Asal-Usul
Sejarah Wewengkon Adat Kasepuhan Cibedug
Wewengkon Adat Kasepuhan Cibedug mulai dibuka pada tahun 1942, wewengkon (wilayah) tersebut merupakan kampung yang telah dibuka lebih dahulu oleh orang Citorek. Antara warga Citorek dan Cibedug telah memahami proses tersebut, karena masing-masing menjaga amanat yang disampaikan oleh sesepuh mereka. Mereka yang pertama masuk ke Wewengkon Adat Cibedug tersebut diantaranya Aki Winata yang akrab dipanggil Aki Ulin, Aki Mursadam dan Aki Aspan.
Warga Cibedug sendiri telah mengalami beberapa kali perpindahan kampung, sesuai dengan tugas dan amanat leluhur mereka juga. Yakni menjaga “Ngajaga Turunan Anu Kidul (Incu Putu Masyarakat Adat Kasepuhan-kasepuhan yang ada diwilayah Banten Kidul. Nama-nama tempat yang menjadi kampung mereka sebelum ke Cibeddug, meliputi Sajra, Lebak Menteng, Cidikit, Sinagar, Bojong Neros, Sangiyang dan akhirnya sampai ke Cibedug. Ada juga pemaparan perpindahan itu meliputi Cidikit, Cinangga, serdang, Sinagar, Muara Tilu, Dangong, Lebak Sanghiang dan sampai Cibedug.
Begitu juga pemaparan berdasarkan wilayah administrasi desa (ngaitkeun pamarentahan) ke Desa Citorek, dari mulai Pemerintahan Desa Citorek berdiri yakni telah mengalami 9 kali pergantian Jaro (Kepala Desa). Sehingga baris kolot yang ada di Cibedug bisa menguraikan satu persatu Jaro yang pernah memimpin, dari mulai Jaro Saonah, NahariJaili, Markin, Sukarta, Usman, Nurkib, Sumedi dan sampai sekarang yang dipimpin oleh Jaro Subandi.
Wewengkon Cibedug sendiri mempunyai batas-batas yang jelas, dengan ditandai adanya patok alam atau lebih akrab warga Kasepuhan Cibedug menyebutnya sebagai Tugu Lebak Cimuda yang bebrbatasan dengan desa Cikate, disebelah utara Tugu Prawilu yang berbatasan dengan desa kanekes, disebelah selatan batu pasir ipis, sedangkan disebelah timur Pasir Manggu dan Gunung Batu berbatasan dengan Wewengkon Adat Kasepuhan Citorek.
Pada tahun 2000 jabatan kasepuhan di berikan kepada Olot asbaji sampai tahun 2019 masih di peggang oleh Olot Asbaji.sampai sekarang aturan adat dan hukum adat masih dijaga dan dilestarikan sampai anak /icu putunya.
HUKUM DAN ATURAN ADAT YANG MASIH DI PERTAHANKAN :
• RITUAL GARAPAN
1. Asup Leweng/ Masuk Hutan
2. Garapan sawaah dan ladang
3. Beberes sebar / pembibitan
4. Ngubaran pare
5. Mapag pare bekah
6. Mipit pare/ memanen padi
7. Beberes mocong/ mengikat padi
8. Ngadiuken pare ka leit/ Menetapkan padi ke dalam lumbung
9. Seren tahun/ hajatan tahunan
• LARANGAN
Melakukan kegiatan yang mengakibatkan masyarakat jadi resah seperti judi ,mabuk mabukan bertindak kekerasan pisik menghina sesama masyarakat adat mencuri membunuh tidak diperbolehkan oleh hukum adat kp Lebak cibedug
• RITUAL MENJELANG BULAN MULUD
Hari pertama mulud Upacara adat yebor setelah itu ada ketentuan ,empat pantang hari ,yaitu hari selasa selama bulan Mulud, melaksakan kegiatan mengambil tanaman memetik jenis tanaman apapun, dan tidak boleh menggarap sawah
• LARANGAN HARI DAN TANGGAL
1. Seperti hari Minggu tidak b0leh melakukan kegiatan mencangkul membajak sawah
2. Hari jum,at dilarang menanam padi dan jenis yang lain nya.
3. Pada tanggal hari ke 15 dan 30
• BUDAYA YANG MASIH DI PELIHARA
1. Peninggalan sejarah Situs punden berundak Secara turu temurun wajib memelihara cagar budaya
2. Kesenian khas masyarakat adat Seperti angklung ,umrug, topeng,suling,krining rengkong, kecapi
3. Memelihara leweng kolot, Leweng titipan ,Leweng tutupan /Tanah adat wewengkon lebak Cibedug
Hutan Adat
Verifikasi Lapangan
22
16-08-2020
Hutan Adat Kasepuhan Pasir Eurih Banten Kab. Lebak
Hutan Adat
Penetapan Hak
23
16-08-2020
Wewengkon Kasepuhan Cisitu Banten Kab. Lebak
Hutan Adat
Penetapan Hak
24
13-08-2020
Kasepuhan Sindang Agung Banten Kab. Lebak
Hutan Adat
25
13-08-2020
Wewengkon Adat Cibedug Banten Kab. Lebak
Hutan Adat
26
03-08-2017
Hutan Adat Kasepuhan Karang Banten Kab. Lebak
Letak Kasepuhan Karang dapat dibilang
agak jauh, sekitar 35 km dari pusat pemerintahan
Kabupaten Lebak di Rangkasbitung
dengan kondisi jalan beraspal dan sebagian
berbatu. Di Kasepuhan Karang terdapat beberapa
sungai yang memiliki peran penting penunjang
kehidupan masyarakat untuk kegiatan
1
Hasil Pemetaan Partisipatif (2014), luas Desa
Jagaraksa mencapai 1081,286 ha
bersawah, kolam dan digunakan untuk kepentingan
sehari-hari seperti mandi, cuci dan
kakus.
Sungai-sungai tersebut adalah Sungai Cikamarung,
Cimapag, Cipondok Aki, Cibedug,
Cilunglum, Cikadu dan Cibaro. Jenis ikan, yang
ditemukan di sungai-sungai di kasepuhan ini
adalah lele, beunteur, regis, udang, sarompet,
kehkel, bogo dan manyeng.
Umumnya lahan pemukiman (lembur)
dan sebagian lahan pertanian sudah memiliki
bukti tertulis yang tertera dalam buku letter C
yaitu Buku pendaftaran tanah sebagai dasar
dari penerbitan Girik yang kemudian diganti
menjadi Surat Pemberitahuan Pajak Terutang
(SPPT). Sebagian lahan pertanian masyarakat
Kasepuhan Karang atau lahan cawisan ada yang
masuk dalam klaim Taman Nasional Gunung
Halimun-Salak (TNGHS). Masyarakat umumnya
menyebut lahan tersebut dengan lahan
garapan (anu digarap ku masyarakat).
Hasil pemetaan partisipatif yang difasilitasi
RMI (2014) menegaskan bahwa dari luas
Kasepuhan Karang yang mencapai 388,572
ha, hampir 50% wilayah Kasepuhan Karang
diklaim sebagai kawasan TNGHS, yakni mencapai
167,625 ha.
Dalam sistem tata guna lahan masyarakat
Kasepuhan Karang masih mengakui areal
kawasan yang harus dilindungi secara komunal.
Masyarakat Kasepuhan Karang menyebut wilayah
tersebut dengan istilah Aub Lembur. Aub
Lembur adalah kawasan yang dijadikan sebagai
sumber mata air dan dianggap keramat bagi
masyarakat kasepuhan, termasuk dijadikan
sebagai tanah makam. Pada kawasan ini masyarakat
dilarang melakukan aktifitas seperti
menebang pohon atau memanfatkan hasil
hutan berupa kayu.
Kawasan lainnya yang dianggap sakral
adalah leuweung kolot/Paniisan (secara harfiah
berarti tempat istirahat). Paniisan memiliki
fungsi sebagai tempat istirahat, baik yang
dimaksud sebagai tempat kasepuhan beristirahat
maupun dalam kerangka mengistirahatkan
dari kerusakan-kerusakan lingkungan,
karena kawasan ini merupakan sumber air
bagi warga Kampung Karang.
Seperti yang tertuang dalam filosofinya
“Salamet ku Peso, bersih ku Cai“—Pisau memberikan
kehidupan dan Air memberikan kebersihan
diri. Dengan kata lain filosofi tersebut
memiliki makna warga Karang selalu
diingatkan untuk berada dalam kondisi dan
situasi yang tepat, sesuai, tajam, selaras dan
sederhana dalam setiap keadaan apa pun.
Namun jikalau terjadi kesalahan bersegeralah
untuk membersihkan diri dan kembali kepada
kesesuaian, ketajaman dan kesederhanaan hidup,
termasuk dalam konteks mengelola dan
memanfaatkan kekayaan alam.
Masyarakat Adat Kasepuhan Karang meyakini
bahwa dalam pengelolaan alam, masyarakat
harus menitikberatkan pada keseimbangan.
Artinya, apa yang diambil, harus
berbanding lurus dengan apa yang diberikan
terhadap alam. Secara umum, bentuk-bentuk
pengelolaan sumberdaya alam di Kasepuhan
Karang terbagi menjadi tiga hal, yaitu: hutan,
kebun dan sawah.
Dalam konteks kebijakan daerah Kabupaten
Lebak, pengakuan masyarakat hukum
adat dijamin melalui beberapa peraturanperaturan
daerah, seperti tentang Masyarakat
Baduy yang tertuang dalam Perda No. 13 tahun
1990 tentang Pembinaan dan Pengem-bangan
Lembaga Adat Masyarakat Baduy di Kabupaten
Daerah Tingkat II Lebak. Lalu ada Perda No.
32 tahun 2001 tentang Perlindungan Atas Hak
ULayat Masyarakat Baduy.
Tidak hanya dalam bentuk Perda, Pemerintah
Kabupaten Lebak juga mengeluarkan
kebijakan dalam bentuk SK Bupati Lebak
tentang perlindungan masyarakat adat kasepuhan
di Kabupaten Lebak, yaitu lewat SK
Bupati Lebak No. 430/Kep.318/Disporabudpar/2010
tentang Pengakuan Keberadaan
Masyarakat Adat Cisitu Kesatuan Sesepuh
Adat Cisitu Banten Kidul di Kabupaten Lebak,
yang kemudian disempurnakan dengan lahirnya
SK Bupati Lebak No. 430/Kep.298/
Disdikbud/2013 tentang Pengakuan Keberadaan
Masyarakat Adat di Wilayah Kesatuan
Adat Banten Kidul di Kabupaten Lebak yang
meliputi 17 Kase-puhan di dalamnya.
Ke-17 kasepuhan tersebut adalah Cisungsang,
Cisitu, Cicarucub, Ciherang, Citorek,
Bayah, Karang, Guragog, Pasireurih, Garung,
Karangcombong, Jamrut, Cibedug, Sindangagung,
Cibadak, Lebaklarang dan Babakanrabig.
Kelompok tersebut merupakan komunitas
yang memiliki hubungan erat dengan
sumberdaya hutan serta memiliki aturan yang
telah dijalankan secara turun temurun.