam dibuat pertama dan terutama perempuan, laki-laki, keluarga dan masyarakat yang hidup dan bergantung pada tanah,” katanya kepada Mongabay.

 

Ada 11 butir rekomendasi lahir dalam Deklarasi Bandung, dua poin terkahir merujuk pada konteks Indonesia. Agenda ambisius pemerintah Indonesia, terkait 9 juta hektar lahan dan 12,7 juta hektar kawasan untuk rakyat.

 

Namun, Taylor mengingatkan, reformasi agraria sejatinya bukan hanya sertifikasi ha katas tanah. ”Reformasi agraria harus mengatasi konflik tanah dengan memberikan tanah kepada mereka yang tidak memiliknya dan menghentikan kriminalisasi pembela hak atas tanah,” katanya.

 

Dia bilang, tantangan terbesar reforma agraria pada level global adalah bagaimana mengatasi ketidaksetaraan di banyak negara.

 

Dia contohkan, Kolombia, Afrika Selatan dan Indonesia, selalu mencoba menerapkan reforma agraria sejati namun terbukti sulit. Lebih mudah, katanya, mengesahkan hak daripada mendistribusikan dari kaya ke miskin.

 

Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengatakan, dalam konteks Indonesia, deklarasi Bandung, menekankan dukungan reforma agraria sejati, termasuk pengakuan wilayah adat.

 

Meski ada langkah positif pemerintah, dengan menerbitkan Perpres 88/2017 tentang penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan. Inpres 8/2018 tentang penundaan dan evaluasi peizinan perkebunan sawit dan peningkatan produktivitas perkebunan sawit dan Perpres Reforma Agraria. Baginya, terlalu dini menyebutkan, perpres reforma agraria mampu membuat percepatan program ini.

 

”Reforma agraria sejati itu harus bertumpu pada wilayah konflik agraria dan harus jadi prioritas utama dari target 9 juta hektar,” katanya.

 

Wilayah yang berkonflik agraria itu nyata sebagai potret ketimpangan, marjinalisasi kelompok karena akses dan hak tanah tak diakui.

 

Pemerintah pun, katanya, diharapkan mampu memisahkan antara reformasi dan sertifikasi tanah yang jadi program rutin Badan Pertanahan Nasional.

 

Berdasarkan data Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN, target 9 juta hektar tanah obyek reforma agraria (tora) sebagian besar dari sertifikasi lahan dan pelepasan kawasan hutan. Hanya 400.000 dari 9 juta hektar dari tanah terlantar dan konsesi kadaluarsa.

 

Sebesar 8,6 juta hektar dari legalisasi lahan rakyat yang belum bersertifikat (4,5 juta hektar, 3,9 juta melalui prona dan 0,6 dari lahan transmigrasi) dan pelepasan kawasan hutan (4,1 juta hektar).

 

”Sertifikasi lahan bukanlah reforma agraria. Reforma agraria sejati adalah mendistribusikan hak lahan kepada mereka yang tak memiliki,” kata Michael.

 

KPA pun mencoba mendorong dan membantu pemerintah melaksanakan reforma agraria dari bawah atau masyarakat untuk mengefektifkan waktu pemerintah.

 

”Mulai dari identifikasi obyek, subyek, by name by address, luasan tiap orang dan penata gunaan lahan maupun penataan produksi.”

 

Seharusnya, tinggal kepastian hukum dan jaminan keberlanjutan serta analisa agar kepemilikan tanah berjangka panjang.

 

Kalangan organisasi masyarakat sipil sudah serahkan peta lokasi prioritas reforma agraria ada 444 lahan tersebar pada 20 provinsi dan 98 kabupaten dengan luas 654.392 hektar, baik dalam kawasan hutan maupun bukan.

 

Dewi bilang, ada 444.888 keluarga di lahan itu. Setiap lokasi adalah kampung atau desa definitif yang terbentuk dan berkembang meski belum ada legalitas lahan.

 

”Kenapa (lahan) tidak diprioritaskan oleh kementerian terkait? Jika kita ingin mempercepat proses reforma agraria, mari kerjakan dari inisiatif masyarakat dari bawah,” katanya.

 

 

 

 

Jangan politisasi

 

Tantangan lain bagi Indonesia, katanya, momen tahun politik. Tantangan ini mampu memperlihatkan sejauh mana keseriusan pemerintah fokus terhadap agenda reforma agraria.

 

KPA khawatir, jika Perpres Agraria ada, namun fokus pemerintah pada kemenangan tahun 2019. ”Kita punya landasan hukum tapi tidak dikerjakan. Itu namanya politisasi reforma agraria, itu yang harus kita hindarkan,” kata Dewi.

 

Politisasi reforma agraria, katanya, meningkatkan kepentingan politik elit bukan pada masyarakat. Untuk itu, perlu langkah serius dan pembuktian bagi pemerintahan Presiden Joko Widodo mendorong keadilan sosial dengan memprioritaskan reforma agraria.

 

Dia bilang, reforma agraria dan pengakuan hutan adat merupakan agenda politik. “Itu harus mendapatkan dukungan politik dari seluruh kalangan baik parlemen, pemerintah dan masyarakat. Yang kita tolak, politisasi reforma agraria.”

 

Dia berharap, setelah ada perpres, pemerintah pusat memastikan bahwa kebijakan ini mampu dipahami, diketahui dan disosialisasikan ke pemerintah daerah. Provinsi, kabupaten dan kota, katanya, kunci pelaksanaan tora. Kalau tak paham, bakal menghambat implementasi.

 

”Seringkali agenda prioritas nasional, tak langsung jadi prioritas daerah, ditambah tahun politik, kepentingan pasti banyak.”

 

Rukka Simbolinggi, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat (AMAN) khawatir, tahun politik reforma agraria susah berjalan. Apalagi, ijon politik, korupsi sumber daya alam marak dan wilayah adat seringkali jadi agunan calon pemimpin daerah.

 

”Untuk itu, usulan masyarakat justru harus jadi perhatian dan acuan utama tora.”

 

Berdasarkan data AMAN dan Forest Watch Indonesia (FWI), sejak 1968, hingga kini, ada 175 konflik masyarakat adat. Ia meliputi sektor perkebunan (62 kasus), kehutanan produksi (35), pertambangan (36), transmigrasi(4). Juga kehutanan konservasi (17), hutan lindung (7), infrastruktur (3), dan lain-lain (migrasi, pangan dan energi, pariwisata, sarana umum, pesisir dan laut dan sarana militer).

 

Penyelesaian reforma agraria pada lahan masyarakat adat harus diawali dengan tiga tahapan, yakni rekognisi, restitusi dan rehabilitasi. Setelah itu, baru berbicara redistribusi.

 

Reforma agraria yang berjalan saat ini, kata Rukka, tak berdasar pada pengakuan atau rekognisi masyarakat adat atas wilayah mereka.

 

Dia menyayangkan, dalam Perpres Reforma Agraria tak meletakkan masyarakat adat sebagai obyek dan subyek. “Perpres bisa berguna jika pemda diperintahkan mengidentifikasi dan inventarisasi masalah-masalah di wilayahnya dan penanganan konflik,” katanya.

 

Percepatan reforma agraria dan pengakuan wilayah adat, katanya, dapat dilakukan dengan menyasar wilayah yang selama ini jadi bank tanah pebisnis, lahan terlantar dan wilayah bekas HGU. Di lapangan, banyak eks HGU jadi pemukiman, ladang dan kebun masyarakat.

 

Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), pengakuan hutan adat baru 25.110,34 hektar dari realisasi 1.917.890,07 hektar perhutanan sosial.

 

Sumber: http://www.mongabay.co.id/2018/10/01/deklarasi-bandung-jalankan-reforma-agraria-sejati-dan-pengakuan-wilayah-adat/

Berita Lain