Hutan Adat Tigo Luhah Permenti Yang Berenam Jambi Kab. Kerinci
Berlatar sebuah hamparan hutan dan sawah, Darlismi Patih, lelaki yang menjabat sebagai Ketua Adat itu menjelaskan tentang kondisi desa mereka beberapa tahun yang lalu. Bahwa banjir besar pernah melanda desa mereka. Pungut Mudik, nama desanya. Wilayah ini terletak di cekungan bentang alam Kerinci Seblat. Letaknya berbatasan dengan kawasan konservasi, Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS).
Dari tahun 1999 masyarakat memang yang meminta kalau hutan adat ini perlu dicadangkan. Setelah melalui proses panjang baru pada tahun 2013, hutan Adat Tigo Luhah Permenti Yang Berenam disahkan oleh bupati (menjadi hutan adat). Hutan yang menjadi harapan masyarakat untuk sumber air bersih dan minum, untuk irigasi, menjaga dari bencana (longsor, erosi, dan banjir) dan sumber obat-obatan. Masyarakat paham ikhwal kawasan konservasi dengan versi mereka.
Alas yang disebutkan oleh Darlismi memang terlihat mencolok dibanding kawasan hutan sekitarnya. Dari luar rimbanya masih bagus kerapatannya. Areal ini menurut Pemimpin Adat Pungut Mudik menjadi tempat tinggal bagi satwa seperti kijang, rusa, beruang, dan harimau sumatera. Luasnya mencapai 276 ha dan kebanyakan tumbuhannya didominasi oleh meranti, kemenyan, medang hijau, dan medang kuning. Serta Pinus Merkusii Strain Kerinci atau masyarakat mengenalnya dengan kayu sigi. Pohon ini merupakan endemis di Kerinci Seblat dan tidak bisa tumbuh di daerah lain.
Aturan adat melarang bahwa hutan tersebut tidak boleh dikonversi menjadi kebun atau areal perladangan dan tidak boleh diambil pohonnya. Norma berlaku menyebutkan “barang siapa yang kedapatan mencuri kayu akan didenda 1,5 juta rupiah”. Boleh menebang pohon asalkan digunakan untuk kebutuhan masyarakat umum, misalnya untuk pembuatan balai desa. Itu pun harus mengganti 1 pohon yang ditebang dengan menanam 10 bibit kayu yang sama.
Meski sudah ditetapkan sebagai hutan adat, areal tersebut tetap diincar oleh perambah. Tetapi ancamannya berkurang dibandingkan dahulu sebelum ditetapkan. Sebagian besar perambah berasal dari luar desa. Untuk menjaga Jenggala dari serbuan pencuri, masyarakat Pungut Mudik selalu melakukan patroli minimal 3 bulan sekali. Satu tim patroli terdiri dari 15 orang. Selain patroli, mereka juga berjaga-jaga ketika ada kabar perambah masuk ke dalam hutan. Biasanya warga akan memberikan informasi jika ada perambah yang muncul. Mereka saling bekerjasama untuk menjaga hutan.
Hutan Adat
Penetapan Hak
742
04-08-2017
Hutan Adat Tigo Luhah Kemantan Jambi Kab. Kerinci
Berlatar sebuah hamparan hutan dan sawah, Darlismi Patih, lelaki yang menjabat sebagai Ketua Adat itu menjelaskan tentang kondisi desa mereka beberapa tahun yang lalu. Bahwa banjir besar pernah melanda desa mereka. Pungut Mudik, nama desanya. Wilayah ini terletak di cekungan bentang alam Kerinci Seblat. Letaknya berbatasan dengan kawasan konservasi, Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS).
“Dari tahun 1999 masyarakat memang yang meminta kalau hutan adat ini perlu dicadangkan. Setelah melalui proses panjang baru pada tahun 2013, hutan Adat Tigo Luhah Permenti Yang Berenam disahkan oleh bupati (menjadi hutan adat)” jelas Darlismi Patih. Hutan yang menjadi harapan masyarakat untuk sumber air bersih dan minum, untuk irigasi, menjaga dari bencana (longsor, erosi, dan banjir) dan sumber obat-obatan. Masyarakat paham ikhwal kawasan konservasi dengan versi mereka.
Alas yang disebutkan oleh Darlismi memang terlihat mencolok dibanding kawasan hutan sekitarnya. Dari luar rimbanya masih bagus kerapatannya. Areal ini menurut Pemimpin Adat Pungut Mudik menjadi tempat tinggal bagi satwa seperti kijang, rusa, beruang, dan harimau sumatera. Luasnya mencapai 276 ha dan kebanyakan tumbuhannya didominasi oleh meranti, kemenyan, medang hijau, dan medang kuning. Serta Pinus Merkusii Strain Kerinci atau masyarakat mengenalnya dengan kayu sigi. Pohon ini merupakan endemis di Kerinci Seblat dan tidak bisa tumbuh di daerah lain.
Aturan adat melarang bahwa hutan tersebut tidak boleh dikonversi menjadi kebun atau areal perladangan dan tidak boleh diambil pohonnya. Norma berlaku menyebutkan “barang siapa yang kedapatan mencuri kayu akan didenda 1,5 juta rupiah”. Boleh menebang pohon asalkan digunakan untuk kebutuhan masyarakat umum, misalnya untuk pembuatan balai desa. Itu pun harus mengganti 1 pohon yang ditebang dengan menanam 10 bibit kayu yang sama.
Meski sudah ditetapkan sebagai hutan adat, areal tersebut tetap diincar oleh perambah. Tetapi ancamannya berkurang dibandingkan dahulu sebelum ditetapkan. Sebagian besar perambah berasal dari luar desa. Untuk menjaga Jenggala dari serbuan pencuri, masyarakat Pungut Mudik selalu melakukan patroli minimal 3 bulan sekali. Satu tim patroli terdiri dari 15 orang. Selain patroli, mereka juga berjaga-jaga ketika ada kabar perambah masuk ke dalam hutan. Biasanya warga akan memberikan informasi jika ada perambah yang muncul. Mereka saling bekerjasama untuk menjaga hutan.
Hutan Adat
Penetapan Hak
743
04-08-2017
Hutan Adat Marga Serampas Jambi Kab. Merangin
Marga Serampas terdiri dari lima desa, yakni Desa Renah Kemumu, Tanjung Kasri, Lubuk Mentilin, Rantau Kermas dan Renah Alai. Sangat sedikit sekali literatur mengenai asal usul Marga Serampas yang dapat dijadikan sebagai bahan rujukan. Penelusuran mengenai marga ini diperoleh bedasarkan cerita turun-temurun yang beredar dimasyarakat setempat. Serampas yang kita kenal selama ini diambil dari nama sungai yaitu Sungai Serampas/Serampu.
Di abad XI keberadaan nenek moyang serampas/serampu sudah ada jauh sebelum datangnya orang-orang dari kerajaan dari Jawa dan Minangkabau. Pada saat itu masyarakat serampu masih menganut kepercayaan atau animisme dan pada saat itu juga tumbuh suatu pemerintahan yang bernama Kerajaan Manjuto atau nan tigo kaum yang berpusat di Bukit Atap.
Adapun tiga kerajaan yang termasuk dalam Nan Tigo Kaum adalah kerajaan di Pulau Sangkar yang dipimpin oleh Depati Rejo Talang, di Tanjung Kasri dipimpin oleh Depati Segindo Balak dan di Koto Tapus dipimpin oleh Depati Koto Dewo.
Dalam masa itu kehidupan masyarakat Serampu hidup dengan cara berburu dan mengumpulkan hasil kehutanan. Kemudian setelah masuknya kerajaan dari Jawa dan Minangkabau, pada saat itulah berkembang agama Hindu dan pola hidup masyarakat berubah menjadi berkebun dan berdagang.
Untuk daerah Serampas terpusat di Tanjung Kasri (Renah Kemumu) yang pada saat itu terdapat 28 dusun. Wilayah Serampas terbagi dalam tiga wilayah yang merupakan keturunan langsung dari Segindo Balak antara lain Nenek Puti Segindo Mersik yang mendiami Renah Kemumu, Nenek Puti Selindung Bulan yang mendiami Tanjung Kaseri dan Nenek Puti Senialus yang mendiami Renah Alai. Untuk fungsi pemerintahan wilayah adat Serampas dipimpin oleh Depati Seribumi Puti Pemuncak Alam serampas dan dibawahnya terdapat depati Pulang Jawa di Renah Kemumu, depati Singo Negaro di Tanjung Kasri dan depati Karti Mudo Menggalo di Renah Alai. Untuk depati Karti Mudo Menggalo terdapat depati bawahannyaantara lain Depati Seniudo, Depati Payung, Depati Singo rajo, Depati kartau, Depati Siba.
Konflik mengenai kawasan di wilayah Serampas sejauh ini minim terjadi. Hal ini didasari ketatnya aturan adat yang dipakai oleh Serampas dan aturan tersebut sangat dipegang teguh oleh masyarakat. Untuk pengawasan dan penjagaan wilayah adat Serampas memiliki suatu kearifan lokal antara lain dengan mengatur larangan bagi masyarakat Serampas untuk membawa masuk “orang selatan” baik melalui pernikahan maupun dijadikan sebagai buruh pertanian. Apabila ada warga yang melanggarnya, maka sanksi adat akan dikenakan. Sanksi tersebutberupa pengusiran dari wilayah Serampas.
Riset ini menyimpulkan bahwa Masyarakat Hukum Adat Serampas telah memenuhi unsur pemenuhan masyarakat hukum adat yang termaktub dalam UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Dengan terpenuhinya semua unsur tersebut, maka sangat layak jika Pemerintah Daerah Kabupaten Merangin mengakui keberadaan kesatuan masyarakat hukum adat Serampas melalui kebijakan daerah.
Pemerintah Daerah Kabupaten Merangin memiliki pengalaman baik dalam mengakui keberadaan hutan adat dalam wilayah Kabupaten Merangin. Hal tersebut merupakan modal dasar dalam mengembangkan kebijakan daerah yang lebih luas dalam hal pengakuan masyarakat hukum adat beserta dengan wilayah adatnya. Oleh karenanya, peraturan bupati akan menjadi sangat relevan untuk memberikan alternatif kebijakan yang mengatur dan mengakui keberadaan masyarakat adat dalam satu wilayah yuridiksi kabupaten.
Hutan Adat
Penetapan Hak
744
03-08-2017
Hutan Adat Bukit Tinggi Jambi Kab. Kerinci
Hutan adat Bukit tinggai desa sungai deras kecamatan air hangat timur memikiki luar 41,27 Hektar, Setiap masyarakat adat memiliki tradisi dan nilai-nilai lokal tersendiri terhadap upaya perlindungan dan pengelolaan hutan, begitupula dengan hutan adat Bukit tinggai Desa sungai deras. Nilai ini menjadi kebanggaan, tetap dipakai dari masa ke masa. Masing-masing masyarakat adat memiliki karakteristik yang berbeda-beda, hal ini menunjukkan keberagaman adat, budaya serta tradisi masyarakat adat yang terdapat di Indonesia.
Keberagaman itu juga ditemukan dalam pengelolaan dan perlindungan kawasan hutan. Seperti di kawasan hutan adat bukit tinggai ini memiliki model-model kearifan lokal yang berkaitan dengan pengelolaan hutan dan segala isinya Sebut Saja Pantangan adat yang ada di desa sungai deras kecamatan air hangat timur, Hutan adat Bukit Tinggi dikenal ditengah masyarakat dengan imbo larangan “ kelestarian dan keberlangsungan hutan adat senang tiasa dijaga oleh setiap warga masyarakat setempat, imbo larangan merupakan hutan yang masyarakatnya tidak boleh menebang apa saja yang ada didalamnya”.
Dengan adanya karakteristik yang bermacam macam ini tentunya menumbuhkan strategi bagi masyarakat setempat dan lembaga swadaya yang berkompenten mengelola dan melestariakan hutan adat.
Hutan hak adat bukit tingai mempunyai sistem pengelolaan yang baik dikenal dengan kelembagaan adat didesa sungai deras kecamatan air hangat timur, ketua lembaga adat hutan adat bukit tinggai, Suhirman Mangku merupakan ketua kerapatan adat ia mengatakan berkenaan stategi yang akan dilakukann oleh para pengelola hutan hak adat bukit tingai dengan berbagai strategi yang akan dilakukan apalagi pasca dikeluarkannya Surat bahagia dari Presiden RI Joko widodo, ada beberapa pola Strategi yang akan ia gunakan dalam penggelolaan hutan adat, diantaranya, hutan adat yang di jaga oleh segenap warga desa sungai deras merupakan hutan larangan yang setiap warganya dilarang untuk melakukan penebangan untuk itu dengan luas yang besar pihak kerapatan adat akan menggelar patrol kesetiap penjuru hutan guna mengatasi dan meminimalisir ada nya penebangan liar diseputaran hutan hak adat bukit tingai apalagi pasca tahun 2003 pernah terjadi penangkapan yang dilakukan oleh kerapatan adat terhadap warga yang melakukan penebangan dengan itu penting baginya sebagai objek pengawasan yang dilakukan oleh setiap warganya, dan dengan upaya pengawasan yang maksimal penting kiranya dibentuk sebuah pos penjagaan bagi pengelola hutan adat, dengan keikutsertaan lembaga-lembaga pemerhati hutan dengan menyelenggarakan pembibitan pohon yang bermamfaat.
Hutan adat bukit tinggai merupakan sumber keberlangsungan ekosistem didalamnya pengelola juga mengharapakan kepada setiap masyarakatnya untuk bersama-sama menjaga dan untuk pemerintahan daerah kabupaten kernci terutama untuk lebih memperhatikan hutan hak adat bukit tingai yang merupakan sumber keberlangsungan hayati, dan sukirman juga mengharapakan agar segenap pengelola hutan data untuk bagu membahu dalam pelestarian hutan.
Sebagai masyarakat yang bergerak dibidang pelestarian hutan adat tentunya mempunya strategi tersendiri dalam mencapai target yang telah di programkan pemerintah baik daerah maupun pusat. Target pencapaian itulah yang menjadi tolak ukur keberhasilan pelestarian hutan adat di Desa sungai deras kabupaten kerinci.
Hutan Adat
Penetapan Hak
745
03-08-2017
Hutan Adat Kasepuhan Karang Banten Kab. Lebak
Letak Kasepuhan Karang dapat dibilang
agak jauh, sekitar 35 km dari pusat pemerintahan
Kabupaten Lebak di Rangkasbitung
dengan kondisi jalan beraspal dan sebagian
berbatu. Di Kasepuhan Karang terdapat beberapa
sungai yang memiliki peran penting penunjang
kehidupan masyarakat untuk kegiatan
1
Hasil Pemetaan Partisipatif (2014), luas Desa
Jagaraksa mencapai 1081,286 ha
bersawah, kolam dan digunakan untuk kepentingan
sehari-hari seperti mandi, cuci dan
kakus.
Sungai-sungai tersebut adalah Sungai Cikamarung,
Cimapag, Cipondok Aki, Cibedug,
Cilunglum, Cikadu dan Cibaro. Jenis ikan, yang
ditemukan di sungai-sungai di kasepuhan ini
adalah lele, beunteur, regis, udang, sarompet,
kehkel, bogo dan manyeng.
Umumnya lahan pemukiman (lembur)
dan sebagian lahan pertanian sudah memiliki
bukti tertulis yang tertera dalam buku letter C
yaitu Buku pendaftaran tanah sebagai dasar
dari penerbitan Girik yang kemudian diganti
menjadi Surat Pemberitahuan Pajak Terutang
(SPPT). Sebagian lahan pertanian masyarakat
Kasepuhan Karang atau lahan cawisan ada yang
masuk dalam klaim Taman Nasional Gunung
Halimun-Salak (TNGHS). Masyarakat umumnya
menyebut lahan tersebut dengan lahan
garapan (anu digarap ku masyarakat).
Hasil pemetaan partisipatif yang difasilitasi
RMI (2014) menegaskan bahwa dari luas
Kasepuhan Karang yang mencapai 388,572
ha, hampir 50% wilayah Kasepuhan Karang
diklaim sebagai kawasan TNGHS, yakni mencapai
167,625 ha.
Dalam sistem tata guna lahan masyarakat
Kasepuhan Karang masih mengakui areal
kawasan yang harus dilindungi secara komunal.
Masyarakat Kasepuhan Karang menyebut wilayah
tersebut dengan istilah Aub Lembur. Aub
Lembur adalah kawasan yang dijadikan sebagai
sumber mata air dan dianggap keramat bagi
masyarakat kasepuhan, termasuk dijadikan
sebagai tanah makam. Pada kawasan ini masyarakat
dilarang melakukan aktifitas seperti
menebang pohon atau memanfatkan hasil
hutan berupa kayu.
Kawasan lainnya yang dianggap sakral
adalah leuweung kolot/Paniisan (secara harfiah
berarti tempat istirahat). Paniisan memiliki
fungsi sebagai tempat istirahat, baik yang
dimaksud sebagai tempat kasepuhan beristirahat
maupun dalam kerangka mengistirahatkan
dari kerusakan-kerusakan lingkungan,
karena kawasan ini merupakan sumber air
bagi warga Kampung Karang.
Seperti yang tertuang dalam filosofinya
“Salamet ku Peso, bersih ku Cai“—Pisau memberikan
kehidupan dan Air memberikan kebersihan
diri. Dengan kata lain filosofi tersebut
memiliki makna warga Karang selalu
diingatkan untuk berada dalam kondisi dan
situasi yang tepat, sesuai, tajam, selaras dan
sederhana dalam setiap keadaan apa pun.
Namun jikalau terjadi kesalahan bersegeralah
untuk membersihkan diri dan kembali kepada
kesesuaian, ketajaman dan kesederhanaan hidup,
termasuk dalam konteks mengelola dan
memanfaatkan kekayaan alam.
Masyarakat Adat Kasepuhan Karang meyakini
bahwa dalam pengelolaan alam, masyarakat
harus menitikberatkan pada keseimbangan.
Artinya, apa yang diambil, harus
berbanding lurus dengan apa yang diberikan
terhadap alam. Secara umum, bentuk-bentuk
pengelolaan sumberdaya alam di Kasepuhan
Karang terbagi menjadi tiga hal, yaitu: hutan,
kebun dan sawah.
Dalam konteks kebijakan daerah Kabupaten
Lebak, pengakuan masyarakat hukum
adat dijamin melalui beberapa peraturanperaturan
daerah, seperti tentang Masyarakat
Baduy yang tertuang dalam Perda No. 13 tahun
1990 tentang Pembinaan dan Pengem-bangan
Lembaga Adat Masyarakat Baduy di Kabupaten
Daerah Tingkat II Lebak. Lalu ada Perda No.
32 tahun 2001 tentang Perlindungan Atas Hak
ULayat Masyarakat Baduy.
Tidak hanya dalam bentuk Perda, Pemerintah
Kabupaten Lebak juga mengeluarkan
kebijakan dalam bentuk SK Bupati Lebak
tentang perlindungan masyarakat adat kasepuhan
di Kabupaten Lebak, yaitu lewat SK
Bupati Lebak No. 430/Kep.318/Disporabudpar/2010
tentang Pengakuan Keberadaan
Masyarakat Adat Cisitu Kesatuan Sesepuh
Adat Cisitu Banten Kidul di Kabupaten Lebak,
yang kemudian disempurnakan dengan lahirnya
SK Bupati Lebak No. 430/Kep.298/
Disdikbud/2013 tentang Pengakuan Keberadaan
Masyarakat Adat di Wilayah Kesatuan
Adat Banten Kidul di Kabupaten Lebak yang
meliputi 17 Kase-puhan di dalamnya.
Ke-17 kasepuhan tersebut adalah Cisungsang,
Cisitu, Cicarucub, Ciherang, Citorek,
Bayah, Karang, Guragog, Pasireurih, Garung,
Karangcombong, Jamrut, Cibedug, Sindangagung,
Cibadak, Lebaklarang dan Babakanrabig.
Kelompok tersebut merupakan komunitas
yang memiliki hubungan erat dengan
sumberdaya hutan serta memiliki aturan yang
telah dijalankan secara turun temurun.
Hutan Adat
Penetapan Hak
746
03-08-2017
Hutan Adat Wana Posangke Sulawesi Tengah Kab. Morowali Utara
Asal usul tau taa Wana berasal dari sebuh tempat bernama Tundantane yang kini masuk dalam kawasan Cagar Alam Morowali. Dari tempat itulah manusia pertama turun dari langit menuju bumi kuasa Pue (tuhan). manusia pertama itu bernama Pololosong yang memiliki adik bernama Banggai yang dipercaya kemudian hari menjadi raja Banggai. Dari keturunan itu, lalu mereka menyebar mengikuti gerak perladangan berpindah ke arah Banggai disebut Burangas, dan Kayu Marangka. dan Kayupoli, hingga sepanjang aliran sungai Salato. Sungai memiliki peran penting menjadi lalu lintas mereka. Sub etnik yang tinggal sepanjang aliran sungai Salato itu yang seringkali diberi nama Posangke.
alam tuturan orang Taa di Posangke, umumnya mempercayai bahwa pada dasarnya masyarakat Taa, terutama di empat Lipu yakni. Salisarao, Viyautiro. Sumbol dan Puumbatu, berasal dari Posangke. Mereka percaya pada tuturan sejarah yang menceritakan: bahwa dahulu kala di Posangke itu hidup dua orang pria yang bersaudara. Saudara kakak memlliki kepercayaan halaik sedangkan yang adik beragama islam sehingga mereka membt.iat satu perjanjian bahwa diantara mereka tidak boleh saling mempengaruhi keturunannya. Biarkanlah mereka memilih kepercayaan masing-masing. Peranjian ini dilambangkan dengan pohon bambu yang mereka tanam bersama-sama. Pohon bambu sang kakak adalah pohon balo fuyu (bulu tul) sedangkan sang adik menanam balo kojo bambu jaha. Dalam kesepakatan itu, dibuat suatu sumpah 'karma' apabila diantara mereka ada yang memaksakan agamanya, maka kelak, pohon yang mereka tanam akan mati. Sampai saat ini pohon yang ditanam itu masih tumbuh dan biasanya menjadi tempat mereka untuk meminta pertolongan apabila ada semacam ancaman terhadap lipu. Biasanya mereka akan datang membuat ritual dan memohon bantuan.
Menurut kepercayaan orang Taa, dulu sebelum melakukan perang, dua orang bersaudara inilah yang lebih dulu perang (maju) untuk membantu mereka itu sebabnya mereka harus menjaga tempat tersebut. Tempat ini menjadi tempat yang sakral bagi komunitas Tau To Posangke. Himpunan bambu sangat lebat dan besar tapi tidak boleh ada yang mengambiI bambu tersebut, Apabila ada yang berani mengambil dan tidak mengembalikannya, maka orang tersebut dan keluarganya akan jatuh sakit. Mereka percaya ada roh yang menjaga tempat adalah dulu orang yang dipercaya darahnya putih seperti pulut kayu Namanya tau mokole buya raanya, tidak lain adalah pemimpin orang Tea di masa lalu. Tapi turunan dari orang tersebut sudah tidak ada lagi. Menurut mereka pohon bambu sang kakak (halaik) sudah sedikit karena sudah banyak dari mereka yang meninggal dan berpindah agama.
Seisin tuturan Posangke, mereka juga mempunyai sejarah tentang Fyautiro, Salisarao, Pumbatu dan Sumbol. Nama Salisarao misalnya, berasal atau diambil dari nama seorang pemuda bemama Sali yang selalu memakan UvuSarao (buah pinang). Fyautiro artinya lubang besar atau dalam yang dasarnya tidak kelihatan. Bisa juga disebut atau goa besar yang pintu luarnya terdapat batu menyerupai badan manusia. Mereka percaya bahwa di masa lalu, patung yang dimaksud adalah adalah sebuah keluarga oleh karena suatu peranjian sehingga dikutuk dan menjadi patung. Selain itu, juga terdapat viaukamborang, yaitu patung seorang gadis. Sedangkan nama pumbatu diambil letak lipu tersebut. Puumbatu artinya air yang keluar dari dalam batu.
Hutan Adat
Penetapan Hak
747
02-08-2017
Hutan Adat Ammatoa Kajang Sulawesi Selatan Kab. Bulukumba
Masyarakat Adat Ammatoa Kajang merupakan salah satu Komunitas Adat yang tinggal di wilayah adatnya secara turun temurun, tepatnya di Kecamatan Kajang, Kab. Bulukumba. Daerah itu dianggap sebagai tanah warisan leluhur yang harus dijaga dan mereka menyebutnya ‘Tana Toa’ atau Kampung Tua. Luas wilayah adat Ammatoa Kajang 22.592,87 Ha dengan kondisi perbukitan. Sebelah Timur berbatasan dengan Teluk Bone, sebelah Utara dengan Kabupaten Sinjai dan sebelah Selatan dengan Desa Jojjolo, Desa Bonto Mangiring Kecamatan Bulukumpa.
Masyarakatnya lebih dikenal dengan nama masyarakat adat Ammatoa Kajang. Ammatoa adalah sebutan bagi peimimpin adat mereka yang diperoleh secara turun temurun. ‘Amma’ artinya Bapak, sedangkan ‘Toa’ berarti yang di Tuakan.
Masyarakat adat Ammatoa Kajang dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu ‘Rilalang Embayya’ (Tanah Kamase-masea) lebih dikenal dengan nama Kajang Dalam yang dikenal sebagai Kawasan Adat Ammatoa dan ‘Ipantarang Embayya’ (Tanah Kausayya) atau lebih dikenal dengan nama Kajang Luar. Meskipun terbagi menjadi dua wilayah, tidak ada perbedaan mendasar diantara keduanya. Sejak dulu hingga sekarang, mereka selalu berpegang teguh pada ajaran leluhur. Berdasarkan ajaran leluhur, masyarakat adat Ammatoa Kajang harus selalu menjaga keseimbangan hidup dengan alam dan para leluhur.
Sejarah asal-usul masyarakat adat Ammatoa Kajang dan wilayahnya tergambar dalam mitologi asal mula kemunculan To Manurung ri Kajang sebagai Tau Mariolo, manusia pertama di Kajang yang menjadi Ammatoa pertama, pemimpin (adat) pertama masyarakat adat Kajang. Terdapat banyak versi dari mitologi tersebut baik yang dikisahkan oleh Ammatoa dan pengurus adat, tokoh-tokoh masyarakat.
Wilayah masyarakat adat Ammatoa Kajang berawal dari gundukan tanah yang menyembul diantara air, dikenal sebagai tombolo. Tanah tersebut kemudian melebar seiring perkembangan waktu dan perkembangan manusia yang menghuninya. Masyarakat Adat Ammatoa Kajang mempercayai bahwa Ammatoa pertama menunggangi Koajang atau Akkoajang (burung Rajawali) di possi tanayya, tempat pertama menetap.
Dari istrinya yang disebut dengan Ando atau Anrongta, Ammatoa pertama memiliki lima anak, empat perempuan dan satu laki-laki, yaitu Dalanjo ri Balagana, Dangempa ri Tuli, Damangung Salam ri Balambina, Dakodo ri Sobbu dan Tamutung ri Sobbu. Diceritakan pula bahwa lima anak tersebut dikenal sebagai lima Gallarang, yaitu Galla’Pantama, Galla’ Anjuru, Galla’ Kajang, Galla’ Puto dan Galla Lombok. Masing-masing anak memerintah di satu wilayah di Kajang. Setelah memiliki lima keturunan, To Manurung dipercaya sesungguhnya masih hidup, tetapi menghilang (assajang) yang secara kasat mata tidak dapat dilihat lagi, allinrung, hanya dapat dilihat dengan “mata bathin”. (Adhan 2015)
Nama kajang memiliki kaitan erat dengan burung koajang, akkoajang, dan assajang itu. Dikisahkan pula bahwa asal-usul Ammatoa berkaitan dengan kisah Datu Manila, putri kerajaan Luwu yang menikah denganGalla’ Puto. Maskawin (sunrang) pernikahannya berupa tanah di daerah Gallarang Puto’, bagian pesisir timur possi’ tana (pusat bumi) Kajang. Mereka mempunyai anakyang disebut Tau Kentarang, orang yang bercahaya ibarat bulan purnama. Dari Tau Kentarang inilah lahir Ammatoa, diantaranya ialah Bohe Ta’bo, Puto’ Sampo ri Pangi, Puto’ Palli ri Tambolo, Soba ri Tambolo, Puto’ Sembang, Puto’ Cacong, danPuto’ Nyonya. (Adhan 2005)
Kisah kemunculan Ammatoa juga diungkapkan dalam kisah putri Batara Daeng ri Langi yang muncul dari seruas bambu (pettung). Putri tersebut kemudian menikah dengan Tamparang Daeng Maloang atau Tau Ala Lembang Lohe yang telah beristriPu’binanga yang mandul. Dari isteri kedua lahirlah Tau Kale Bojo,Tau Sapa Lilana, Tau Tentaya Matanna, dan Tau Kadatili Simbolenna. Anak kedua, Tau Sapa Lilana,merupakan pemula dalam silsilah karaeng Kajang atau Karaeng Ilau di Possi Tana yang mewarisi kemampuan menyampaikan pesan-pesan dari leluhur mereka yang disebut Pasang ri Kajang. Anak keempat,Tau Kadatili Simbolenna, dipercaya setelah menghilang bersama ibunya, kemudian turun di Tukku Bassi-Gowa. Di sana dia dinobatkan menjadi raja oleh Bate Salapang (sembilan wilayah kekuasaan) dibawah pimpinan Paccalaya.
Sejak dahulu kala masyarakat adat Ammatoa Kajang hidup dalam kelompok-kelompok yang menyebar di berbagai tempat. Sejarah wilayah adat Kajang dibuktikan dengan adanya warga masyarakat yang berpakaian hitam yang menyebar dalam“Sulapa Appa”, segi empat batas wilayah adat. Batas batas tersebut melintasi Batu nilamung, Batu Kincing, Tana Illi, Tukasi, Batu Lapisi, Bukia, Pallangisang, Tanuntung, Pulau Sembilan, Laha Laha, Tallu Limpoa dan Rarang Ejayya (data Tim terpadu penyusun Ranperda Pengakuan Masyarakat adat Ammatoa Kajang)
Struktur kelembagaan adat Ammatoa Kajang disebut dengan “Pangngadakkang” (struktur adat). Dalam struktur kelembagaan adat, mengenai peran dan fungsi lembaga adat bersumber dari Pasang Ri Kajang. Dalam susunan kelembagaan Adat Ammatoa Kajang, Ammatoa ditempatkan sebagai puncak pimpinan dalam adat dan pemerintahan, yang dibawahnya ada yang disebut Anrong yang terdiri dari dua pejabat, yakni Anrong ta ri Pangi dan Anrong ta ri Bongkina.
Kelembagaan adat masyarakat Ammatoa Kajang memiliki struktur cukup besar. kelembagaan adat Ammatoa Kajang terdiri dari:
1. Ammatoa
2. Anrongta Baku’ Toayya (Anrongta Ri Pangi) dan Anrongta Baku’ Loloa (Anrongta Ri Bongkina)
3. Ada’ Lima ri Tana Kekea : (Galla Pantama, Galla Lombo’, Galla Malleleng, Galla Kajang, Galla Puto)
4. Ada’ Lima ri Tanah Lohea : (Galla Ganta’, Galla Sangkala, Galla Sapa, Galla Bantalang, Galla Anjuru’, Tu Toa Sangkala)
5. Karaeng Tallua : (Labbiria, Sullehatang, Anak Karaeng)
6. Tutoa : (Tutoa Sangkala, Tutoa Ganta)
7. Ada’ Bali Butta : (Galla Jo’jjolo’, Galla Pattongko’)
8. Kali Kajang
9. Kadaha’
10. Lompo Karaeng
11. Lompo Ada’ : (Sandro Kajang, Androng Guru)
Hutan Adat
Penetapan Hak
748
09-05-2017
Hutan Keramat Sungai Sijernih, Suku Ampang Delapan Riau Kab. Indragiri Hulu
Hutan Adat
749
09-05-2017
Hutan Lindung Adat Anak Talang Riau Kab. Indragiri Hulu