Main-Main Izin Sawit

 

 Admin    24-11-2018    00:00 WIB  

Majalah TEMPO - INVESTIGASI Edisi : 24 November 2018 Perusahaan broker dengan para pemegang saham fiktif ini diduga menjajakan izin ke perusahaan lain untuk menaikkan harga saham di bursa dengan iming-iming nilai kayu senilai Rp 12 triliun. Investigasi kekacauan yang mengakibatkan tragedi lingkungan ini terselenggara atas kerja sama Tempo dengan Earthsight, Mongabay (Inggris), dan Malaysiakini (Malaysia). SATU per satu pintu rumah kos di gang sempit permukiman padat di Jalan Menara Air, Manggarai, Jakarta Selatan, itu terbuka. Para penghuninya melongokkan kepala ketika mendengar Maryatiningsih berbicara. Nada bicara perempuan 58 tahun ini mengeras ketika berbicara dengan Tempo. Ia terkejut ketika mendapat pertanyaan, “Benarkah Anda komisaris sekaligus pemilik 10 persen saham PT Manunggal Sukses Mandiri?” Pada Agustus lalu, Gubernur Papua Lukas Enembe mencabut izin usaha perkebunan kelapa sawit perusahaan ini di hutan Boven Digoel seluas 38.552 hektare di Distrik Tanah Merah. Maryatiningsih kian terkejut ketika dijelaskan profil perusahaan yang berdiri pada 15 Februari 2007 itu. Nilai 10 persen saham milik Mar­yatiningsih sebesar Rp 25 juta. Menurut dia, pada tahun pendirian PT Manunggal, ia bekerja di gedung Bank Dagang Negara Indonesia di Jalan Hayam Wuruk, Jakarta Pusat. “Saya hanya petugas cleaning service,” katanya, kali ini dengan nada lirih, pertengahan Oktober lalu. “Tak mungkin saya bikin perusahaan.” Alamat tempat tinggal Maryatiningsih di Manggarai itu persis seperti yang tertera dalam akta PT Manunggal. Perusahaan yang tercatat bergerak di bidang perdagangan itu mendapat izin lokasi dan izin prinsip perkebunan kelapa sawit di Boven Digoel sembilan bulan setelah berdiri. Mata Maryatiningsih melotot saat mendengarkan penjelasan itu. Pemberi dua izin tersebut adalah Bupati Boven Digoel saat itu, Yusak Yaluwo. Pada waktu yang sama, ia juga memberikan izin lokasi kepada enam perusahaan lain, yaitu PT Energi Samudera Kencana, PT Graha Kencana Mulia, PT Kartika Cipta Pratama, PT Megakarya Jaya Raya, PT Trimegah Karya Utama, dan PT Usaha Nabati Terpadu. Setiap perusahaan mendapat izin lokasi hampir 40 ribu hektare, sehingga totalnya mencapai sekitar 280 ribu hektare—setara dengan empat kali luas DKI Jakarta atau sepersepuluh luas Kabupaten Boven Digoel. Sama seperti PT Manunggal, enam perusahaan lain itu memakai nomine. Rubiyah, komisaris dan pemilik saham PT Trimegah Karya Utama, tinggal di permukim­an kumuh di Tambora, Jakarta Barat. “Anak saya hanya petugas kebersihan di Jalan Hayam Wuruk,” ujar ayah Rubiyah, yang tengah berjualan buah potong di depan gang rumah mereka. Penelusuran terhadap nama-nama lain yang tercantum sebagai komisaris dan direktur sama saja. Beberapa nama yang alamatnya sesuai dengan akta bisa ditemui. Mereka umumnya orang-orang kecil dari beragam pekerjaan. Ada sopir pribadi, ibu rumah tangga, juga penagih utang rentenir. Umumnya mereka terkejut ketika diberi tahu punya perusahaan yang memiliki konsesi lahan di Papua. Yusak mengaku tak tahu tujuh perusahaan itu berstatus bodong. Ia hanya tahu perusahaan-perusahaan tersebut dikuasai Genting Group. “Saya memberikan izin karena berhubungannya dengan Genting Group,” tuturnya, Oktober lalu. Genting Group adalah perusahaan besar di Malaysia yang memiliki unit bisnis pariwisata, kasino, dan perkebunan. Seorang anggota staf komunikasi Genting Group yang tak mau disebutkan namanya membantah kabar bahwa perusahaannya berbisnis kelapa sawit di Boven Digoel. “Kami hanya pernah mempertimbangkan untuk berinvestasi kelapa sawit di sana,” ucapnya, Jumat pekan lalu. Yusak menjelaskan, ia bersedia memberikan izin pembukaan hutan produksi untuk konversi karena orang Genting menjanjikan pembangunan infrastruktur di kabupaten yang berjarak satu jam penerbangan dari Jayapura itu, yang menjadi tempat pembuangan tahanan politik pada masa kolonial. “Ternyata Genting tidak sanggup membangun kebun,” katanya. Setelah bertahun-tahun mangkrak, lahan konsesi tersebut dilirik Menara Group. Pemilik Menara, Chairul Anhar, menemui Yusak di salah satu restoran di Jayapura pada 2009. Chairul, pengusaha Minang yang tinggal di Malaysia sejak 1987, terbang ke Jayapura menumpang pesawat pribadi bersama Direktur Operasional Dessy Mulvidas. ----------------- *Modus Transaksi Menara* MENARA Group memutar transaksi penjualan perusahaan sehingga seolah-olah tak menjual izin pelepasan kawasan hutan yang dipegang anak usahanya. 1. Mengakuisisi perusahaan pemegang izin prinsip kawasan (Genting, Suffolk Ltd Pte) *“KAMI TAK PERNAH BERBISNIS KELAPA SAWIT.”* —Staf Genting Bhd 2. Memakai nomine fiktif sebagai direktur dan komisaris perusahaan 3. Memperpanjang izin prinsip dan lokasi untuk mendapatkan izin pelepasan kawasan hutan 4. Mendekati masyarakat agar menerima kehadiran mereka 5. Menjual perusahaan pemegang izin 6. Membentuk special purpose vehicle company di kawasan bebas pajak untuk mempermudah transfer uang dan memperkecil pajak jual-beli 7. Menebang kayu -------------------- Kepada Yusak, Chairul menyampaikan niat mengakuisisi tujuh perusahaan Genting itu. Ia juga meminta Yusak memperpanjang izin lokasi yang akan kedaluwarsa karena hampir berusia tiga tahun. Yusak mengabulkan permohonan Chairul. Ia mengaku tak menerima uang sepeser pun komisi dari transaksi ini. Perpanjangan izin sempat tersendat karena Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap Yusak di Bandar Udara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, pada 26 April 2010 atas tuduhan korupsi anggaran otonomi khusus. Namun tanda tangan Yusak tetap terbit meski ia diterungku. Sepanjang 2010-2012, sebagai bupati nonaktif, ia meneken surat perpanjangan izin lokasi dari balik penjara. Kementerian Dalam Negeri baru memberhentikannya pada Mei 2013. Setelah keluar dari penjara pada 2014, Yusak kaget karena tujuh perusahaan itu sudah berganti pemilik lagi. Menurut Yusak, pemilik baru ketujuh perusahaan adalah Tadmax Resources Berhad dan Pacific Inter-Link. “Menara membohongi pemerintah dan masyarakat,” ujarnya dengan suara meninggi. Penjualan anak usaha Menara itu terlacak dalam berita bursa Malaysia pada 2011-2012. Di sana disebutkan bahwa Tadmax membeli 90 saham Wealth Gate Pte Ltd, pemilik saham PT Manunggal Sukses Mandiri; dan Suffolk Pte Ltd, yang memiliki 90 persen saham PT Trimegah Karya Utama. Tadmax masih bernama Wijaya Baru Global Berhad ketika transaksi senilai US$ 80 juta itu terjadi pada Desember 2011. Perusahaan ini baru berganti nama setahun kemudian. Hafiz Arief adalah komisaris independen PT Bahana Artha Ventura yang menjadi direktur Wealth Gate. Ia menolak penjelasannya tentang hubungan perusahaannya dengan PT Manunggal dikutip. Tapi seorang pejabat Wealth Gate mengkonfirmasinya. Menurut dia, Chairul Anhar sengaja memakai special purpose vehicle untuk mengurangi fee informal di Indonesia. Dengan begitu, pembelian tersebut seolah-seolah tak langsung menetapkan akuisisi dua perusahaan itu. “Suffolk dan Wealth Gate dibuat untuk keperluan ini,” katanya. Adapun Adwir Boy, nama yang tercantum sebagai pengurus Suffolk, mengaku tak tahu-menahu tentang transaksi itu. “Nama saya hanya dipakai untuk mendirikan Suffolk,” ucapnya. Ia mengaku bukan karyawan Menara Group. Adalah Dessy Mulvidas, kata Adwir, yang memasukkan namanya ke struktur pengurus Suffolk. Tempo mengirim permintaan wawancara ke nomor telepon Mulvidas yang diperoleh dari mitra bisnisnya. Pesan itu dibalas dengan pernyataan bahwa kontak tersebut salah sambung. Alamat rumah Mulvidas yang tercantum dalam akta ternyata tak lengkap dan penduduk sekitar tak ada yang mengenalnya. Direktur Independen Non-Eksekutif Wijaya Baru adalah Da’i Bachtiar, mantan Kepala Kepolisian RI dan Duta Besar Indonesia untuk Malaysia. Chairul mengajak Da’i berkantor di gedung Graha CIMB Niaga dan memberinya ruang kerja. Tapi Da’i menolak menjawab pertanyaan seputar transaksi konsesi sawit Tadmax di Boven Digoel. “Silakan tanya kepada orang Menara saja,” tuturnya. Di berbagai artikel yang memberitakan akuisisi PT Manunggal dan Trimegah, Tadmax menyebutkan akan berfokus menjalankan industri kayu di dua lahan konsesi itu. Dalam laporan resminya ke bursa Malaysia pada Desember 2011, Tadmax memperkirakan mendapatkan penghasilan dari penebangan kayu di dua lahan tersebut senilai RM 872 juta atau US$ 207,8 juta per tahun. Penebangan itu akan berjalan enam tahun. Maka pendapatan Tadmax dari eksploitasi kayu selama enam tahun mencapai US$ 1,28 miliar atau sekitar Rp 12 triliun dengan kurs pada Desember 2011 sebesar Rp 9.200. Tadmax belum bersedia memberikan jawaban hingga akhir pekan lalu. Mereka berjanji menjawab pertanyaan Tempo pada pekan ini, setelah artikel terbit. Chairul juga berhasil menggandeng Pacific Inter-Link, perusahaan dari Yaman, untuk berinvestasi di konsesi PT Energi Samudera Kencana, PT Graha Kencana Mulia, PT Kartika Cipta Pratama, dan PT Megakarya Jaya Raya. Freddy, Public Relations Pacific Inter-Link di Jakarta, awalnya membenarkan kabar bahwa mereka punya konsesi lahan sawit melalui perusahaan-perusahaan itu. Namun ia menolak menjelaskan lebih jauh ketika Tempo menanyakan soal pencabutan izin usaha perkebunan oleh Gubernur Papua. Pacific Inter-Link Malaysia juga menyanggah informasi bahwa mereka memiliki konsesi sawit di Papua dan pernah membeli perusahaan-perusahaan Menara. Adapun Chairul membenarkan ada kerja sama Menara dengan Pacific Inter-Link. “Mereka mitra saya untuk pendanaan kebun kelapa sawit melalui bursa,” katanya. Menurut Direktur Eksekutif Yayasan Pusaka Franky Yafet Leonard Samperante, sejak awal Menara dan Tadmax memanfaatkan nilai kayu di lahan konsesi untuk menaikkan nilai saham. “Sejak awal kentara sekali mereka hanya mengincar kayu,” ucapnya. Indikasinya, Franky menambahkan, dalam setiap penawaran investasi, Menara Group selalu menaksir nilai kayu dengan harga tinggi. Boven Digoel masih dikelilingi hutan perawan yang berisi kayu-kayu berkualitas tinggi, seperti merbau dan meranti. Areanya pun landai sehingga memudahkan perambahan. Franky mengatakan tim Pusaka sudah meneliti Boven Digoel bertahun-tahun. Ia menemukan pabrik pengolahan kayu di sekitar lahan konsesi Menara. Namun pabrik itu tak pernah beroperasi. Meski begitu, penebangan pohon tetap berjalan. Menurut Chairul, perusahaannya sudah membuka sekitar 5.000 hektare hutan Boven Digoel. Foto satelit pada 2014-2016 mengkonfirmasi pembukaan lahan tersebut. Dalam foto serial selama dua tahun pengamatan, terlihat lahan konsesi PT Megakarya Jaya Raya menggundul sejak September 2014. Puncak penggundulan terjadi pada September 2016. Foto memperlihatkan sepersepuluh lahan sudah berganti menjadi berwarna cokelat tanah. Untuk bisa menebang, Menara mengajukan permohonan izin pemanfaatan kayu (IPK) kepada pemerintah kabupaten. Syarat mendapatkan IPK adalah kepemilikan izin pelepasan kawasan hutan (IPKH). PT Megakarya memegang IPK sejak Oktober 2013 dan IPKH pada 2 Maret 2012. Karena itu, tak aneh penebangan kayu dimulai pada 2014. IPKH sangat penting karena merupakan restu pemanfaatan lahan yang sudah diubah dari area hutan menjadi kawasan untuk tujuan lain dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Menurut seorang pejabat Menara, Chairul terlalu memaksakan bisnis sawit. “Ini akibat cecak tak bisa menjadi buaya,” tutur pejabat itu. Sejak awal Menara Group tak punya pengalaman membangun kebun sawit dengan lahan sangat luas. Seperti diakui Chairul, Menara Group ibarat perusahaan adaptor yang berfungsi menghubungkan dua perusahaan untuk menjalankan bisnis yang sama. Akuisisi anak usaha Menara oleh Tadmax ataupun saat bermitra dengan Pacific Inter-Link terjadi sesaat setelah perusahaan-perusahaan itu mendapatkan IPKH. Menteri Kehutanan saat itu adalah Zulkifli Hasan, yang kini menjabat Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Ketua Umum Partai Amanat Nasional. Khusus di Provinsi Papua, Zulkifli melepas 897.029 hektare kawasan hutan menjadi area untuk tujuan lain. Jumlah ini lima kali lipat lebih banyak dari pelepasan kawasan pada periode sebelum dan sesudah Zulkifli menjabat. Zulkifli menandatangani Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.33/Menhut-II/2010 tentang Tata Cara Pelepasan Kawasan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi pada 29 Juli 2010. Peraturan itu menyebutkan tiap perusahaan atau grup memperoleh izin pelepasan maksimal 200 ribu hektare untuk Provinsi Papua. Toh, aturan itu ia terabas sendiri karena memberikan konsesi kepada Menara seluas 280 ribu hektare secara bertahap pada 2011-2013. Chairul menyangkal anggapan bahwa ia memakai koneksi politik untuk mendapatkan izin-izin tersebut. Ia juga membantah memberikan suap kepada pejabat Kementerian Kehutanan sehingga areanya melebihi ketentuan. “Tak ada hanky-panky,” katanya. “Saya bayar bupati, gubernur, sampai menteri secara resmi dan sesuai dengan aturan.” Masalahnya, ada kuitansi transfer Rp 123 juta dari PT Megakarya Jaya Raya dan US$ 30.998 kepada Kementerian Kehutanan. Chairul mengaku tak paham mengenai aliran uang tersebut dan tujuannya. Lagi pula, dalam aturan pemberian izin pelepasan kawasan hutan, tak ada tarif yang harus ditebus pengusaha yang mendapatkannya. “Mengurus IPKH itu gratis,” ujar seorang pejabat Kementerian Kehutanan. Zulkifli Hasan mengatakan tidak meng­urus persoalan teknis saat menjabat Menteri Kehutanan. Izin pelepasan kepada grup atau perusahaan, kata dia, akan diberikan jika mereka meng­urus sesuai dengan aturan. Ia enggan menjelaskan kronologi izin pelepasan kepada Menara. “Sebagai Ketua MPR, saya tidak mengurusi soal kehutanan lagi,” ujarnya lewat pesan pendek, Sabtu pekan lalu. Motif mendapatkan kayu di balik permohonan membangun kebun kelapa sawit di hutan Indonesia rupanya modus umum pengusaha. IPKH bisa menaikkan nilai saham karena memiliki aset kayu yang bernilai tinggi. Ini seperti terlihat pada saham Tadmax di bursa Malaysia seusai akuisisi anak usaha Menara dan pengumuman nilai kayu sebesar Rp 12 triliun. Maka tak aneh jika mereka berani membeli dua perusahaan Menara senilai US$ 80 juta. Sadar dengan polah culas para pengusaha ini, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menurunkan kebijakan batas maksimal kepemilikan lahan untuk sawit per perusahaan atau grup. Dari maksimal 40 ribu hektare di era Zulkifli, lahan konsesi diturunkan Siti menjadi 20 ribu hektare. Pembatasan ini diikuti pembentukan tim terpadu guna memverifikasi pemakaian izin sebelumnya jika ada pemegang lisensi yang meminta izin baru. Jika izin tak dipakai maksimal, seperti Menara, Kementerian akan menolak memberikan izin baru. Atas dasar itu, Bupati Boven Digoel Benediktus Tambonop mengadukan Menara lewat lima lembar surat pada September tahun lalu kepada Kementerian Kehutanan. Ia menceritakan kronologi pemberian izin hingga Menara menelantarkannya. Menurut dia, banyak pengusaha lain datang kepadanya meminta izin mengelola lahan tersebut. Salah satunya Ventje Rumangkang. Pendiri Partai Demokrat yang kini berlabuh di NasDem itu memperoleh tiga konsesi di lahan Menara Group. Lahan itu adalah konsesi PT Manunggal Sukses Mandiri, PT Trimegah Karya Utama, dan PT Usaha Nabati Terpadu. Atas rekomendasi Benediktus, Gubernur Papua mencabut izin usaha perkebunan anak-anak usaha Menara Group sejak Juli 2017. “Masyarakat sudah kecewa. Kami tak lagi menerima Menara Group,” ucap Benediktus. Chairul Anhar hanya tertawa ketika diminta menanggapi pencabutan izin usaha perkebunan tujuh perusahaannya. “Semua urusan beres kalau ada politik dan pitih,” kata pengusaha Minang 52 tahun ini menyebut “uang”. “Nanti beres kalau saya turun.”

Berita Lain