DATA WILAYAH KELOLA
No. Tanggal Input Nama Wilayah Kelola Profil Jenis Wilayah Kelola Tahapan  
681 14-08-2019 Komunitas Adat Tondon
Sulawesi Selatan 
Kab. Enrekang 
Asal usul tondon bahwa beberapa orang disuruh oleh penguasa enrekang naik ke tondon, mereka dibekali uang Mesa’ balasse (Modal), pertama mereka tinggal disuatu tempat namanya dulung kemudian pindah ke buttu Tedong, kemudian pindah ke donga-donga kemudian pindah lagi ke sirattean, terus pindah lagi ke suatu tempat namanya bamba disitulah mulai banyak danmereka sudah berpenghasilan bercocok tanam, beternak dls. Mereka sudah bisa dikatakan suatu masyarakat yang berskala kampung disana terdapat suatu tempat yang tinggi dan rata dan cukup luas, jalan untuk naikhanya ada 2 yaitu (dua tangga/enda) dan yang bisa naik adalah orang yang bersih (mapaccing atena) tempat itulah dinamakan buntu batu yang disebut dengan Tondon setelah mereka mampu membentuk struktur kepemimpinannya/kelembagaannya adatnya maka terbentuk pulalah suatu komunitas yaitu Komunitas Masyarakat Adat Tondon. Struktur lembaga adat Komunitas Tondon terdiri dari : Tomakaka Ada’ (Tomatua) Kapala yaitu Bagian Pemerintahan Paso’ Tomassituru Wilayah adat Tondon ini berada di dataran tinggi sulawesi selatan dan kaya akan sumber daya alam, seperti kopi, cengkeh, merica, durian. Jarak dari ibu kota kabupaten kurang lebih Hutan Adat Usulan
682 13-08-2019 Liya
Sulawesi Tenggara 
Kab. Wakatobi 
Kadie Liya merupakan wilayah kekuasaan yang secara langsung berada di bawah kekuasaan pemerintah pusat (Kesultanan Buton). Struktur pemerintahan Kadie Liya terdiri dari 120 orang yang dipimpin oleh seorang Meantu’u (La Kina) yang disebut Sara dengan fungsi masing-masing.. Wilayah kekuasaan Kadie Liya meliputi ± 1/3 pulau Wangi-Wangi. Beberapa kawasan seperti Kolo, Pulau Sumanga, Pulau Oroho, Pulau Simpora, dan Lagiampa sejak dulu berada dalam penguasaan Kadie Liya. Hutan Adat Usulan
683 13-08-2019 Hukaea laea
Sulawesi Tenggara 
Kab. Bombana 
Tobu (kampung) hukaea-laea adalah suatu perkampungan tua orang moronene yang saat ini dihuni oleh keturunan langasung dari generasi orang moronene 1920. Berdasrkan data berupa peta belanda maupun cerita kesaksian orang moronene, tobu hukaea-laea dulunya merupakan perwakilan distrik rumbia yang dipimpin oleh seorang mokole(kepala distrik) yakni almarhum lababa. Bagi orang moronene, tobu hukaea-laea , lampopala dan sekitarnya merupakan waworaha, yakni kawasan yang pernah dihuni leluhur atau nenek moyang dan ditinggalkankarena alasan-alasan tertentu, misalnya wabah penyakit, kematian, gagal panen atau bencana alam yang menimpah hidup mereka. Walaupun ditinggal oleh sebab-sebab tertentu hubungan waworaha dengan orang moronene tidak pernah putus karena waworaha tersebut tetap dikunjungi baik untuk mengambil hasil sumber daya alam maupun berziarah kubur, sebab waworah adalah tanah leluhur yang akan tetap didatangi kembali dan dijadikan lokasi pemukiman dan usaha. Tentang riwayat tobu orang moronene di hulu sungai laea, jauh sebelum terbentuknya tobu hukaea beberapa keluarga moronene bermukim dan berladang disekitar sungai pambaea dan roromponda (kemudian bernama lampopala) yang sekarang di klaim sebagai wilayah TNRAW. Akibat dari ganggauan nyamuk, masayrakat atas persetujuan pemerintah distrik rumbia, berpindah dan membangun perkampungan dilokasi baru yang bernama wukulanu Selain berpindah ke hulu sungai laea, selainnya lagi berpindah kedaerah bawah hulu sungai laea. Tahun 1937, sebagian masyarakat pada laea meminta kepada mokole hukaea (lababa) untuk membangun pemukiman di daerah hulu sungai berdekatan dengan tobu hukaea. Dengan terbentuknya dan berkembangnya sejumlah tobu sepanjang sungai laea, maka pemerintah distrik rumbia yang wilayah mencakup 11 tobu, yakni 7 yang sekarang diklaim sebagai kawasan TNRAW dan 4 lainnya berada diluar taman nasional. Ketujuh tobu yang dimaksud adalah, laea, hukaea, wukulano, wawompoo, wambakowu, lalompala, sedangakan 4 tobu laninya adalah rarongkeu (desa lameroro sekarang) puungkowu (Dusun II wambubangka sekrang) serta tembe (desa hukaea baru sekarang). Keadaan geografis dan lingkungan alam LaEa-HukaEa memiliki kawasan ulayat dengan topografi yang umumnya datar didominasi oleh hamparan padang savana, hutan hujan tropis dataran rendah dan hutan Mangrove. Di bagian barat berbatasan dengan lokasi HTI PT. Barito Pasifik Timber dan Osu (gunung) Mendoke, bagian utara yang dibatasi oleh pengununggan Watumohai dan Tawunaula, bagian timur berbatasan dengan selat Tiworo dan bagian selatan berbatasan dengan HTI PT. Barito Pasifik Timber serta beberapa desa diantaranya desa Lombakasi, Desa Langkowala dan Lantari Jaya. Selain itu di tobu LaEa-HukaEa juga terdapat sungai Lahalo, Raromponda dan sungai LaEa yang bermuara di Teluk Tiworo. Sebagai mana umumnya daerah di Sulawesi Tenggara, iklim di LaEa-HukaEa tergolong dalam iklim tropis dengan musim hujan antara bulan Maret hingga bulan Juni. Hutan Adat Usulan
684 23-07-2018 Hutan Adat Mukim Blang Mee
Aceh 
Kab. Aceh Besar 
Mukim Blang Mee terdiri atas 6 gampong, yaitu Lamkuta Blangmee, Teungoh Blangmee, Baroh Blangmee, Umong Seuribee, Teungoh Geunteut, Baroh Geunteut. Luas wilayah adat Mukim Blang Mee adalah 3.478 Ha. Mukim Blang Mee sebelah utara berbatasan dengan Mukim Cot Jeumpa; sebelah selatan berbatasan dengan Mukim Lhoong; sebelah timur dengan Kabupaten Pidie; dan sebelah barat berbatasan dengan Samudera Hindia . Jumlah keluarga sebanyak 650 KK (2105 jiwa). Beberapa komunitas yang berdekatan dengan Mukim Blang Mee adalah Mukim Lhoong dan Mukim Cot Jeumpa. Hutan Adat Usulan
685 23-07-2018 Hutan Adat Mukim Lango
Aceh 
Kab. Aceh Barat 
Mukim Lango terdiri atas Lango, Lawet, Canggai dan Sikundo dengan jumlah penduduk sebanyak 2.042 jiwa (293 KK). Wilayah Mukim berada di ketinggian 200-450 Mdpl dengan Sebelah Utara berbatas dengan Aceh Tengah; Sebelah Selatan berbatas dengan Krueng Meureubo/Mukim Manjeng; Sebelah Timur berbatas dengan Kecamatan Beutong Ateuh Nagan Raya; Sebelah Barat berbatas dengan Mukim Meunuang Kinco. Hutan Adat Usulan
686 23-07-2018 Hutan Adat Marena
Sulawesi Tengah 
Kab. Sigi 
Pada zaman dahulu desa Marena hanyalah hutan belantara dan menjadi tempat persinggahan oleh para penggembala ternak kerbau dari Kulawi yang ingin pergi ke Gimpu (sekarang dikenal dengan nama desa Gimpu), begitupun sebaliknya. Para pengembala memilih untuk beristirahat dan menginap disitu karena alasan bahwa dulunya kerbau tidak akan mampu jalan lagi jika belum mandi. Tempat tersebut dikenal dengan nama Movuhu yaitu tempat kerbau untuk berkubang atau mandi. Movuhu dalam bahasa Kulawi Oma adalah tempat bergenangnya air. Proses terjadinya denangan air dsebabkan oleh adanya tanggul alami yang berbentuk gunung kecil di sekitar sungai yang menampung sebagian air sungai dan air hujan. Hingga pada suatu hari terjadi bencana alam (banjir) yang merusak tanggul gunung-gunung tersebut. Hingga hanya menyisakan lumpur dan tidak ada lagi genangan air untuk permandian kerbau. Akibat dari bencana banjir dan menyebabkan mengeringnya tempat kubangan atau permandian kerbau tersebut, maka kerbau hanya bisa berkeliaran di tempat tersebut. Awal mula penamaan desa Marena sebelum dikenal seperti sekarang adalah Morena. Nama morena diambil dari bahasa setempat (bahasa moma ) yang artinya adalah bekas genangan air untuk kubangan atau permandian kerbau dan kemudian hanya menjadi tempat berkeliarannya kerbau. Untuk lebih memudahkan untuk diinginat dan pengucapannya, maka akhirnya nama Morena diganti dengan Nama Marena hingga sampai saat ini. Hutan Adat Penetapan Hak
687 23-07-2018 HUTAN ADAT TAWANG PANYAI
Kalimantan Barat 
Kab. Sekadau 
Masyarakat adat yang sekarang mendiami Kampung Tapang Sambas – Tapang Kemayau menyebut dirinya Masyarakat Adat Suku Dayak De’sa, yang secara kuantitas cukup besar di Desa Tapang Semadak. Jumlah penduduk adalah 200 Kepala Keluarga, 709 Jiwa terdiri dari 379 Laki-laki dan 330 Perempuan. Mata pencaharian utama mereka adalah berladang (be-uma) lahan kering, bersawah (uma payak) dan menyadap getah karet. Sebagai Masyarakat Adat, khususnya Dayak, Masyarakat Adat di Kampung Tapang Sambas – Tapang Kemayau memiliki kelembagaan dan aturan adat secara turun-temurun. Kampung Tapang Sambas – Tapang Kemayau secara Pemerintahan Adat berada di bawah Ketemenggungan Tapang Semadak. Dengan struktur kelembagaan adat adalah Temenggung sebagai Pemangku Adat Tertinggi, kemudian Menteri Adat yang dibantu Sekutu Adat sebagai Pengurus Adat tiap-tiap kampung. Jabatan pengurus adat memiliki tugas dan kewenangannya masing-masing. Uniknya, Pemerintahan Ketemenggungan ini menguasai 3 sub suku, yakni Dayak De’sa, Dayak Ketungau dan Melayu. Hutan Adat Penetapan Hak
688 23-07-2018 HUTAN ADAT BELUKAR PANJANG
Jambi 
Kab. Bungo 
Hutan Adat Penetapan Hak
689 23-07-2018 Hutan Adat Hemaq Beniung
Kalimantan Timur 
Kab. Kutai Barat 
Hemaq Beniung berasal dari Bahasa Dayak Tunjung, Hemaq yang berarti rimba atau hutan yang masih asli dan Beniung yang berarti pohon nibung, jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia Hemaq Beniung adalah Hutan yang masih asli dan banyak ditumbuhi Pohon Nibung. Hutan Adat yang luasnya 48,85 hektar ini terletak di batas Juaq Asa dan Kampung Pepas Asa, dan sekitar 300 meter dari Jembatan Juaq – Pepas menuju Kampung Linggang Amer tepat di tepi jalan baru Belintut – Mencelew. Hutan Adat Penetapan Hak
690 23-07-2018 HUTAN ADAT BUKIT BUJANG
Jambi 
Kab. Bungo 
Secara administratif desa Senamat Ulu berada di kecamatan Bathin III Ulu, Kabupaten Bungo, Propinsi Jambi. jumlah penduduk desa Senamat Ulu adalah 667 jiwa terdiri dari laki-laki 334 jiwa, perempuan 333 jiwa dan 175 KK diantaranya 17 KK janda/duda. Mata pencaharian utama masyarakat adalah petani dengan komoditi utama karet dan padi sawah Hutan Adat Penetapan Hak
Displaying : 681 - 690 of 719 entries, Rows/page: