Gompar Sarumpaet: Pengesahan Perda Masyarakat Adat Terlalu Lambat, Konflik Meruncing!

 

 Admin    04-10-2018    00:00 WIB  

TRIBUN-MEDAN.COM, TOBASA – Masyarakat Adat Kabupaten Toba Samosir menilai Pemerintah Kabupaten Toba Samosir terlalu lambat mengakui Penetapan Masyarakat Adat di Kabupaten Toba Samosir.

 

Satu dari Masyarakat Adat, Gompar Sarumpaet bercerita terkait konflik perampasan lahan serta intimidasi yang terjadi di daerhanya saat ditemui Tribun di Tobasa, Kamis (4/10/2018).

 

Katanya, mereka selama ini BKSDA menyatakan Sigalapang menjadi Kawasan Suaka Margasatwa.

 

Lahan-lahan mereka diganti paksa menjadi kebun sawit sehingga kelembaban tanah di daerahnya menjadi gersang.

 

“Ini harus dipercepat pengesahannya, apalagi konflik bias semakin meruncing jika tidak segera diperhatikan,” kata Gompar.

 

Gompar bahkan pernah dipenjarakan selama 8 bulan karena mempertahankan tanah leluhurnya, padahal leluhurnya sudah mendiami dan mejnaga lokasi mereka di Sigalapang jauh sebelum Negara kesatuan Republik Indonesia terbentuk. Leluhur mereka juga turut mengusir penjajah dari Tanah Batak.

 

Sejak tahun 1701 hingga saat ini silsilah dari leluhurnya masih jelas dan telah berdiam menjaga alam di Adian Baja Tobasa dan Sigalapang Tobasa. Namun, pada tahun 1987 kementrian kehutanan mulai mengklaim tanah itu menjadi milik kehutanan Tapanuli Utara, sekaligus mendirikan plank pertanda bahwa tanah adalah suaka hutan lindung dan hutan konservasi.

 

Beberapa keluarga Gompar termasuk dirinya hingga saat ini berusaha bertahan dari berbagai gempuran, dan mereka memiliki sejarah serta kronologis yang jelas terkait hak ulayat itu. Keterangan-keterangan itu juga didukung berbagai kenyataan yang ada di Sigalapang. Baik pekuburan yang sudah ada ratusan tahun, tanaman-tanaman keperluan ritual massih ada ditemukan di sana.

 

“Dari kenyataan inilah kami seluruh keturunan nenek moyang kami merebut wilayah adat itu. Kami pun berjuang bersama dengan membentuk kelembagaan kelompok yang saat ini kami namakan dengan Aliansi Masyarakat Adat (AMAN) Tano Batak,, Sigalapang,”terangnya. 22,08 hektar. Saat ini Gompar dan kerabatnya  berjumlah sekitar 150 Kepala Keluarga dan luas wilayah adat yang telah mereka petakan sekitar 922, 08 hektar.

 

Masyarakat Sigalapang kerap mendapat tantangan terutama dari pihak kehutanan yang menyatakan bahwa saat ini Wilayah Sigalapang adalah konservasi suaka margasatwa. “Tantangan-tantangan yang kami rasakan langsung seperti diawal mereka berjuang, segala rumah yang telah kami dirikanm dirobohkan secara paksa oleh pihak kehutanan dibantu TNI/Polri,”tambahnya.

 

Mereka pun kehilangan dan dibalut kesedihan mendalam, banyak anak-anak yang trauma melihat kejadian tersbut, namun mereka tidak pernah menyerah. Mereka kembali mendirikan rumah-rumah seadanya tempat berteuh di kala hujan dan panas setelah lelah dari ladang.

 

Dampak dari perlawanan itu,pengurus dari kelembagaan yakni 10 orang dimasukkan ke penjara selama 8 bulan. Keluarhga mereka pun mendertia karena kebutuhan keseharian yang tidak sanggup lagi untuk dibutuhi. Pasca ditahannya Gompar dan rekan, keluarga ada yang sakit dan bahkan berhenti sekolah. Namun, perjuangan mereka dilirik AMAN Tano Batak.

 

Aman mempertemukan mereka dengan pemerintah, serta mewadahi perjuangan mereka. Karenanya, kata Gompar seiring dikeluauarkan dan ditetapkannya Perda Masyarakat Adat di Tobasa,maka bagi mereka ini adalah saat yang tepat untuk mengungkapkan kebenaran yang selama ini seakan ditutupi.

 

Menyambung perjuangan tersebut, Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Wilayah Sumatera dan Aman Tano Batak menyelenggarakan seminar “Pengakuan dan Penetapan Masyarakat Adat” Di Kabupaten Toba Samosir pada hari Selasa,02 Oktober 2018 di Hotel Sere Nauli, Laguboti.

 

Kegiatan Seminar ini merupakan bentuk kerja BPSKL Sumatera dengan AMAN Wilayah Tano Batak dalam rangka mendorong Pemerintah Kabupaten Toba Samosir untuk segera menerbitkan SK Bupati terkait pengakuan dan penetepan masyarakat adat untuk menidaklanjuti Perda masyarakat adat yang sudah diketuk palu oleh DPRD Toba Samosir.

 

Sebagaimana putusan MK No 35 tentang hutan adat bukan hutan negara, kemudian oleh lintas kementerian merespon putusan tersebut seperti Permendagri No 52 tahun 2014 tentang identifikasi Masyarakat Adat, Permen LHK No 32 tahun 2015 tentang hutan hak memandatkan perlunya Peraturan Daerah sebagai payung hukum Masyarakat Adat atas hak-haknya yang melekat. Tentunya besar harapan lewat Perda dan SK Bupati ini dapat selesaikan permasalahan yang mengakibatkan terjadinya penurunan kualitas hidup, konflik dan kriminalisasi terhadap masyarakat adat di kabupaten Tobasa. Yang diakibatkan karena tidak adanya pengakuan akan eksistensi masyarakat adat dan hak atas tanah adat (ulayat) mereka.

 

 Selain itu, karena selama ini tidak ada alas hak atau dasar secara yuridis yang memberi kepastian hukum bagi masyarakat adat dalam menguasai dan memanfaatkan tanah adatnya sehingga dapat dengan mudah diambil alih atau dieksploitasi oleh pihak lain diluar warga masyarakat adat. Kegiatan Seminar ini dihadiri oleh perwakilan beberapa instansi seperti Dinas Lingkugan Hidup, Biro Hukum dan Dinas Pertanahan  Kabupaten Tobasa,Anggota DPRD Sumut Sarma Hutajulu , Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara,  PB AMAN, Perwakilan Organisasi masyarakat sipil dan perwakilan masyarakat adat dari beberapa kabupaten kota sekitar kawasan Danau Toba. Bupati/Wakil Bupati yang diharapkan menjadi salah satu narasumber tidak dapat hadir karena adanya halangan yang dimana digantikan oleh Kabag Hukum Pemkab Tobasa, Lukman Siagian.

 

Dalam seminar ini Narasumber yang berasal dari AMAN Tano Batak,Anggota DPRD Sumatera Utara, BPSKL,Dinas Kehutanan Provinsi dan Perwakilan Pemerintah Kabupaten Tobasa  memaparkan pandanganya terkait persoalan-persoalan masyarakat adat serta konflik tenurial terkait hutan adat di Kabupaten Tobasa dan begitu lambatnya proses pengakuan dan penetapan masyarakat adat di Kabupaten Tobasa sementara Perda masyarakat adat tersebut sudah diketuk palu oleh DPRD Tobasa pada bulan November 2017. Pada sesi tanya jawab Perwakilan masyarakat adat  menyampaikan beberapa pertanyaan serta ungkapan kekecewaan mereka terhadap Pemerintah Daerah Kabupaten Toba Samosir serta Instansi terkait yang dianggap setengah hati dalam merespons permasalah-permasalah yang dihadapi masyarakat adat Toba Samosir  saat ini.

 

Melalui adanya seminar ini diharapkan  mampu mengebolarisasi pandangan-pandangan tersebut  baik dari Pemerintah dan juga Organisasi Masyarkat adat serta masyarakat adat itu sendiri sebagai sebuah hasil berupa rencana staretgis bersama yang akan dilaksanakan oleh semua pihak yang terlibat dalam rangka mempercepat proses pengakuan dan penetapan masyarakat adat di Kabupaten Tobasa.  Pada kegiatan ini juga diserahkan berupa draf SK Bupati kepada perwakilan pembkab Tobasa oleh Ketua AMAN Tano Batak Roganda Simanjuntak kepada Perwakilan Bupati Tobasa dan juga dari hasil seminar tersebut dihasilkan beberapa kesepakatan yang akan dilaksanakan yaitu, penyempurnaan Perda tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Batak Toba Samosir.

 

Kemudian dibentuk tim atau Panitia masyarakat adat yang melakukan identifikasi,verifikasi dan validasi. Panitia tersebut sekaligus diberi tanggungjawab untuk menyusun pedoman tata cra identifikasi,verifikasi,dan validasi masyarakat adat serta wilayah adatnya untuk selanjutnya ditetapkan melalui peraturan Bupati. Dinas Lingkungan Hidup menjadi leading sector dan termasuk dalam hal penganggaran di tahun 2019.

 

Lalu SK Bupati tentang Tim Panitia Masyarakat Adat terbit selambat-lambatnya pada akhir bulan Oktober 2018. Penyusunan Peraturan Bupati terbit selambat-lambatnya bulan Desember 2018. Hasil kesepakatan ini nantinya akan menjadi langkah-langkah pioritas yang harus segera dilaksanakan menginggat konflik terkait masyarakat adat dan wilayah adat di Toba Samosir semakin hari semakin meluas dan meruncing. Diharapkan melalui seminar ini sinergitas antara stockholder terkait bisa terjalin sehingga nantinya proses kerja-kerja tim panitia masyarakat adat pada saat proses identifikasi verifikasi, dan validasi bisa berjalan maksimal.

 

“Maka untuk itu Perda yang ditindaklanjuti dengan SK Bupati terkait pengakuan dan penetapan masyarakat adat di Kabupaten Toba Samosir menjadi solusi atas konflik-konflik yang dihadapai masyarakat adat khusnya di Kabupaten Toba Samosir yang sudah semakin berlarut-larut,”tuturnya.

 

Sumber: http://medan.tribunnews.com/2018/10/04/gompar-sarumpaet-pengesahan-perda-masyarakat-adat-terlalu-lambat-konflik-meruncing?page=3

 

Berita Lain