Mengapa konflik agraria terus terjadi meski pemerintah klaim mereformasi sektor pertanahan?

 

 Admin    04-10-2018    00:00 WIB  

Konflik agraria terus bergulir di berbagai daerah, meski pemerintah mencanangkan perombakan besar di bidang pertanahan. Intimidasi, kekerasan, dan kriminalisasi masih mewarnai berbagai perselisihan tanah.

 

Pemerintah tak memungkiri cekcok pertanahan terjadi di akar rumput. Presiden Joko Widodo meneken peraturan presiden tentang reforma agraria yang disebutnya dapat segera mewujudkan keadilan hak atas tanah.

 

Dua petani dari Kecamatan Takokak, Cianjur, Jawa Barat, bernama Sholihin Abdurahman dan Koko Koswara, akhir Agustus lalu dihukum penjara selama 1 tahun 5 bulan.

 

Dalam konflik tanah di desa mereka, Sholihin dan Koko dinyatakan terbukti secara ilegal menggarap lahan PT Pasir Luhur, perusahaan perkebunan pemegang hak guna usaha (HGU) di kawasan tersebut.

 

Padahal, menurut Ketua Lembaga Bantuan Hukum Cianjur, Erwin Rustiana, dua petani itu menggarap tanah terlantar. Argumennya, selain Pasir Luhur tak lagi beroperasi, proses pembaruan HGU perusahaan itu diduga menyalahi prosedur.

 

Konflik di Cianjur yang diwarnai rentetan unjuk rasa warga lokal itu hingga kini belum tuntas. Pemerintah dituding tak beritikad menengahi persoalan antara masyarakat dan perusahaan.

 

"Sebagian petani yang trauma kocar-kacir karena didatangi pihak perkebunan yang didampingi aparat keamanan."

 

"Ada juga yang masih bertahan, walau tanaman, gubuk, dan rumah mereka dihancurkan," kata Erwin yang mengadvokasi Paguyuban Petani Cianjur, Senin (24/09).

 

Persoalan tanah di Cianjur itu merupakan satu dari ratusan konflik agraria di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.

 

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, setiap hari terjadi dua konflik agraria pada 2017 atau setidaknya setidaknya 659 konflik dalam setahun.

 

Angka itu meningkat hampir 50% dibandingkan 2016. Persoalan agraria tahun 2017 mencakup lahan seluas 520 ribu hektare dan melibatkan 652 ribu kepala keluarga.

 

Dua konflik agraria di antaranya terjadi di Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur.

 

Di Kulon Progo, sejak 2017, sebagian warga lokal menolak rencana pemerintah membangun bandara internasional.

 

Komnas HAM menyebut perselisihan masih terjadi. Sebagian warga berkeras menolak digusur, sedangkan pemerintah ingin mengebut proyek agar selesai sebelum April 2019.

 

Adapun di Sumba Barat, konflik agraria di pesisir pantai Marosi menewaskan satu warga lokal. Pangkalnya, PT Sutra Marosi Kharisma dituding warga tak memiliki legalitas membangun hotel di kawasan mereka.

 

Mike Taylor, direktur International Land Coalition, perkumpulan kelompok advokasi agraria global yang berbasis di Roma, Italia, menyebut konflik pertanahan dapat terus berkurang seiring reforma agraria.

 

"Pemerintah seharusnya tak hanya melakukan reforma agraria di lahan bebas konflik, tapi di daerah dengan kompetisi penguasaan tanah ketat dan terdapat banyak konflik," kata Mike di Jakarta, kepada BBC News Indonesia.

 

Menurut Koordinator KPA, Dewi Kartika, reforma agraria yang digelar pemerintah salah kaprah. Ia berkata, keadilan dalam bidang pertanahan tak akan terwujud hanya dengan sertifikasi lahan.

 

"Redistribusi tanah yang merupakan inti reforma agraria macet, padahal itu intinya," ujarnya.

 

Dewi mengatakan, redistribusi tanah bersumber dari lahan terlantar atau yang tak lagi dibebankan hak guna usaha. Konflik pertanahan yang kerap terjadi, kata dia, muncul di atas tanah statusnya tak jelas.

 

KPA mencatat, setidaknya terdapat 7 juta hektar lahan terlantar yang berpotensi dibagi untuk masyarakat lokal.

 

"Tanah terlantar, yang sudah ada garapan masyarakat, bahkan ada fasilitas publik, itu harus segera ditetapkan statusnya untuk masyarakat," tuturnya.

 

Kepala Kantor Staf Presiden, Moeldoko, mengatakan peraturan presiden tentang reforma agraria yang diteken Jokowi akhir September ini akan menjadi dasar hukum pemberian lahan untuk rakyat.

 

Bukan cuma sertifikasi lahan, tapi Moeldoko menyatakan pemerintah juga bertekad membagi lahan tak tergarap untuk komunitas lokal.

 

"Pemerintah sadar ada tantangan dalam menata pertanahan nasional secara cepat dan juga tepat."

 

"Beberapa masih harus dipercepat, misalnya redistribusi tanah kepada rakyat agar dapat memiliki tanah yang dapat dikelola menjadi produktif," kata Moeldoko pada ajang Global Land Forum di Bandung, pekan lalu.

 

Tahun 2019, kata Moeldoko, setengah dari legalisasi 9 juta hektar tanah akan berupa redistribusi lahan.

 

Adapun, Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, Bambang Supriyanto, mengakui ketimpangan penguasaan lahan.

 

Dari sekitar 120 juta hektar hutan, kata Bambang, masyarakat hanya menguasai 2% atau 0,4 juta hektar. Sisanya masuk dalam konsesi yang diberikan pada perusahaan, dari hak penguasan hutan hingga izin hutan tanaman industri.

 

Namun Bambang menyebut pemerintah telah merancang beragam upaya untuk menekan konflik agraria. Program itu diklaimnya terpadu, karena juga menggenjot perekonomian masyarakat.

 

"Perhutanan sosial merupakan bagian dari resolusi konflik, bahwa pemerintah mengakui fakta, ada masyarakat yang hidupnya bergantung pada hutan."

 

"Dengan perhutanan sosial, hutan yang belum diatur menjadi legal. Harapannya, hutan menjadi lestari, ekonomi masyarakat membaik, dan konflik pun menurun," kata Bambang.

 

Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup mewacanakan lahan seluas 12,7 juta hektar ditetapkan menjadi hutan sosial. Target itu akan meningkatkan penguasaan hutan oleh rakyat dari 2% menjadi 30%.

 

Bertepatan pada momentum Hari Tani yang jatuh 24 September lalu, Presiden Jokowi membagikan 17 ribu sertifikat lahan kepada warga Bogor, Tangerang, dan Tangerang Selatan.

 

Jokowi berulang kali menyebut pembagian sertifikat lahan itu vital untuk mencegah sengketa agraria. Ia menargetkan tahun 2019 pemerintah dapat menerbitkan 9 juta sertifikat lahan secara cuma-cuma.

 

"Saya hitung kalau setahun hanya 500 ribu sertifikat, sementara masih kurang 80 juta, berarti bapak-ibu harus menunggu 160 tahun. Nunggu 160 tahun sanggup enggak? Nunggu 160 tahun, sengketa akan semakin banyak,"ujar Jokowi.

 

Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Rukka Sombolinggi, mendorong korporasi turut berperan dalam agenda reforma agraria yang masuk rencana pembangunan jangka menengah nasional.

 

"Kalau perusahaan betul-betul berniat baik, tanah yang tidak mereka garap, terutama yang masih berupa hutan alam, kembalikan saja.

 

"Lalu lepaskan izin atas hutan yang sudah rusak, supaya masyarakat yang merehabilitasi. Tapi itu belum pernah terjadi," ucapnya.

 

Cabang dari program reforma agraria pemerintah adalah legalisasi hutan adat. Jokowi telah menyerahkan 32 surat ketetapan hutan adat sejak 2016.

 

Damianus Danu, Ketua Hutan Adat Pikul di Kecamatan Seluas, Bengkayang, Kalimantan Barat, yakin legalisasi hutannya dapat mencegah konflik dengan perusahaan.

 

Danu September lalu diundang ke Istana Negara, Jakarta, untuk menerima surat ketetapan hutan adat dari Jokowi.

 

"Pemodal atau orang-orang yang punya duit itu kadang memanfaatkan orang setempat, akhirnya kami bertentangan dengan sesama masyarakat."

 

Danu berkata, ketegasan adatnya menjaga hutan dapat mencegah perusahaan mengeksplorasi kawasannya. Sementara itu, konflik agraria terjadi pada hutan di Dusun Reharja, yang berbatasan dengan dusunnya.

 

"Yang paling saya waspadai itu, jangan sampai hutan kami dijadikan objek HGU tanpa sepengetahuan kami. Di tempat lain sering kecolongan seperti itu."

 

"Hutan di sebelah kami bermasalah, beberapa warga ditangkap, banyak yang dipenjara," tutur Danu.

 

Bagaimanapun, untuk mencegah konflik agraria terus bermunculan, pembaruan juga perlu dilakukan di insitusi keamanan dan peradilan, kata Mike Taylor dari ILC.

 

Di berbagai negara, seperti Brasil dan Guatemala, konflik agraria disebutnya melibatkan oknum kepolisian, tentara, hingga hakim.

 

"Di Guatemala misalnya, orang-orang yang mengenakan seragam tentara pada hari kerja, justru menjadi petugas keamanan bagi perusahaan swasta pada akhir pekan."

 

Mike berkata, perlu komitmen politik tegas dari pemimpin negara untuk mereformasi sektor pertanahan. Transparansi disebutnya sebagai faktor yang sangat vital.

 

"Pemerintah di beberapa negara mulai menerapkan peraturan menyangkut keterbukaan kepemilikan usaha."

 

"Misalnya, jika ada investasi baru di sektor kelapa sawit, publik berhak tahu siapa yang berada di balik perusahaan itu."

 

"Transparansi sangat bermanfaat untuk melihat kepentingan siapa yang ada di balik suatu bisnis," ujar Mike.

 

Sumber: https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-45639796

Berita Lain