DATA KONFLIK

No

Tahun

Judul

Klip

Konflik

Sektor

 

41 2019 Konflik Masyarakat Talun Sinuhil dengan PT. SPR keturunan / keluarga komunitas Marga Sirait,membuat peta sebagai alat untuk membuktikan kepemilikan lahan / tanah yang berada didalam wilayah HGU perusahaan PT. Bakrie Sumatra Plantation ( BSP ) dan HGU Perusahaan PT. Sari Persada Raya ( PT. SPR ), dalam hal ini perusahaan telah melakukan klaim sepihak dan atau melakukan peyerobotan pada lahan yang dimiiki oleh komunitas marga Sirait. Pada Lahan yang sedang berkonflik tersebut, terdapat batas alam yang menjadi titik orientasi dalam menentukan kawasan atau lahan yang menjadi wilayah kelolanya dan batas alam tersebut telah i diketahui dan disepakat bersama oleh Komunitas marga yang lahannya berbatsan dengan marga Sirait. Dan hal tersebut sudah terjadi dan disepakati sejak jaman Belanda. Batas Alam yang menjadi titik ikat / orientasi pada lahan / tanah yang menjadi wilayah kelola Marga Sirait Adalah: 1. Sungai ( Sisi Utara: Aek Roka, Sisi Selatan : Aek Natio ) 2. Perkampungan Lama ( Sisi Timur : Talun Joring, Sisi Barat : Huta Gereja, Sapilpil Bolon ) 3. Makam Leluhur, berada ditengah lahan yang berkonflik
Perkebunan Kelapa Sawit
Perkebunan
42 2015 Konflik Kehutanan PT Kalista Alam di Rawa Tripa Masyarakat merasa dirugikan atas pengalih fungsian hutan lindung menjadi lahan perkebunan sawit oleh PT Kalista Alam yg membuat masyarakat kesulitan air bersih, kehilangan mata pencarian, dan terancam bencana alam.Tidak sampai disitu, hewan - hewan dilindungi yang selama ini menghuni hutan kawasan lindung itu, seperti orangutan, beruang, dan harimau, kerap masuk ke permukiman yg membuat resah warga
Perkebunan Kelapa Sawit
Perkebunan
43 2005 Konflik PT Sinar Kaloy Perkasa Indo (PTSKPI) di Aceh Tamiang Pada tahun 2005, tanah seluas 60 ha yg berada di wilayah Kawasan Konservasi Gunung Titi Akar dijadikan proyek pengembangan tanaman karet rakyat sebagai penyangga oleh Kantor Perkebunan Aceh Taming dengan dana yg bersumber dari APBD tahun 2005. Namun daerah ini, tahun 2007 sudah diperjualbelikan secara bawah tangan, kepada pihak PT Sinar Kaloy Perkasa Indo, seluas 195 Ha. Namun Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Aceh Tamiang tidak mengambil tindakan (membiarkan). Pada tanggal 31 Oktober 2008, Dishutbun Aceh Tamiang mengeluarkan Rekomendasi Penambahan Lahan di Kawasan Konservasi Gunung Titi Akar, dengan surat nomor 522/2350/2008 dan SK BUPATI 1 Juni 2008 menerbitkan Rekomendasi Ijin Usaha Perkebunan Nomor 522/9187/2008 berikut mengesahkan peta lokasi, PT SKPI juga meminta rekomendasi ijin penambahan 200 hektar lahan yg berada di kawasan Konservasi Gunung Titi Akar tersebut. Sengketa warga Desa Wonosari dan PT. Sinar Kaloy Perkasa Indo (Perusahaan HGU) terjadi sejak tahun 2008 sampai Oktober 2011, tidak ada penyelesaian konkrit oleh Pemda Aceh Tamiang, dalam hal ini Bupati, Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan serta DPRK Aceh Tamiang dan telah menimbulkan keresahan di tengah-tengah masyarakat Masih Nanok, padahal PT. Sinar Kaloy Perkasa Indo telah memiliki HGU seluas 500 Ha (sebelumnya) SK HGU No. 24-HGU-BPN-RI-2007 tanggal 29 Mei 2007 tidak bermasalah dengan masyarakat pada september 2010, keluar Keputusan Gubernur
Perkebunan Karet
Perkebunan
44 2010 PT. Bumi Flora Menyerobot Lahan Warga di Empat Kecamatan PT. Bumi Flora melakukan penyerobotan lahan warga Masyarakat di empat kecamatan yaitu Banda Alam, Peudawa, Idig Tunong, Darul Ikhsan, dan Idi Timur, sejak tahun 1990, dengan luas lahan kurang lebih 3.400 ha, Sengketa lahan ini mucul ketika Pemerintah Kabupaten Aceh Timur mengeluarkan izin terhadap 3.000 hektar lahan yang dipersengketakan antara warga dengan HGU PT Bumi Flora.
Perkebunan Kelapa Sawit
Perkebunan
45 1985 Konflik Perkebunan PT Karya Tanah Subur dengan 4 Kampung di Kecamatan Bubon, PT KTS sudah mengambil tanah warga Kecamatan Bubon Kabupaten Aceh Barat lebih dari 5.000 hektare. Penyerobotan itu terjadi di empat gampong (desa) di Kecamatan Bubon semenjak tahun 1985. Anak perusahaan PT Astra Agro, PT Karya Tanah Subur (KTS), warga setempat sudah mulai mengarap tanah berada di sekeliling mereka yang luasnya hampir setengah hektar per kepala keluarga meskipun dinyatakan milik perusahaan. Padahal awalnya itu adalah tanah warisan keluarga yang dipenuhi tanaman karet. warga yang memiliki tanah milik keluarga itu pun belum memiliki sertifikat bidang tanah namun hanya berpatok pada batas alam batang durian besar yang ditanami orang tua mereka. PT KTS awalnya hanya memiliki hak guna usaha seluas 5.327 ha, namun saat ini HGU mereka sudah mencapai 10 ribu hektare lebih. Adapun kawasan yang diklaim warga diserobot perusahaan yakni kampong Cot Lada, Blang Siebeutong, Cot Keumuneng dan Liceuh
Perkebunan Kelapa Sawit
Perkebunan
46 2012 Konflik Warga Kecamatan Kawai XVI dan Pante Cereumen Dengan PT Sari Inti Rakyat Warga meminta pemerintah cabut dan hapus Hak Guna Usaha (HGU) PT. Sari Inti Rakyat (PT.SIR) dan mendesak kepala BPN menetapkan keputusan penetapan tahan HGU PT.SIR terlantar atas usulan kanwil BPN Aceh. Tak hanya itu, massa menginginkan , Kepala BPN perlu mencabut keputusan Nomor: 60/HGU/BPN/2004 tentang pemberian perpanjangan waktu HGU tanggal 15 September 2004. karena dinilai sangat merugikan.
Perkebunan Karet
Perkebunan
47 2014 Konflik Pertanahan antara Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) dengan PT Surya Panen Subur (SPS) di Rawa Tripa KLH membawa PT SPS ke Persidangan dengan sangkaan melakukan pembiaran terhadap api sehingga merusak tanah dan lingkungan sekitar Rawa Tripa ke PN Jaksel dan PN Jaksel menolak gugatan KLH pada 25 September 2014, kemudian mengajukan banding ke PT Jakarta. Juga ditolak, tak lantas putus asa KLH mengajukan kasasi ke MA. namun hasil putusannya sama. Mahkamah Agung, Gugatan Rp439,018 miliar atas kasus kebakaran hutan dan lahan 2012 pada lahan PT Surya Panen Subur (SPS) ditolak Mahkamah Agung (MA) dengan Putusan MA Nomor 2905 K/Pdt/2015 dimana Majelis Hakim Agung memutuskan MA menguatkan putusan PT Jakarta.
Perkebunan Kelapa Sawit
Perkebunan
48 2007 Konflik PT Bina Sari Alam Makmur dengan Masyarakat Adat Setarap Kronologi kasus bermula ketika PT. Bina Sari Alam Makmur mengeluarkan surat permohonan Nomor 17/Bisma-smd/XI/2007 tentang permohonan pencadangan areal dan izin lokasi untuk Perkebunan Kelapa Sawit PT. Bina Sari Alam Makmur. Surat tersebut ditanggapi dengan terbitnya Surat Keputusan Bupati Malinau Nomor 561 tahun 2007 tanggal 19 November 2007 tentang Pemberian Izin Lokasi untuk perkebunan kelapa sawit seluas sekitar 20.000 ha di kabupaten Malinau kepada PT. Bina Sari Alam Makmur. Bersamaan dengan tanggal terbitnya surat tersebut, manajemen PT. Bina Sari Alam Makmur dan Pemerintah Kabupaten Malinau melakukan presentasi rencana pembangunan perkebunan kelapa sawit oleh PT. Bina Sari Alam Makmur. Kemudian rekomendasi dikeluarkan oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Malinau tanggal 12 Februari 2008 dengan tujuan menjelaskan lokasi areal perkebunan dengan status Kawasan Budidaya Non-Kehutanan (KBNK), yang mana hari berikutnya Bupati Malinau mengeluarkan Surat Keputusan yang berisi izin usaha perkebunan kelapa sawit terpadu seluas sekitar 20.000 ha yang pengelolaannya oleh PT. Bina Sari Alam Makmur. Bupati Malinau lalu mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 503/K.262/2008 tanggal 29 Mei 2008 tentang Izin Pembukaan Lahan Untuk Perkebunan Kelapa Sawit seluas sekitar 4.200 ha di Kecamatan Malinau Selatan dan Kecamatan Malinau Barat kepada PT. Bina Sari Alam Makmur.
Perkebunan Kelapa Sawit
Perkebunan
49 2011 Konflik Komunitas Masyarakat Adat Dayak Setarap Malinau Dengan PT Bina Sawit Alam Makmur Komunitas Masyarakat Adat Dayak Setarap Malinau mulai tinggal sejak tahun 1755 dan menggantungkan kehidupan dari sumber daya alam itu kini khawatir dengan kelangsungan hidup mereka dan generasi penerus karena hutan sudah dirusak. ”Kalau beras kami habis dan hutan ikut habis, susah kami akan hidup,” ujar Ketua Adat Setarap . Warga Desa Setarap terdiri dari suku Dayak Lundayeh, Dayak Kenyah, dan Dayak Punan. Hutan adat Setarap seluas 4.200 hektar di Kecamatan Malinau Selatan ini ditebang sejak akhir September 2010. Pemerintah Kabupaten Malinau membiarkan penebangan itu berlangsung meski Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Malinau merekomendasikan agar penebangan dihentikan hingga perusahaan dapat menunjukkan dokumen amdal.
Perkebunan Kelapa Sawit
Perkebunan
50 1984 Masyarakat Kampung Surabaya, Sendang Ayu, dan Padangratu, Kecamatan Padangratu menuntut HGU PT Sahang Bandar Lampung Permasalahan sengketa tanah berawal dari masyarakat Kampung Surabaya, Sendang Ayu, dan Padangratu, Kecamatan Padangratu menuntut HGU PT Sahang Bandar Lampung No.U.I/LT tahun 1984 seluas 238.063 ha yang berakhir pada 31 Desember 2008. Masyarakat ketiga kampung tersebut, merasa tidak pernah menjual tanah kepada PT Sahang Bandar Lampung. Namun, pihak perusahaan menyewakannya kepada orang Jepang melalui APK selama 25 tahun, yakni dari 1970 hingga 1995. Masyarakat juga tidak mengetahui dan tidak dilibatkan dalam proses terbitnya HGU PT Sahang No.U.I/LT tahun 1984 seluas 238.063 ha yang berkhir pada 31 Desember 1984. Namun diawal Desember 2008, PT Sahang telah mengajukan permohonan perpanjangan HGU kepada BPN RI melalui Kakanwil BPN Provinsi Lampung. Namun dari pihak BPN belum memberi keputusan atas perpanjangan HGU tersebut.
Perkebunan Kelapa Sawit
Perkebunan
Displaying : 41 - 50 of 256 entries, Rows/page: