Liputan6.com, Jakarta - Sedikitnya 120 kepala keluarga (KK) di Taman Muara, Kelurahan Pasir Jaya, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor, Jawa Barat, terancam kehilangan tempat tinggal. Ini menyusul pengusiran oleh pihak yang mengaku sebagai pemilik tanah.
Padahal, warga sudah menempati lahan seluas 1,2 hektare tersebut sejak tahun 1970-an. Bahkan, sejak tahun 2005 hingga 2011 mereka pun rajin membayar sewa lahan setiap bulannya kepada Suharto, orang yang dikuasakan oleh pemilik tanah bernama Wibowo.
Setelah Suharto meninggal, Wibowo memberi kuasa kepada Ading untuk mengelola dan menjaga lahan tersebut. Tak lama kemudian, Wibowo selaku pemilik tanah juga meninggal dunia.
"Saat Pak Wibowo meninggal, banyak yang ngaku-ngaku sebagai ahli waris dan mau ngusir kami. Mereka datang tanpa menunjukkan bukti kepemilikan tanah," kata Andri Tanias, warga setempat, Selasa (17/1/2016).
Kedatangan pihak yang mengaku sebagai pemilik tanah sudah berlangsung sejak 2012 lalu. Saat itu, warga mulai resah setelah banyak yang mengklaim tanah tersebut.
"Ada 8 orang yang datang ngaku pemilik tanah. Orangnya beda-beda," kata Asep, warga lain.
Jadi Tersangka
Di sisi lain, warga pun harus menghadapi kasus hukum dari salah seorang yang mengklaim sebagai ahli waris.
Satu orang warga, Djaja Sukarja, ditetapkan sebagai tersangka oleh pihak Polresta Bogor Kota karena diduga melakukan tindak pidana penggelapan hak atas benda bergerak dan atau masuk pekarangan tanpa izin di akhir 2016 lalu.
"Anehnya yang ditetapkan jadi tersangka cuma satu orang, padahal yang menempati lahan itu ada 120 KK. Kalau mau semuanya jadi tersangka," kata Asep saat menghadiri sidang praperadilan di PN Bogor, untuk memberi dukungan kepada Djaja, Senin (17/1/2017).
Kuasa hukum pemohon, Muhammad Riyad, mengatakan kliennya dilaporkan oleh Mangara T Simorangkir pada September 2014 lalu. Anehnya, pihak terlapor dari Mangara sendiri, padahal yang bersangkutan sebagai kuasa hukum dari orang yang mengaku sebagai ahli waris.
"Ada ketidakjelasan antara pemilik dan pengacara," kata Riyad.
Menurut dia, sangkaan Pasal 385 dan 167 KUHP terhadap Djaja bukan merupakan suatu alat bukti yang sah.
"Dua alat bukti itu tidak ada relevansi atau berkaitan dengan Pasal 385 dan 168 KUHP. Dengan kata lain pasal tersebut bukan alat bukti yang sah," ungkap Riyad.
Jika melihat kronologi, kliennya sudah 18 tahun tinggal di Taman Muara dengan cara menyewa lahan tersebut. Bahkan, memiliki bukti kuitansi atas penyewaan lahan tersebut.
"Tapi mengapa polisi menetapkan tersangka dengan dua pasal tersebut. Fakta di lapangan kan klien saya tidak memperjualbelikan, menyewakan ataupun mengoperalihkan kepada orang lain," tutur Riyad.
Berkenaan dengan perkara ini, lanjut dia, membuktikan bahwa polisi tidak proporsional dalam menangani kasus tersebut.
"Polisi harusnya melaksanakan tiga hal, prosedur yuridis, profesional teknis, dan etis proporsional. Kalau dianggap bersalah, mengapa hanya satu yang ditetapkan tersangka, kan ada 120 KK di sana," tandas Riyad.