oleh Della Syahni [Jakarta] di 1 November 2018
Pemerintah bersama DPR sedang menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan. Awal Oktober lalu, kedua lembaga masih melakukan konsinyering membahas sejumlah daftar inventaris masalah (DIM) kedua pihak.
“Mulai ada penyamaan persepsi antara pemerintah dan DPR,” kata Yagus Suyadi, Kepala Bagian Perundang-undangan Biro Hukum dan Humas Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR/BPN) dalam sebuah dialog publik pertengahan Oktober di Jakarta.
Baik pemerintah maupun DPR, katanya, sama-sama menilai RUU Pertanahan ini penting mengatasi masalah ketimpangan penguasaan tanah.
Substansinya, kata Yagus, penguatan hak menguasai oleh negara dipertegas dan diperjelas dalam RUU ini.
“RUU Pertanahan sebagai pelengkap UUPA (Undang-undang Pokok Agraria-red) yang mengatur lebih rinci tentang permasalahan agraria atau pertanahan sesuai kebutuhan bangsa, negara dan masyarakat,” katanya.
Pandangan KATR/BPN, dalam RUU ini pemegang hak guna usaha (HGU) harus berkontribusi 20% untuk kesejahteraan masyarakat sekitar. RUU ini juga mengatur pembangunan infrastruktur pertanahan termasuk data status dan aset tanah di seluruh Indonesia.
“Kalau dulu minta informasi ke kabupaten soal status tanah itu lama. Sekarang semua akan ter-input jadi satu,” katanya.
Soal reforma agraria, katanya, pemerintah akan menetapkan kawasan yang tak diatur Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk lepas lewat distribusi dan konsolidasi tanah.
Obyek reforma agraria yang biasa jadi kuasa pengembang akan terbagi kepada masyarakat demi kesejahteraan.
RUU ini, katanya, lebih menegaskan pemerintah wajib mendaftarkan seluruh tanah di Indonesia termasuk tanah hak, ulayat, wakaf dan kawasan yang dikuasai, dimiliki atau dimanfaatkan perseorangan, kelompok masyarakat, badan hukum, instansi pemerintah.
“Ini penting untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat atau orang yang berhak, memberikan kepastian hukum soal legalitas kepemilikan dan tanda bukti hak sebagai modal ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan,” katanya.
Guna menguatkan Pasal 35 dan 36 UU No 1/1974 tentang Perkawinan, RUU Pertanahan akan menegaskan kalau setiap pengalihan hak atas tanah wajib mendapat persetujuan suami atau istri. Pemegang hak bisa salah satu, suami atau istri dan bersama suami dan istri serta ahli waris.
“Nama perempuan dalam pencatatan tanah kini meningkat.”
Ego sektoral?
Meski demikian, Staf Ahli Komisi II DPR Jhonsar Lumbantoruan mengatakan, masih ada ego sektoral dalam pembahasan RUU Pertanahan ini.
Dia contohkan, DPR mengusulkan luas penggunaan hak guna bangunan (HGB) dan HGU dibatasi. Usulan DPR, HGU dibatasi 50.000 hektar termasuk untuk anak perusahaan dalam satu grup. Pemerintah, katanya, masih menolak pembatasan itu ada dalam UU. Bagi pemerintah, sebaiknya luasan HGU diatur dalam peraturan pemerintah dengan alasan keperluan tanah untuk masyarakat dan perusahaan sangat situasional.
Hal lain yang jadi pembahasan yakni mengenai bank tanah. Baik DPR dan pemerintah menilai perlu ada lembaga yang mengatur mengenai tanah terlantar, untuk menghindari spekulasi tanah.
“Supaya tak ada tanah ditumpuk. Dikuasai tapi tidak diusahakan,” kata Jhonsar.
Dalam pembahasan juga muncul usulan membuat peradilan khusus kasus pertanahan. Pertimbangannya, dalam peradilan umum seringkali setiap sengketa dimenangkan pemilik modal. “Yang kuat yang dimenangkan,” katanya.
Dalam pembahasan, katanya, terkendala putusan Mahkamah Agung yang menilai peradilan tanah tak perlu. Selain akan sulit menemukan hakim kompeten, katanya, secara kelembagaan akan sulit membangun peradilan tanah.
Kesulitan menentukan tanah obyek reforma agraria (tora) juga jadi pembahasan dalam penyusunan RUU ini. Menurut Jhonsar, tora sebagai upaya redistribusi tanah bagi masyarakat tak mampu, terkendala mekanisme teknis.
BPN, katanya, sudah mencoba memasukkan tanah terlantar untuk tota, namun kerap digugat perusahaan dan BPN kalah. Pelepasan hak kehutanan untuk tora juga sulit karena syarat ketat.
“Sementara masyarakat juga butuh tanah. Inilah ketimpangan yang ingin diakomodir, bagaimana mencari tanah untuk tora ini.”
Hal lain yang jadi perhatian RUU soal tanah adat. Selain mendorong UU Masyarakat Adat, dalam RUU Pertanahan yang jadi pembahasan soal definisi masyarakat adat. Saat ini, katanya, pemerintah belum tegas menentukan kategori masyarakat adat.
Selain harus ada aturan mengikat soal kategori masyarakat adat, jadi perdebatan juga bagaimana pengelolaan tanah dan hak masyarakat adat dalam UU ini nanti.
“Muncul kekhawatiran kalau diberi hak milik akan ada transaksi.”
Ratna Susianawati, Sektretaris Deputi Bidang Kesetaraan Gender Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mengatakan, berbagai persoalan tanah antara lain pemilikan tanah petani gurem kecil, perizinan, pengalihan lahan, dan kerusakan ekologi berdampak pada masyarakat termasuk perempuan.
Meski kepemilikan tanah oleh perempuan meningkat, tak menjamin keterlibatan mereka dalam pengelolaan.
“Baru property right, belum control right,” katanya.
Meskipun memiliki potensi sama, perempuan belum semua punya keahlian dalam pengelolaan, perlu akses pendidikan.
Ketimpangan berlapis
Dinda Nuurannisa Yura, Koordinator Program Solidaritas Perempuan mengatakan, perempuan mengalami ketimpangan, bukan hanya karena gender, juga kepemilikan dan penguasaan lahan. “Peran produktif perempuan belum diakui,” katanya.
Data BPN tanah yang diketahui dimiliki perempuan hanya 15,88% dari 44 juta bidang.
Data KLHK 2014, hutan tanaman industri (HTI) 9,39 juta hektar dikelola 262 perusahaan. Hak pengusahaan hutan (HPH) 21,49 juta hektar dikelola 303 perusahaan, hutan tanaman rakyat (HTR) hanya 631.628 hektar.
“Izin 2 juta hektar tanah di Merauke, kepada hanya 41 perusahaan melaui MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate-red). Sedikitnya, 9,4 juta hektar tanah diberikan kepada 600 perusahaan perkebunan sawit,” katanya.
Dinda mengatakan, permasalahan bisa saja sama, tetapi pengalaman perempuan dan laki-laki berbeda. Pembagian kerja secara seksual, katanya, mengakibatkan peran gender berbeda antara laki-laki dan perempuan.
Perempuan, punya peran dan tanggungjawab kerja produktif dan reproduktif. Perempuan dapat tanggungjawab utama memelihara keluarga dan komunitas tetapi minim pengakuan dan keterlibatan.
Dampak lain, katanya, pemiskinan karena akses dan kontrol terbatas atas sumber kehidupan berdampak pada beban, kekerasan, kriminalisasi dan kekerasan yang menyertai konflik agraria terhadap perempuan.
“Ini meningkatkan beban perempuan. Kerja perempuan di ranah domestik tak diperhitungkan dalam ekonomi padahal rata-rata perempuan bekerja 15-18 jam per hari.”
Ditambah lagi, perampasan akses dan kontrol perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam membuat peran sosial perempuan hilang. Kekuatan politik perempuan dalam pengambilan keputusan, katanya, makin minim.
“Ini meningkatkan ketidakadilan gender,” kata Dinda.
Masukan untuk RUU
Masyarakat sipil termasuk Solidaritas Perempuan memberi beberapa masukan untuk RUU Pertanahan. Pertama, penting penyebutan perempuan tegas di dalam prinsip hak atas tanah, pengusahaan tanah dan hak milik. HGU, katanya, harus memperhatikan kepentingan masyarakat, memastikan pemberian informasi di awal dan konsultasi penuh dari seluruh masyarakat.
Untuk tora, harus mencakup tanah hasil penyelesaian konflik agraria struktural. Subjek penerima tora juga harus mencakup seluruh WNI baik perempuan dan laki-laki individu maupun kelompok.
“Harus ada jaminan bukti kepemilikan tora dapat mencantumkan nama suami istri,” katanya.
Pelaksanaan reforma agraria wajib diinformasikan kepada masyarakat dengan cara mudah diakses atau terjangkau dan dipahami masyarakat, termasuk masyarakat marjinal.
Untuk perolehan tanah demi kepentingan umum dan pengalihfungsian tanah, katanya, wajib pengkajian dampak lingkungan dan sosial yang mungkin timbul dan studi lain yang terpilah gender.
Penyelesaian sengketa pertanahan, katanya, harus mengutamakan penyelesaian musyawarah mufakat dengan mempertimbangkan keterwakilan perempuan. Penataan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dengan memberi kesempatan seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan tanah.
Terhadap DIM yang diajukan pemerintah, kata Dinda, masyarakat sipil berharap pemerintah tak menjadikan sertifikat sebagai satu-satunya kepemilikan tanah.
“Definisi bank tanah seharusnya tak hanya fokus pada kepentingan pembangunan tanpa memasukkan pertimbangan mengenai keadilan dan kesejahteraan rakyat serta keberlanjutan ekologi.”
Pengecualian pembatasan luas maksimum penguasaan tanah untuk skala ekonomi dan rencana strategis nasional, katanya, membuka peluang bagi penguasaan atau monopoli tanah untuk invetasi skala besar.
“Tak ada perspektif keadilan dan kesetaraan gender dalam DIM pemerintah.”
Untuk itu, katanya, UU Pertanahan selayaknya jadi dasar hukum bagi terwujudnya fungsi negara dalam mengelola hajat hidup warga. “Mampu mewujudkan keadilan pengelolaaan tanah dan sumber-sumber agraria bagi seluruh masyarakat, perempuan dan laki-laki.”
Juga menjamin pemenuhan, perlindungan dan penghormatan hak perempuan atas tanah, hingga berkontribusi pada upaya penghapusan ketiadilan gender dalam konteks pengelolaan tanah dan sumber alam.
Selain itu, katanya, membongkar ketimpangan kepemilikan dan penguasaan tanah dengan berorientasi pada hak rakyat baik ketimpangan agraria maupun gender.
“RUU Pertanahan harus dapat menyelesaikan konflik agraria struktural yang selama ini terjadi karena ketimpangan kepemilikan dan penguasaan tanah.”
Sumber: http://www.mongabay.co.id/2018/11/01/ruu-pertanahan-bagaimana-perkembangannya/