DATA WILAYAH KELOLA
No. Tanggal Input Nama Wilayah Kelola Profil Jenis Wilayah Kelola Tahapan  
701 12-09-2017 HUtan Adat Mukim Lamteuba
Aceh 
Kab. Aceh Besar 
Hutan Adat Usulan
702 12-09-2017 HUtan Adat Mukim Lampanah
Aceh 
Kab. Aceh Besar 
Hutan Adat Usulan
703 11-09-2017 Hutan adat Wana Posangke
Sulawesi Tengah 
Kab. Morowali Utara 
Hutan Adat Penetapan Hak
704 23-08-2017 Hutan adat Kasiala
Sulawesi Tengah 
Kab. Tojo Una-Una 
Komunitas Tau Taa Wana yang hidup di Kasiala, sejak tahun 1980-an berkonflik dengan HPH PT Rona Kartika. Saat ini mereka terancam kembali dengan rencanapembangunan transmigrasi 2 Satuan Pemukiman. Hutan Adat Usulan
705 23-08-2017 Hutan adat Dombu
Sulawesi Tengah 
Kab. Sigi 
Hutan Adat Usulan
706 04-08-2017 Hutan Adat Pandumaan Sipituhuta
Sumatera Utara 
Kab. Humbang Hasundutan 
Konflik berawal saat terbit SK Menteri Kehutanan No. 44/Menhut-II/2005, tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Wilayah Provinsi Sumatera Utara disebutkan didalamnya untuk mengharuskan kepada PT. Indorayon Utama yang berubah nama menjadi PT. Toba Pulp Lestari, Tbk (TPL) wajib melaksanakan penataan tapal batas wilayah kegiatan tanaman industrinya selambatnya 36 bulan sejak keputusan dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan RI, hingga pada saat ini pihak PT. TPL tidak melaksanakan penataan tapal batas wilayah kegiatan tanaman industri tersebut di Kabupaten Humbang Hasundutan. Surat Dinas Kehutanan Sumut Nomor 552.21/0684/IV, tertanggal 29 Januari 2009, perihal Rencana Kerja Tahunan (RKT) PT Toba Pulp Lestari Tahun 2009 TPL dan yang terbaru RKT TPL 2013 berlaku layaknya pemegang tunggal penguasaan hutan di wilayah eksplorasi dan sekitarnya. Tentu peraturan itu telah mengesampingkan Hak masyarakat adat atas pengelolahan lahan di Indonesia. Pasca keluarnya SK itu Sampai pada Tahun 2013, PT.TPL telah menguasai areal hutan kemenyan seluas 1000 Ha. Konflik kembali memanas yang ditandai dengan penangkapan 16 orang masyarakat adat oleh Polres Humbang Hasundutan. Tentu hal ini membuat masyarakat adat Pandumaan Sipituhuta merasa terpukul atas bentuk pidana yang dikenakan oleh pihak kepolisian. Sementara masyarakat adat Pandumaan Sipituhuta hanya mempertahankan tanah adat/ ulayat yang merupakan hutan kemenyan yang telah turun-temurun menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat. Berbagai upaya telah dilakukan masyarakat dalam penyelesaian sengketa yang telah ditempuh penyelesaian sengketa diluar pengadilan mengadukan atau menyampaikan persoalan ini di tingkat daerah maupun pusat. Pemerintah Kabupaten Humbang Hasundutan menampung aspirasi masyarakat dan meneruskan aspirasi tersebut ke Kementerian Kehutanan Republik Indonesia di Jakarta. Berulangkali Pemerintah Kabupaten melayangkan surat ke Kementerian Kehutanan RI di Jakarta agar PT. TPL menghentikan sementara kegiatannya di wilayah Kabupaten Humbang Hasundutan sampai penetapan tapal batas antara konsesi lahan yang dimiliki PT. TPL. Hutan adat atau hutan kemenyan (tombak haminjon) yang bertahun-tahun dalam kuasa perusahaan bubur kertas itu, balik ke masyarakat adat lewat perjuangan panjang, bertahun-tahun. Delima Silalahi, Koordinator Studi dan Advokasi Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) mengatakan, sejak TPL masuk ke tanah adat Pandumaan-Sipituhuta menghancurkan ribuan batang kemenyan yang selama ini jadi mata pencarian warga. Praktis, taraf ekonomi warga menurun. Mata pencarian utama mereka sudah hilang, hingga memenuhi kebutuhan hidup keluarga, para istri membantu suami dengan pergi ke ladang di kampung mereka. Hutan Adat Penetapan Hak
707 04-08-2017 Hutan Adat Bukit Sembahyang dan Padun Gelanggang
Jambi 
Kab. Kerinci 
“Hutan adat kita ini sudah diakui lama, kita sudah jaga selama ini. Tapi tidak ada satupun kegiatan yang ada di sini, selain bantuan bibit dan penanaman saja untuk kami”, tutur Haimi saat verifikasi dan validasi hutan adat dilakukan bersama Tim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di bulan November 2015. Sambil menghisap sebatang rokok, Haimi, petinggi adat di Hutan Adat Bukit Sembahyang dan Padun Gelanggang menceritakan kondisi pasca penetapan hutan adat oleh Bupati Kerinci yang dialami oleh masyarakat Desa Air Terjun, Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi. Raut wajahnya terlihat menghitam setelah berkeliling di lokasi hutan adat, namun masih bersemangat menunjukkan apa saja yang telah masyarakat lakukan di wilayah hutan adat. Sejenak dia berhenti untuk menunjukkan bahwa sebagian areal telah digarapnya untuk ditanami kayu surian ( toona sureni merr), kayu manis dan bambu untuk memberikan keuntungan ekonomis dan menjaga zonasi lereng hutan adat yang rentan longsor. Persoalan sengketa di dalam dan sekitar hutan adat tidak dipungkiri masih terus terjadi selama pengelolaan hutan adat dilakukan. Persoalan sengketa yang umumnya terjadi adalah terkait persoalan tenurial dan pengelolaan sumber daya di dalam dan sekitar hutan adat. Berawal dari sengketa pengelolaan kawasan hutan, beberapa pengelola hutan adat seperti di Hutan Adat Bukit Sembahyang dan Padun Gelanggang di Desa Air Terjun, Kecamatan Siulak serta Hutan Adat Bukit Tinggai di Desa Sungai Deras, Kecamatan Air Hangat Timur mengkodifikasi sejumlah peraturan adat yang sebelumnya dijalankan secara verbal menjadi tertulis dalam bentuk peraturan lembaga kerapatan adat untuk pengelolaan hutan hak adat. Hutan Adat Penetapan Hak
708 04-08-2017 Hutan Adat Tigo Luhah Permenti Yang Berenam
Jambi 
Kab. Kerinci 
Berlatar sebuah hamparan hutan dan sawah, Darlismi Patih, lelaki yang menjabat sebagai Ketua Adat itu menjelaskan tentang kondisi desa mereka beberapa tahun yang lalu. Bahwa banjir besar pernah melanda desa mereka. Pungut Mudik, nama desanya. Wilayah ini terletak di cekungan bentang alam Kerinci Seblat. Letaknya berbatasan dengan kawasan konservasi, Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Dari tahun 1999 masyarakat memang yang meminta kalau hutan adat ini perlu dicadangkan. Setelah melalui proses panjang baru pada tahun 2013, hutan Adat Tigo Luhah Permenti Yang Berenam disahkan oleh bupati (menjadi hutan adat). Hutan yang menjadi harapan masyarakat untuk sumber air bersih dan minum, untuk irigasi, menjaga dari bencana (longsor, erosi, dan banjir) dan sumber obat-obatan. Masyarakat paham ikhwal kawasan konservasi dengan versi mereka. Alas yang disebutkan oleh Darlismi memang terlihat mencolok dibanding kawasan hutan sekitarnya. Dari luar rimbanya masih bagus kerapatannya. Areal ini menurut Pemimpin Adat Pungut Mudik menjadi tempat tinggal bagi satwa seperti kijang, rusa, beruang, dan harimau sumatera. Luasnya mencapai 276 ha dan kebanyakan tumbuhannya didominasi oleh meranti, kemenyan, medang hijau, dan medang kuning. Serta Pinus Merkusii Strain Kerinci atau masyarakat mengenalnya dengan kayu sigi. Pohon ini merupakan endemis di Kerinci Seblat dan tidak bisa tumbuh di daerah lain. Aturan adat melarang bahwa hutan tersebut tidak boleh dikonversi menjadi kebun atau areal perladangan dan tidak boleh diambil pohonnya. Norma berlaku menyebutkan “barang siapa yang kedapatan mencuri kayu akan didenda 1,5 juta rupiah”. Boleh menebang pohon asalkan digunakan untuk kebutuhan masyarakat umum, misalnya untuk pembuatan balai desa. Itu pun harus mengganti 1 pohon yang ditebang dengan menanam 10 bibit kayu yang sama. Meski sudah ditetapkan sebagai hutan adat, areal tersebut tetap diincar oleh perambah. Tetapi ancamannya berkurang dibandingkan dahulu sebelum ditetapkan. Sebagian besar perambah berasal dari luar desa. Untuk menjaga Jenggala dari serbuan pencuri, masyarakat Pungut Mudik selalu melakukan patroli minimal 3 bulan sekali. Satu tim patroli terdiri dari 15 orang. Selain patroli, mereka juga berjaga-jaga ketika ada kabar perambah masuk ke dalam hutan. Biasanya warga akan memberikan informasi jika ada perambah yang muncul. Mereka saling bekerjasama untuk menjaga hutan. Hutan Adat Penetapan Hak
709 04-08-2017 Hutan Adat Tigo Luhah Kemantan
Jambi 
Kab. Kerinci 
Berlatar sebuah hamparan hutan dan sawah, Darlismi Patih, lelaki yang menjabat sebagai Ketua Adat itu menjelaskan tentang kondisi desa mereka beberapa tahun yang lalu. Bahwa banjir besar pernah melanda desa mereka. Pungut Mudik, nama desanya. Wilayah ini terletak di cekungan bentang alam Kerinci Seblat. Letaknya berbatasan dengan kawasan konservasi, Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). “Dari tahun 1999 masyarakat memang yang meminta kalau hutan adat ini perlu dicadangkan. Setelah melalui proses panjang baru pada tahun 2013, hutan Adat Tigo Luhah Permenti Yang Berenam disahkan oleh bupati (menjadi hutan adat)” jelas Darlismi Patih. Hutan yang menjadi harapan masyarakat untuk sumber air bersih dan minum, untuk irigasi, menjaga dari bencana (longsor, erosi, dan banjir) dan sumber obat-obatan. Masyarakat paham ikhwal kawasan konservasi dengan versi mereka. Alas yang disebutkan oleh Darlismi memang terlihat mencolok dibanding kawasan hutan sekitarnya. Dari luar rimbanya masih bagus kerapatannya. Areal ini menurut Pemimpin Adat Pungut Mudik menjadi tempat tinggal bagi satwa seperti kijang, rusa, beruang, dan harimau sumatera. Luasnya mencapai 276 ha dan kebanyakan tumbuhannya didominasi oleh meranti, kemenyan, medang hijau, dan medang kuning. Serta Pinus Merkusii Strain Kerinci atau masyarakat mengenalnya dengan kayu sigi. Pohon ini merupakan endemis di Kerinci Seblat dan tidak bisa tumbuh di daerah lain. Aturan adat melarang bahwa hutan tersebut tidak boleh dikonversi menjadi kebun atau areal perladangan dan tidak boleh diambil pohonnya. Norma berlaku menyebutkan “barang siapa yang kedapatan mencuri kayu akan didenda 1,5 juta rupiah”. Boleh menebang pohon asalkan digunakan untuk kebutuhan masyarakat umum, misalnya untuk pembuatan balai desa. Itu pun harus mengganti 1 pohon yang ditebang dengan menanam 10 bibit kayu yang sama. Meski sudah ditetapkan sebagai hutan adat, areal tersebut tetap diincar oleh perambah. Tetapi ancamannya berkurang dibandingkan dahulu sebelum ditetapkan. Sebagian besar perambah berasal dari luar desa. Untuk menjaga Jenggala dari serbuan pencuri, masyarakat Pungut Mudik selalu melakukan patroli minimal 3 bulan sekali. Satu tim patroli terdiri dari 15 orang. Selain patroli, mereka juga berjaga-jaga ketika ada kabar perambah masuk ke dalam hutan. Biasanya warga akan memberikan informasi jika ada perambah yang muncul. Mereka saling bekerjasama untuk menjaga hutan. Hutan Adat Penetapan Hak
710 04-08-2017 Hutan Adat Marga Serampas
Jambi 
Kab. Merangin 
Marga Serampas terdiri dari lima desa, yakni Desa Renah Kemumu, Tanjung Kasri, Lubuk Mentilin, Rantau Kermas dan Renah Alai. Sangat sedikit sekali literatur mengenai asal usul Marga Serampas yang dapat dijadikan sebagai bahan rujukan. Penelusuran mengenai marga ini diperoleh bedasarkan cerita turun-temurun yang beredar dimasyarakat setempat. Serampas yang kita kenal selama ini diambil dari nama sungai yaitu Sungai Serampas/Serampu. Di abad XI keberadaan nenek moyang serampas/serampu sudah ada jauh sebelum datangnya orang-orang dari kerajaan dari Jawa dan Minangkabau. Pada saat itu masyarakat serampu masih menganut kepercayaan atau animisme dan pada saat itu juga tumbuh suatu pemerintahan yang bernama Kerajaan Manjuto atau nan tigo kaum yang berpusat di Bukit Atap. Adapun tiga kerajaan yang termasuk dalam Nan Tigo Kaum adalah kerajaan di Pulau Sangkar yang dipimpin oleh Depati Rejo Talang, di Tanjung Kasri dipimpin oleh Depati Segindo Balak dan di Koto Tapus dipimpin oleh Depati Koto Dewo. Dalam masa itu kehidupan masyarakat Serampu hidup dengan cara berburu dan mengumpulkan hasil kehutanan. Kemudian setelah masuknya kerajaan dari Jawa dan Minangkabau, pada saat itulah berkembang agama Hindu dan pola hidup masyarakat berubah menjadi berkebun dan berdagang. Untuk daerah Serampas terpusat di Tanjung Kasri (Renah Kemumu) yang pada saat itu terdapat 28 dusun. Wilayah Serampas terbagi dalam tiga wilayah yang merupakan keturunan langsung dari Segindo Balak antara lain Nenek Puti Segindo Mersik yang mendiami Renah Kemumu, Nenek Puti Selindung Bulan yang mendiami Tanjung Kaseri dan Nenek Puti Senialus yang mendiami Renah Alai. Untuk fungsi pemerintahan wilayah adat Serampas dipimpin oleh Depati Seribumi Puti Pemuncak Alam serampas dan dibawahnya terdapat depati Pulang Jawa di Renah Kemumu, depati Singo Negaro di Tanjung Kasri dan depati Karti Mudo Menggalo di Renah Alai. Untuk depati Karti Mudo Menggalo terdapat depati bawahannyaantara lain Depati Seniudo, Depati Payung, Depati Singo rajo, Depati kartau, Depati Siba. Konflik mengenai kawasan di wilayah Serampas sejauh ini minim terjadi. Hal ini didasari ketatnya aturan adat yang dipakai oleh Serampas dan aturan tersebut sangat dipegang teguh oleh masyarakat. Untuk pengawasan dan penjagaan wilayah adat Serampas memiliki suatu kearifan lokal antara lain dengan mengatur larangan bagi masyarakat Serampas untuk membawa masuk “orang selatan” baik melalui pernikahan maupun dijadikan sebagai buruh pertanian. Apabila ada warga yang melanggarnya, maka sanksi adat akan dikenakan. Sanksi tersebutberupa pengusiran dari wilayah Serampas. Riset ini menyimpulkan bahwa Masyarakat Hukum Adat Serampas telah memenuhi unsur pemenuhan masyarakat hukum adat yang termaktub dalam UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Dengan terpenuhinya semua unsur tersebut, maka sangat layak jika Pemerintah Daerah Kabupaten Merangin mengakui keberadaan kesatuan masyarakat hukum adat Serampas melalui kebijakan daerah. Pemerintah Daerah Kabupaten Merangin memiliki pengalaman baik dalam mengakui keberadaan hutan adat dalam wilayah Kabupaten Merangin. Hal tersebut merupakan modal dasar dalam mengembangkan kebijakan daerah yang lebih luas dalam hal pengakuan masyarakat hukum adat beserta dengan wilayah adatnya. Oleh karenanya, peraturan bupati akan menjadi sangat relevan untuk memberikan alternatif kebijakan yang mengatur dan mengakui keberadaan masyarakat adat dalam satu wilayah yuridiksi kabupaten. Hutan Adat Penetapan Hak
Displaying : 701 - 710 of 721 entries, Rows/page: