Berebut Hutan Boven Digoel

 

 Admin    24-11-2018    00:00 WIB  

Ketika Menara Group disebut, ingatan Lukas Kemon melayang ke masa lima tahun silam. Masih segar di ingatan warga Kampung Meto di Boven Digoel, Papua, itu perwakilan Menara Group datang ke kampungnya membagikan bergepok-gepok uang. Kabar kedatangan “orang Menara” sampai ke Kampung Meto beberapa hari sebelumnya. Maka, sejak pagi buta pada hari yang ditentukan, penduduk bersolek menyambut petinggi perusahaan yang, katanya, hendak membangun daerah mereka itu. Mereka memasang tenda terpal di kampung di tengah hutan yang bersisian dengan Sungai Digul itu. Sebanyak 180 orang dari marga Afu, Woboi, dan Hobuang bersiap menyambut Direktur Operasional Menara Group Dessy Mulvidas. Begitu matahari naik sepenggalah, Mulvidas tiba dengan kapal di pe-labuhan Sungai Digul diiringi beberapa orang dari perusahaan, juga polisi dan tentara. “Kami semua yang datang dapat uang,” kata Lukas, 40 tahun, Senin pekan lalu. Dari foto-foto yang dikirimkan Chairul Anhar, pemilik Menara Group, Mulvidas -disambut tetua adat dan dikalungi topi bulu cenderawasih, yang melambangkan persaudaraan. Mereka sendiri memakai topi bulu kasuari, pakaian perang yang menandakan penyambutan besar. “Anak buah saya disambut seperti raja,” ucap Chairul. Kepada warga Kampung Meto, menurut Lukas, Mulvidas mengatakan hendak melakukan sosialisasi serta survei pembukaan lahan untuk kebun sawit seluas 40 ribu hektare yang akan dikelola PT Usaha Nabati Terpadu, anak usaha Menara Group. Kampung Meto berada dalam konsesi mereka. Berada di jantung rimba Digoel, kampung ini bisa dicapai dalam dua setengah jam dengan mobil dari Tanah Merah, ibu kota Boven Digoel, disambung dengan kapal. Mulvidas dan anak buahnya membawa pelbagai bahan pokok makanan serta dua babi, juga uang seperti kabar yang beredar. Lukas menyebutkan Mulvidas menenteng tujuh gepok amplop cokelat berisi uang kertas. Ia begitu saja membagikan uang tersebut. “Mereka menyebutnya uang tali asih,” tutur Lukas. Menurut Pastor Felix Amias, penanggung jawab marga Woboi, masyarakat sempat menanyakan tujuan pembagian uang itu. “Mereka tak menjawab dan meminta kami tanda tangan di kertas kosong,” katanya. Lukas, yang ikut bertanya, juga tak digubris. “Mereka buru-buru mau pulang.” Beberapa bulan setelah kedatangan Mulvidas, penduduk baru sadar bahwa tanda tangan itu adalah persetujuan pemberian tanah ulayat kepada Menara Group untuk kebun sawit. “Persetujuan masyarakat itu syarat mendapat izin usaha perkebunan,” ucap Direktur Eksekutif Yayasan Pusaka Franky Yafet Leonard Samperante. Lukas dan penduduk Kampung Meto lain merasa dibohongi, tapi mereka tak bisa mengembalikan uang tersebut. Menurut dia, total uang yang dibawa Mulvidas sebanyak Rp 1,74 miliar. Setelah berunding, penduduk sepakat Rp 1,45 miliar diberikan kepada marga Woboi dan suku Afu mendapat Rp 290 juta. “Tapi itu bukan jual-beli tanah, karena tanpa kesepakatan dua pihak,” ujar Lukas. Mulvidas tak bisa dimintai konfirmasi tentang kabar bagi-bagi uang itu. Ia tak berada di dua rumahnya di Kemang dan Tebet, Jakarta Selatan, pekan lalu. Ketika dihubungi melalui nomor telepon yang diberikan koleganya di Menara, laki-laki di seberang mengatakan salah sambung. Adapun Chairul Anhar mengatakan uang itu dibagi-bagikan untuk modal usaha masyarakat sebelum mendapatkan plasma sawit dari Menara. Menurut Chairul, Mulvidas bukan karyawan Menara lagi. Karena merasa dibohongi, penduduk Kampung Meto menolak hutan mereka dibuka untuk sawit. Karena penolakan masyarakat itu, Chairul menjelaskan, perusahaannya belum menanami lahan dengan sawit seturut izin yang diperoleh. “Masyarakat membawa panah tiap kami ke sana,” katanya. Sebetulnya, PT Nabati hanya satu dari tujuh perusahaan sawit milik Menara yang memegang konsesi sawit di Boven Di-goel. Perusahaan lain, terutama PT Megakarya Jaya Raya, sudah menebang kayu merbau dan meranti sejak 2014. Namun, hingga hari ini, mereka belum memulai usaha sawit kendati izin pelepasan kawasan hutan terbit bertahap pada 2011-2013. Padahal perusahaan-perusahaan itu pun sudah dijual pula ke Tadmax Resources Berhad dan sebuah perusahaan Timur Tengah pada 2011. Bupati Boven Digoel memberikan izin prinsip dan izin lokasi untuk PT Nabati pada 2007. Karena penolakan masyarakat dan lahan konsesi lain tak kunjung ditanami, meski pohonnya sudah ditebang, Bupati Yesaya Merasi mencabut izin lokasi PT Nabati pada 2015, lalu izin PT Manunggal Sukses Makmur. Penerus Yesaya, Benediktus Tambonop, mencabut izin lokasi dan izin prinsip PT Energi Samudra Kencana di Distrik Mandobo dan Fofi pada Juli 2017. Sebulan kemudian, Gubernur Papua Lukas Enembe mencabut izin usaha perkebunan anak-anak usaha Menara lain. “Masyarakat sudah kecewa karena Menara tak memenuhi janji-janji membangun sekolah dan fasilitas kesehatan,” ucap Benediktus. Bupati Yesaya memberikan izin lokasi dan izin prinsip milik Menara yang sudah dicabut itu kepada PT Perkebunan Boven Digoel Sejahtera dan PT Perkebunan Boven Digoel Abadi—dua perusahaan milik pendiri Partai Demokrat, Ventje Rumangkang. “Saya diberi tiga konsesi eks lahan Menara Group,” kata Ventje. Menurut Ventje, izin-izin tersebut dicabut karena Bupati menilai Menara menelantarkan lahan-lahan yang sudah dibuka itu setelah lima tahun sejak izin diterbitkan. “Ada juga surat Kementerian Kehutanan yang menyebutkan, jika perusahaan tak mengolah kebun kurang dari separuh lahan, keputusannya diserahkan ke daerah,” tuturnya. Masalahnya, izin lokasi, izin prinsip, dan izin usaha perkebunan (IUP) hanya tiga dari banyak izin yang menjadi syarat pendirian usaha perkebunan. Ventje hanya menguasai lahan, sementara izin pelepasan kawasan hutan (IPKH) masih dipegang Menara. IPKH yang diterbitkan Menteri Kehutanan adalah syarat utama pembukaan lahan dan penanaman sawit di atas lahan tersebut. Karena itu, Chairul Anhar mengancam bakal menggugat Gubernur Papua dan Bupati Boven Digoel ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Sebab, pencabutan IUP terus berjalan. Terakhir, Gubernur Enembe mencabut IUP PT Manunggal Sukses Mandiri, yang punya konsesi sawit seluas 39 ribu hektare, pada Agustus lalu. “Itu tanah kami,” ujar Chairul. “Memang belum digarap, tapi tanah itu tetap bertuan.” Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya tak berkomentar banyak tentang kisruh izin ini. Menurut dia, masalah IUP adalah kewenangan daerah. Kementeriannya memang pernah mengkaji ribut-ribut soal izin Menara Group ini karena ada pengaduan dari masyarakat Boven Digoel, sementara IPKH yang diterbitkan Kementerian Kehutanan di era Zulkifli Hasan tak memiliki masa kedaluwarsa. Siti pernah mengatakan kisruh izin Menara sedang dibahas lintas kementerian dalam rangka moratorium pemberian izin baru kebun kelapa sawit. Menurut instruksi presiden tentang moratorium sawit yang terbit pada September lalu, pemerintah akan mengkaji izin-izin kebun kelapa sawit yang sudah terbit. “Kami akan tetap menolak Menara masuk,” kata Pastor Felix Amias. “Kami tak ingin kehilangan hutan waris-an nenek moyang.” Sumber: Majalah TEMPO - INVESTIGASI

Berita Lain