Masyarakat Papua Minta Cabut Izin Usaha Perkebunan

 

 Admin    14-11-2018    00:00 WIB  

JAKARTA, KOMPAS – Masyarakat adat serta organisasi sipil dan keagamaan dari Papua dan Papua Barat meminta agar Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengevaluasi dan mencabut izin usaha perusahaan perkebunan dan kayu yang dinilai merusak lingkungan. Sebanyak 24 perwakilan masyarakat menyampaikan pernyataan sikap, berdialog dan meminta kepastian terkait masalah itu di Jakarta, Selasa (13/11/2018). Januarius Sedik, perwakilan Suku Mpur dari Kebar, Tambrauw, Papua Barat, mengatakan, masyarakat, kampung dan hutan adat mengalami perusakan oleh perusahaan-perusahaan dalam skala besar. Tanah dan hutan adat diambil tanpa persetujuan, izin, dan melibatkan masyarakat setempat. Akibatnya, terjadi kerusakan hutan, sumber air tercemar dan kehilangan sumber pangan. “Kami minta pemerintah tinjau kembali izin usaha di lahan adat. Bahkan, dicabut saja karena merugikan hak-hak kami atas tanah adat serta merusak lingkungan. Kami kehilangan pohon sagu, tanaman obat, hewan buruan, dan masih banyak lagi” ucapnya. Januaris membuat petisi di change.org, situs kampanye sosial-masyarakat terkait penyalahgunaan izin perkebunan oleh satu perusahaan. Awalnya, perusahaan tersebut meminta izin untuk membuka kebun jagung di padang rumput. Namun, telah merambah area hutan adat dan menanam sawit. Selain itu, ada dugaan pelanggaran terkait dokumen izin menggunakan hutan. Warga hanya menandatangani perjanjian untuk perkebunan jagung di padang rumput, bukan di hutan. “Kami tidak mau diam dan menyesal karena tanah adat kami dirusak. Mewakili Suku Mpur dan sub-sub suku, meminta pemerintah mencabut izin perusahaan agar tidak beroperasi lagi di tanah adat,” katanya. *Butuh kepastian* Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit yang dikeluarkan 19 September 2018, menjadi dasar evaluasi dan pencabutan izin perusahaan. Sigit Nugroho, Kepala Sub Direktorat Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan, Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan mengatakan, berdasarkan instruksi itu, pengumpulan data izin usaha perkebunan dilakukan. Izin tersebut dilaksanakan dengan baik atau tidak. Jika ada temuan, maka izin akan dicabut. “Evaluasi terkait pelaksanaan izin usaha dan kewajiban kepada masyarakat. Saat ini, sedang mengumpulkan data-data lapangan dan sudah ada laporan. Akan dikaji untuk pencabutan izin usaha,” ucapnya. Sigit menjelaskan, pengkajian pencabutan izin usaha dilakukan untuk mengatasi tuntutan hukum. Pakar dan ahli hukum merumuskan perlunya aturan lanjutan terkait pencabutan izin atau tetap berdasarkan inpres serta terkait pembentukan kelompok kerja lintas kementerian yang dibahas agar bisa bekerja secara efektif sebelum tahun 2019. Masyarakat adat Papua dan Papua Barat meminta kepastian terkait persoalan yang mendera. Mereka akan mengikuti perkembangan evaluasi dan keputusan terkait izin usaha perkebunan. Petrus Kinggo, perwakilan Suku Mandobo, Kali Kao, Boven Digoel, Papua, mengatakan kondisi hutan layaknya paru-paru yang rusak karena nikotin dan menanti waktu untuk mati. Jika pemerintah lamban bergerak, maka kerusakan akan semakin parah. “Perusahaan belum dapat izin resmi (Amdal) tetapi sudah beroperasi. Jelas melanggar aturan. Kalau lamban seperti ini (penanganan), habis hutan di Papua,” kata Petrus. (FRANSISKUS WISNU WARDHANA DHANY) Sumber: Kompas, 14 November 2018

Berita Lain