Masyarakat adat Uru merupakan suatu komunitas yang hidup dan bermukim di lereng Buntu Tonggo yang masih rangkaian dari pegunungan lantimojong. Secara administratif, masyarakat adat uru berada di Kecamatan Buntu Batu, Kabupaten Enrekang. Masyarakat Adat Uru dibentuk diatas ruang kehidupan yang dibangun berdasarkan nilai-nilai keyakinan atas sang pencipta dan pesan para leluhur. Secara turun temurun menjadi suatu tradisi, mewarnai pola hidup, menjadi identitas dan jati diri.
Secara Genealogis, leluhur pertama atau istilah Tojolo Masyarakat Adat Uru disebut To Uru/Masan. Masan bermukim dikawasan Babangan Lompona Tana Duri atau gerbang utama tanah duri yang mencakup wilayah Angge Buntu, Eran Batu dan Ledan. Disebut gerbang utama karena pada jaman dulu wilayah tersebut menjadi poros utama lalulintas perjalan Orang-orang yang hendak memasuki wilayah Tanah Duri, Tana Toraja dan yang akan bepergian ke Luwu.
Tidak banyak kisah yang terdengar seperti apa dan bagaimana kehidupan Masan kala itu, dari mana asalnya dan siapa istrinya meskipun Masan kemudian memiliki cucu yang bernama Sambira. Tidak didapatkan sumber yang mengetahui atau pernah mendengar siapa nama orang tua Sambira yang merupakan saudara dari orang tua Ne’ Karena’ yang bermukim di Eran Batu. Setelah Sambira, maka generasi berikutnya adalah Lando Kundai yang kemudian melahirkan tiga orang anak. Anak pertama bernama To Pasamban yang mendiami Wilayah Angge Buntu, anak kedua bernama Paboco’ yang memilih pergi dan menetap di Wilayah Bungin dan anak ketiga bernama Paidinan yang kemudian bermukim di Uru. Tokoh Paidinan inilah yang kemudian membangun peradaban di Uru dan keturunanya kelak sebagian menjadi Tomatua Pejujung Bunga lan Pahakampongan.
Hutan Adat
Penetapan Hak
292
14-08-2019
Komunitas Adat Tondon Sulawesi Selatan Kab. Enrekang
Asal usul tondon bahwa beberapa orang disuruh oleh penguasa enrekang naik ke tondon, mereka dibekali uang Mesa’ balasse (Modal), pertama mereka tinggal disuatu tempat namanya dulung kemudian pindah ke buttu Tedong, kemudian pindah ke donga-donga kemudian pindah lagi ke sirattean, terus pindah lagi ke suatu tempat namanya bamba disitulah mulai banyak danmereka sudah berpenghasilan bercocok tanam, beternak dls. Mereka sudah bisa dikatakan suatu masyarakat yang berskala kampung disana terdapat suatu tempat yang tinggi dan rata dan cukup luas, jalan untuk naikhanya ada 2 yaitu (dua tangga/enda) dan yang bisa naik adalah orang yang bersih (mapaccing atena) tempat itulah dinamakan buntu batu yang disebut dengan Tondon setelah mereka mampu membentuk struktur kepemimpinannya/kelembagaannya adatnya maka terbentuk pulalah suatu komunitas yaitu Komunitas Masyarakat Adat Tondon.
Struktur lembaga adat Komunitas Tondon terdiri dari :
Tomakaka
Ada’ (Tomatua)
Kapala yaitu Bagian Pemerintahan
Paso’
Tomassituru
Wilayah adat Tondon ini berada di dataran tinggi sulawesi selatan dan kaya akan sumber daya alam, seperti kopi, cengkeh, merica, durian. Jarak dari ibu kota kabupaten kurang lebih
Hutan Adat
Usulan
293
26-09-2017
To'jambu Sulawesi Selatan Kota Palopo
To'jambu merupakan nama komunitas TORA yang berada di Desa Batang Barat Kecamatan Wara Barat Kabupaten Palopo Provinsi Sulawesi Selatan dengan karekteristik bentang alam berupa pegunungan. Desa Batang Barat mengajukan TORA agar masyarakat Desa Batang Barat dapat memanfaatkan lahan negara untuk dapat dikelola oleh masyrakat sendiri sesuai dengan kebutuhan masyrakat. Pengelolaan TORA sendiri dilakukan oleh 54 orang penggarap atau pengelola.
Tanah Objek Reforma Agraria
Usulan
294
26-09-2017
Uraso Sulawesi Selatan Kab. Luwu Utara
Uraso merupakan nama desa yang terletak di kecamatan Mappedeceng Kabupaten Luwu Utara Provinsi Sulawesi Selata dengan karekteristik bentang alam berupa daratan dan pegunungan. Desa Uraso mengajukan TORA agar masyarakat Desa Uraso dapat memanfaatkan lahan negara yang sebelumnya dikelola oleh PT Perkebunan Nusantara XIV untuk dapat dikelola oleh masyrakat sendiri sesuai dengan kebutuhan masyrakat. Pengelolaan TORA sendiri dilakukan oleh 235 orang penggarap atau pengelola.
Tanah Objek Reforma Agraria
Usulan
295
10-09-2017
Hutan Kemasyarakatan Panette Sulawesi Selatan Kab. Enrekang
Perhutanan Sosial Hutan Kemasyarakatan
Review Dokumen
296
10-09-2017
Hutan Kemasyarakatan Langga Tallu Sulawesi Selatan Kab. Enrekang
Perhutanan Sosial Hutan Kemasyarakatan
Usulan
297
10-09-2017
Hutan Desa Malino Sulawesi Selatan Kab. Enrekang
Perhutanan Sosial Hutan Desa
Usulan
298
10-09-2017
Hutan Kemasyarakatan Cakke Sulawesi Selatan Kab. Enrekang
Perhutanan Sosial Hutan Kemasyarakatan
Usulan
299
02-08-2017
Hutan Adat Ammatoa Kajang Sulawesi Selatan Kab. Bulukumba
Masyarakat Adat Ammatoa Kajang merupakan salah satu Komunitas Adat yang tinggal di wilayah adatnya secara turun temurun, tepatnya di Kecamatan Kajang, Kab. Bulukumba. Daerah itu dianggap sebagai tanah warisan leluhur yang harus dijaga dan mereka menyebutnya ‘Tana Toa’ atau Kampung Tua. Luas wilayah adat Ammatoa Kajang 22.592,87 Ha dengan kondisi perbukitan. Sebelah Timur berbatasan dengan Teluk Bone, sebelah Utara dengan Kabupaten Sinjai dan sebelah Selatan dengan Desa Jojjolo, Desa Bonto Mangiring Kecamatan Bulukumpa.
Masyarakatnya lebih dikenal dengan nama masyarakat adat Ammatoa Kajang. Ammatoa adalah sebutan bagi peimimpin adat mereka yang diperoleh secara turun temurun. ‘Amma’ artinya Bapak, sedangkan ‘Toa’ berarti yang di Tuakan.
Masyarakat adat Ammatoa Kajang dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu ‘Rilalang Embayya’ (Tanah Kamase-masea) lebih dikenal dengan nama Kajang Dalam yang dikenal sebagai Kawasan Adat Ammatoa dan ‘Ipantarang Embayya’ (Tanah Kausayya) atau lebih dikenal dengan nama Kajang Luar. Meskipun terbagi menjadi dua wilayah, tidak ada perbedaan mendasar diantara keduanya. Sejak dulu hingga sekarang, mereka selalu berpegang teguh pada ajaran leluhur. Berdasarkan ajaran leluhur, masyarakat adat Ammatoa Kajang harus selalu menjaga keseimbangan hidup dengan alam dan para leluhur.
Sejarah asal-usul masyarakat adat Ammatoa Kajang dan wilayahnya tergambar dalam mitologi asal mula kemunculan To Manurung ri Kajang sebagai Tau Mariolo, manusia pertama di Kajang yang menjadi Ammatoa pertama, pemimpin (adat) pertama masyarakat adat Kajang. Terdapat banyak versi dari mitologi tersebut baik yang dikisahkan oleh Ammatoa dan pengurus adat, tokoh-tokoh masyarakat.
Wilayah masyarakat adat Ammatoa Kajang berawal dari gundukan tanah yang menyembul diantara air, dikenal sebagai tombolo. Tanah tersebut kemudian melebar seiring perkembangan waktu dan perkembangan manusia yang menghuninya. Masyarakat Adat Ammatoa Kajang mempercayai bahwa Ammatoa pertama menunggangi Koajang atau Akkoajang (burung Rajawali) di possi tanayya, tempat pertama menetap.
Dari istrinya yang disebut dengan Ando atau Anrongta, Ammatoa pertama memiliki lima anak, empat perempuan dan satu laki-laki, yaitu Dalanjo ri Balagana, Dangempa ri Tuli, Damangung Salam ri Balambina, Dakodo ri Sobbu dan Tamutung ri Sobbu. Diceritakan pula bahwa lima anak tersebut dikenal sebagai lima Gallarang, yaitu Galla’Pantama, Galla’ Anjuru, Galla’ Kajang, Galla’ Puto dan Galla Lombok. Masing-masing anak memerintah di satu wilayah di Kajang. Setelah memiliki lima keturunan, To Manurung dipercaya sesungguhnya masih hidup, tetapi menghilang (assajang) yang secara kasat mata tidak dapat dilihat lagi, allinrung, hanya dapat dilihat dengan “mata bathinâ€. (Adhan 2015)
Nama kajang memiliki kaitan erat dengan burung koajang, akkoajang, dan assajang itu. Dikisahkan pula bahwa asal-usul Ammatoa berkaitan dengan kisah Datu Manila, putri kerajaan Luwu yang menikah denganGalla’ Puto. Maskawin (sunrang) pernikahannya berupa tanah di daerah Gallarang Puto’, bagian pesisir timur possi’ tana (pusat bumi) Kajang. Mereka mempunyai anakyang disebut Tau Kentarang, orang yang bercahaya ibarat bulan purnama. Dari Tau Kentarang inilah lahir Ammatoa, diantaranya ialah Bohe Ta’bo, Puto’ Sampo ri Pangi, Puto’ Palli ri Tambolo, Soba ri Tambolo, Puto’ Sembang, Puto’ Cacong, danPuto’ Nyonya. (Adhan 2005)
Kisah kemunculan Ammatoa juga diungkapkan dalam kisah putri Batara Daeng ri Langi yang muncul dari seruas bambu (pettung). Putri tersebut kemudian menikah dengan Tamparang Daeng Maloang atau Tau Ala Lembang Lohe yang telah beristriPu’binanga yang mandul. Dari isteri kedua lahirlah Tau Kale Bojo,Tau Sapa Lilana, Tau Tentaya Matanna, dan Tau Kadatili Simbolenna. Anak kedua, Tau Sapa Lilana,merupakan pemula dalam silsilah karaeng Kajang atau Karaeng Ilau di Possi Tana yang mewarisi kemampuan menyampaikan pesan-pesan dari leluhur mereka yang disebut Pasang ri Kajang. Anak keempat,Tau Kadatili Simbolenna, dipercaya setelah menghilang bersama ibunya, kemudian turun di Tukku Bassi-Gowa. Di sana dia dinobatkan menjadi raja oleh Bate Salapang (sembilan wilayah kekuasaan) dibawah pimpinan Paccalaya.
Sejak dahulu kala masyarakat adat Ammatoa Kajang hidup dalam kelompok-kelompok yang menyebar di berbagai tempat. Sejarah wilayah adat Kajang dibuktikan dengan adanya warga masyarakat yang berpakaian hitam yang menyebar dalam“Sulapa Appaâ€, segi empat batas wilayah adat. Batas batas tersebut melintasi Batu nilamung, Batu Kincing, Tana Illi, Tukasi, Batu Lapisi, Bukia, Pallangisang, Tanuntung, Pulau Sembilan, Laha Laha, Tallu Limpoa dan Rarang Ejayya (data Tim terpadu penyusun Ranperda Pengakuan Masyarakat adat Ammatoa Kajang)
Struktur kelembagaan adat Ammatoa Kajang disebut dengan “Pangngadakkang†(struktur adat). Dalam struktur kelembagaan adat, mengenai peran dan fungsi lembaga adat bersumber dari Pasang Ri Kajang. Dalam susunan kelembagaan Adat Ammatoa Kajang, Ammatoa ditempatkan sebagai puncak pimpinan dalam adat dan pemerintahan, yang dibawahnya ada yang disebut Anrong yang terdiri dari dua pejabat, yakni Anrong ta ri Pangi dan Anrong ta ri Bongkina.
Kelembagaan adat masyarakat Ammatoa Kajang memiliki struktur cukup besar. kelembagaan adat Ammatoa Kajang terdiri dari:
1. Ammatoa
2. Anrongta Baku’ Toayya (Anrongta Ri Pangi) dan Anrongta Baku’ Loloa (Anrongta Ri Bongkina)
3. Ada’ Lima ri Tana Kekea : (Galla Pantama, Galla Lombo’, Galla Malleleng, Galla Kajang, Galla Puto)
4. Ada’ Lima ri Tanah Lohea : (Galla Ganta’, Galla Sangkala, Galla Sapa, Galla Bantalang, Galla Anjuru’, Tu Toa Sangkala)
5. Karaeng Tallua : (Labbiria, Sullehatang, Anak Karaeng)
6. Tutoa : (Tutoa Sangkala, Tutoa Ganta)
7. Ada’ Bali Butta : (Galla Jo’jjolo’, Galla Pattongko’)
8. Kali Kajang
9. Kadaha’
10. Lompo Karaeng
11. Lompo Ada’ : (Sandro Kajang, Androng Guru)