DATA WILAYAH KELOLA
No. Tanggal Input Nama Wilayah Kelola Profil Jenis Wilayah Kelola Tahapan  
711 03-08-2017 Hutan Adat Bukit Tinggi
Jambi 
Kab. Kerinci 
Hutan adat Bukit tinggai desa sungai deras kecamatan air hangat timur memikiki luar 41,27 Hektar, Setiap masyarakat adat memiliki tradisi dan nilai-nilai lokal tersendiri terhadap upaya perlindungan dan pengelolaan hutan, begitupula dengan hutan adat Bukit tinggai Desa sungai deras. Nilai ini menjadi kebanggaan, tetap dipakai dari masa ke masa. Masing-masing masyarakat adat memiliki karakteristik yang berbeda-beda, hal ini menunjukkan keberagaman adat, budaya serta tradisi masyarakat adat yang terdapat di Indonesia. Keberagaman itu juga ditemukan dalam pengelolaan dan perlindungan kawasan hutan. Seperti di kawasan hutan adat bukit tinggai ini memiliki model-model kearifan lokal yang berkaitan dengan pengelolaan hutan dan segala isinya Sebut Saja Pantangan adat yang ada di desa sungai deras kecamatan air hangat timur, Hutan adat Bukit Tinggi dikenal ditengah masyarakat dengan imbo larangan “ kelestarian dan keberlangsungan hutan adat senang tiasa dijaga oleh setiap warga masyarakat setempat, imbo larangan merupakan hutan yang masyarakatnya tidak boleh menebang apa saja yang ada didalamnya”. Dengan adanya karakteristik yang bermacam macam ini tentunya menumbuhkan strategi bagi masyarakat setempat dan lembaga swadaya yang berkompenten mengelola dan melestariakan hutan adat. Hutan hak adat bukit tingai mempunyai sistem pengelolaan yang baik dikenal dengan kelembagaan adat didesa sungai deras kecamatan air hangat timur, ketua lembaga adat hutan adat bukit tinggai, Suhirman Mangku merupakan ketua kerapatan adat ia mengatakan berkenaan stategi yang akan dilakukann oleh para pengelola hutan hak adat bukit tingai dengan berbagai strategi yang akan dilakukan apalagi pasca dikeluarkannya Surat bahagia dari Presiden RI Joko widodo, ada beberapa pola Strategi yang akan ia gunakan dalam penggelolaan hutan adat, diantaranya, hutan adat yang di jaga oleh segenap warga desa sungai deras merupakan hutan larangan yang setiap warganya dilarang untuk melakukan penebangan untuk itu dengan luas yang besar pihak kerapatan adat akan menggelar patrol kesetiap penjuru hutan guna mengatasi dan meminimalisir ada nya penebangan liar diseputaran hutan hak adat bukit tingai apalagi pasca tahun 2003 pernah terjadi penangkapan yang dilakukan oleh kerapatan adat terhadap warga yang melakukan penebangan dengan itu penting baginya sebagai objek pengawasan yang dilakukan oleh setiap warganya, dan dengan upaya pengawasan yang maksimal penting kiranya dibentuk sebuah pos penjagaan bagi pengelola hutan adat, dengan keikutsertaan lembaga-lembaga pemerhati hutan dengan menyelenggarakan pembibitan pohon yang bermamfaat. Hutan adat bukit tinggai merupakan sumber keberlangsungan ekosistem didalamnya pengelola juga mengharapakan kepada setiap masyarakatnya untuk bersama-sama menjaga dan untuk pemerintahan daerah kabupaten kernci terutama untuk lebih memperhatikan hutan hak adat bukit tingai yang merupakan sumber keberlangsungan hayati, dan sukirman juga mengharapakan agar segenap pengelola hutan data untuk bagu membahu dalam pelestarian hutan. Sebagai masyarakat yang bergerak dibidang pelestarian hutan adat tentunya mempunya strategi tersendiri dalam mencapai target yang telah di programkan pemerintah baik daerah maupun pusat. Target pencapaian itulah yang menjadi tolak ukur keberhasilan pelestarian hutan adat di Desa sungai deras kabupaten kerinci. Hutan Adat Penetapan Hak
712 03-08-2017 Hutan Adat Wana Posangke
Sulawesi Tengah 
Kab. Morowali Utara 
Asal usul tau taa Wana berasal dari sebuh tempat bernama Tundantane yang kini masuk dalam kawasan Cagar Alam Morowali. Dari tempat itulah manusia pertama turun dari langit menuju bumi kuasa Pue (tuhan). manusia pertama itu bernama Pololosong yang memiliki adik bernama Banggai yang dipercaya kemudian hari menjadi raja Banggai. Dari keturunan itu, lalu mereka menyebar mengikuti gerak perladangan berpindah ke arah Banggai disebut Burangas, dan Kayu Marangka. dan Kayupoli, hingga sepanjang aliran sungai Salato. Sungai memiliki peran penting menjadi lalu lintas mereka. Sub etnik yang tinggal sepanjang aliran sungai Salato itu yang seringkali diberi nama Posangke. alam tuturan orang Taa di Posangke, umumnya mempercayai bahwa pada dasarnya masyarakat Taa, terutama di empat Lipu yakni. Salisarao, Viyautiro. Sumbol dan Puumbatu, berasal dari Posangke. Mereka percaya pada tuturan sejarah yang menceritakan: bahwa dahulu kala di Posangke itu hidup dua orang pria yang bersaudara. Saudara kakak memlliki kepercayaan halaik sedangkan yang adik beragama islam sehingga mereka membt.iat satu perjanjian bahwa diantara mereka tidak boleh saling mempengaruhi keturunannya. Biarkanlah mereka memilih kepercayaan masing-masing. Peranjian ini dilambangkan dengan pohon bambu yang mereka tanam bersama-sama. Pohon bambu sang kakak adalah pohon balo fuyu (bulu tul) sedangkan sang adik menanam balo kojo bambu jaha. Dalam kesepakatan itu, dibuat suatu sumpah 'karma' apabila diantara mereka ada yang memaksakan agamanya, maka kelak, pohon yang mereka tanam akan mati. Sampai saat ini pohon yang ditanam itu masih tumbuh dan biasanya menjadi tempat mereka untuk meminta pertolongan apabila ada semacam ancaman terhadap lipu. Biasanya mereka akan datang membuat ritual dan memohon bantuan. Menurut kepercayaan orang Taa, dulu sebelum melakukan perang, dua orang bersaudara inilah yang lebih dulu perang (maju) untuk membantu mereka itu sebabnya mereka harus menjaga tempat tersebut. Tempat ini menjadi tempat yang sakral bagi komunitas Tau To Posangke. Himpunan bambu sangat lebat dan besar tapi tidak boleh ada yang mengambiI bambu tersebut, Apabila ada yang berani mengambil dan tidak mengembalikannya, maka orang tersebut dan keluarganya akan jatuh sakit. Mereka percaya ada roh yang menjaga tempat adalah dulu orang yang dipercaya darahnya putih seperti pulut kayu Namanya tau mokole buya raanya, tidak lain adalah pemimpin orang Tea di masa lalu. Tapi turunan dari orang tersebut sudah tidak ada lagi. Menurut mereka pohon bambu sang kakak (halaik) sudah sedikit karena sudah banyak dari mereka yang meninggal dan berpindah agama. Seisin tuturan Posangke, mereka juga mempunyai sejarah tentang Fyautiro, Salisarao, Pumbatu dan Sumbol. Nama Salisarao misalnya, berasal atau diambil dari nama seorang pemuda bemama Sali yang selalu memakan UvuSarao (buah pinang). Fyautiro artinya lubang besar atau dalam yang dasarnya tidak kelihatan. Bisa juga disebut atau goa besar yang pintu luarnya terdapat batu menyerupai badan manusia. Mereka percaya bahwa di masa lalu, patung yang dimaksud adalah adalah sebuah keluarga oleh karena suatu peranjian sehingga dikutuk dan menjadi patung. Selain itu, juga terdapat viaukamborang, yaitu patung seorang gadis. Sedangkan nama pumbatu diambil letak lipu tersebut. Puumbatu artinya air yang keluar dari dalam batu. Hutan Adat Penetapan Hak
713 02-08-2017 Hutan Adat Ammatoa Kajang
Sulawesi Selatan 
Kab. Bulukumba 
Masyarakat Adat Ammatoa Kajang merupakan salah satu Komunitas Adat yang tinggal di wilayah adatnya secara turun temurun, tepatnya di Kecamatan Kajang, Kab. Bulukumba. Daerah itu dianggap sebagai tanah warisan leluhur yang harus dijaga dan mereka menyebutnya ‘Tana Toa’ atau Kampung Tua. Luas wilayah adat Ammatoa Kajang 22.592,87 Ha dengan kondisi perbukitan. Sebelah Timur berbatasan dengan Teluk Bone, sebelah Utara dengan Kabupaten Sinjai dan sebelah Selatan dengan Desa Jojjolo, Desa Bonto Mangiring Kecamatan Bulukumpa. Masyarakatnya lebih dikenal dengan nama masyarakat adat Ammatoa Kajang. Ammatoa adalah sebutan bagi peimimpin adat mereka yang diperoleh secara turun temurun. ‘Amma’ artinya Bapak, sedangkan ‘Toa’ berarti yang di Tuakan. Masyarakat adat Ammatoa Kajang dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu ‘Rilalang Embayya’ (Tanah Kamase-masea) lebih dikenal dengan nama Kajang Dalam yang dikenal sebagai Kawasan Adat Ammatoa dan ‘Ipantarang Embayya’ (Tanah Kausayya) atau lebih dikenal dengan nama Kajang Luar. Meskipun terbagi menjadi dua wilayah, tidak ada perbedaan mendasar diantara keduanya. Sejak dulu hingga sekarang, mereka selalu berpegang teguh pada ajaran leluhur. Berdasarkan ajaran leluhur, masyarakat adat Ammatoa Kajang harus selalu menjaga keseimbangan hidup dengan alam dan para leluhur. Sejarah asal-usul masyarakat adat Ammatoa Kajang dan wilayahnya tergambar dalam mitologi asal mula kemunculan To Manurung ri Kajang sebagai Tau Mariolo, manusia pertama di Kajang yang menjadi Ammatoa pertama, pemimpin (adat) pertama masyarakat adat Kajang. Terdapat banyak versi dari mitologi tersebut baik yang dikisahkan oleh Ammatoa dan pengurus adat, tokoh-tokoh masyarakat. Wilayah masyarakat adat Ammatoa Kajang berawal dari gundukan tanah yang menyembul diantara air, dikenal sebagai tombolo. Tanah tersebut kemudian melebar seiring perkembangan waktu dan perkembangan manusia yang menghuninya. Masyarakat Adat Ammatoa Kajang mempercayai bahwa Ammatoa pertama menunggangi Koajang atau Akkoajang (burung Rajawali) di possi tanayya, tempat pertama menetap. Dari istrinya yang disebut dengan Ando atau Anrongta, Ammatoa pertama memiliki lima anak, empat perempuan dan satu laki-laki, yaitu Dalanjo ri Balagana, Dangempa ri Tuli, Damangung Salam ri Balambina, Dakodo ri Sobbu dan Tamutung ri Sobbu. Diceritakan pula bahwa lima anak tersebut dikenal sebagai lima Gallarang, yaitu Galla’Pantama, Galla’ Anjuru, Galla’ Kajang, Galla’ Puto dan Galla Lombok. Masing-masing anak memerintah di satu wilayah di Kajang. Setelah memiliki lima keturunan, To Manurung dipercaya sesungguhnya masih hidup, tetapi menghilang (assajang) yang secara kasat mata tidak dapat dilihat lagi, allinrung, hanya dapat dilihat dengan “mata bathin”. (Adhan 2015) Nama kajang memiliki kaitan erat dengan burung koajang, akkoajang, dan assajang itu. Dikisahkan pula bahwa asal-usul Ammatoa berkaitan dengan kisah Datu Manila, putri kerajaan Luwu yang menikah denganGalla’ Puto. Maskawin (sunrang) pernikahannya berupa tanah di daerah Gallarang Puto’, bagian pesisir timur possi’ tana (pusat bumi) Kajang. Mereka mempunyai anakyang disebut Tau Kentarang, orang yang bercahaya ibarat bulan purnama. Dari Tau Kentarang inilah lahir Ammatoa, diantaranya ialah Bohe Ta’bo, Puto’ Sampo ri Pangi, Puto’ Palli ri Tambolo, Soba ri Tambolo, Puto’ Sembang, Puto’ Cacong, danPuto’ Nyonya. (Adhan 2005) Kisah kemunculan Ammatoa juga diungkapkan dalam kisah putri Batara Daeng ri Langi yang muncul dari seruas bambu (pettung). Putri tersebut kemudian menikah dengan Tamparang Daeng Maloang atau Tau Ala Lembang Lohe yang telah beristriPu’binanga yang mandul. Dari isteri kedua lahirlah Tau Kale Bojo,Tau Sapa Lilana, Tau Tentaya Matanna, dan Tau Kadatili Simbolenna. Anak kedua, Tau Sapa Lilana,merupakan pemula dalam silsilah karaeng Kajang atau Karaeng Ilau di Possi Tana yang mewarisi kemampuan menyampaikan pesan-pesan dari leluhur mereka yang disebut Pasang ri Kajang. Anak keempat,Tau Kadatili Simbolenna, dipercaya setelah menghilang bersama ibunya, kemudian turun di Tukku Bassi-Gowa. Di sana dia dinobatkan menjadi raja oleh Bate Salapang (sembilan wilayah kekuasaan) dibawah pimpinan Paccalaya. Sejak dahulu kala masyarakat adat Ammatoa Kajang hidup dalam kelompok-kelompok yang menyebar di berbagai tempat. Sejarah wilayah adat Kajang dibuktikan dengan adanya warga masyarakat yang berpakaian hitam yang menyebar dalam“Sulapa Appa”, segi empat batas wilayah adat. Batas batas tersebut melintasi Batu nilamung, Batu Kincing, Tana Illi, Tukasi, Batu Lapisi, Bukia, Pallangisang, Tanuntung, Pulau Sembilan, Laha Laha, Tallu Limpoa dan Rarang Ejayya (data Tim terpadu penyusun Ranperda Pengakuan Masyarakat adat Ammatoa Kajang) Struktur kelembagaan adat Ammatoa Kajang disebut dengan “Pangngadakkang” (struktur adat). Dalam struktur kelembagaan adat, mengenai peran dan fungsi lembaga adat bersumber dari Pasang Ri Kajang. Dalam susunan kelembagaan Adat Ammatoa Kajang, Ammatoa ditempatkan sebagai puncak pimpinan dalam adat dan pemerintahan, yang dibawahnya ada yang disebut Anrong yang terdiri dari dua pejabat, yakni Anrong ta ri Pangi dan Anrong ta ri Bongkina. Kelembagaan adat masyarakat Ammatoa Kajang memiliki struktur cukup besar. kelembagaan adat Ammatoa Kajang terdiri dari: 1. Ammatoa 2. Anrongta Baku’ Toayya (Anrongta Ri Pangi) dan Anrongta Baku’ Loloa (Anrongta Ri Bongkina) 3. Ada’ Lima ri Tana Kekea : (Galla Pantama, Galla Lombo’, Galla Malleleng, Galla Kajang, Galla Puto) 4. Ada’ Lima ri Tanah Lohea : (Galla Ganta’, Galla Sangkala, Galla Sapa, Galla Bantalang, Galla Anjuru’, Tu Toa Sangkala) 5. Karaeng Tallua : (Labbiria, Sullehatang, Anak Karaeng) 6. Tutoa : (Tutoa Sangkala, Tutoa Ganta) 7. Ada’ Bali Butta : (Galla Jo’jjolo’, Galla Pattongko’) 8. Kali Kajang 9. Kadaha’ 10. Lompo Karaeng 11. Lompo Ada’ : (Sandro Kajang, Androng Guru) Hutan Adat Penetapan Hak
714 09-05-2017 Hutan Keramat Sungai Sijernih, Suku Ampang Delapan
Riau 
Kab. Indragiri Hulu 
Hutan Adat
715 09-05-2017 Hutan Lindung Adat Anak Talang
Riau 
Kab. Indragiri Hulu 
Hutan Adat Usulan
716 09-05-1986 Hutan Larangan Adat Kenegerian Koto Lamo
Riau 
Kab. Kampar 
Hutan Adat Usulan
717 08-05-2017 Wilayah Kelola Masyarakat Adat Sekombulan
Kalimantan Tengah 
Kab. Lamandau 
Hutan Adat Usulan
718 08-05-2017 Wilayah Kelola Masyarakat Adat Kubung
Kalimantan Tengah 
Kab. Lamandau 
Hutan Adat Usulan
719 08-05-2017 Marga Buway Pemuka Pangeran Tua
Lampung 
Kab. Way Kanan 
Tanah Adat Way Buway Pengeran Tua Hutan Adat Usulan
720 28-04-2017 Hutan Adat Ansibong
Sulawesi Tengah 
Kab. Parigi Moutong 
Orang Pebounang adalah komutas Suku Lauje yang mendiami pegunungan Sojol di Kecamatan Palasa (dulu Tomini). Pola perladangan rotasi dan pengambilaan hasil hutan mulai dibatasi sejak sebagian wilayah adatnya masuk dalam kawasan konservasi (Cagar Alam Gung Sojol), sejak tahun 1999. Hutan Adat
Displaying : 711 - 720 of 721 entries, Rows/page: