Pemukiman dan Lahan Pertanian Warga Karrang Diambil Paksa Untuk Dijadikan Kebun Raya
Taman Wisata Alam
Hutan Konservasi
22
2017
Wilayah Adat Ngapa Vatutela Masuk dalam kawasan TAHURA
Taman Wisata Alam
Hutan Konservasi
23
1986
Kenegerian Batu Sanggan dengan Kawasan Suaka Margasatwa
Cagar Alam
Hutan Konservasi
24
2017
Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Prov. NTT (Taman Wisa Alam Ruteng) – Kab. Manggarai (Colol)
MA Colol merupakan masyarakat adat yang telah menetap sejak tahun 1800an dan telah mengalami pemekaran desa sebanyak 4 desa akibat dari pertambahan jumlah penduduknya. keempat desa tersebut adalah 1) Kampung Colo (induk), 2) Kampung Biting, 3) Kampung Welu, dan 4) Kampung Tangkul. Namun keberadaan MA Colol tidak diakui oleh oleh pemerintah daerah walaupun sebenarnya secara tertulis MA Colol masuk ke dalam daftar masyarakat adat sesuai dengan MK 35. Akibatnya sering terjadi konflik vertikal antara MA Colol dan pemerintah daerah.
Taman Wisata Alam
Hutan Konservasi
25
2017
Wilayah Adat Ngata Toro sebagian besar masuk Taman NAsional Lore Lindu
Orang Toro merupakan bagian dari rumpun Suku Kulawi. Wilayah adatnya sebagian besar tumpang tindih dengan Taman Nasional Lore Lindu yang ditetapkan sejak tahun 1981.
Taman Nasional
Hutan Konservasi
26
2017
Masyarakat Adat Tobelo Dalam Vs Taman Nasional Aketajawe Lolobata
Sepuluh (10) tahun belakangan, warga Tobelo Dalam Dodaga mulai disingkirkan dari hutan adat mereka. Aktifitas mereka di hutan terus diawasi oleh pihak dari Kehutanan. Kehadiran Polhut ini dirasa sebagai intimidasi agar masyarakat tidak boleh beraktifitas di dalam kawasan hutan yang telah di tetapkan pemerintah sebagai hutan negara. Kasus seperti di dusun Titipa, jarak kurang lebih dari 300 meter dari perkampungan mereka, pemerintah melarang masyarakat beraktifitas di kawasan hutan tersebut. Padahal kehidupan sehari-hari mereka selalu di hutan, mulai dari berburu, memungut hasil hutan kayu dan bukan kayu, dan membuka lahan untuk kegiatan pertanian. Ada upaya sistematis dari negara untuk memutuskan akses masyarakat adat dengan hak mereka.
Taman Nasional
Hutan Konservasi
27
2014
tanah Masyarakat Adat sembahulun dari Masa ke Masa
Taman Nasional Gunung Rinjani yang dahulunya kawasan masyarakat
adat dan seluruh kekayaan yang ada di dalamnya merupakan hak
masyarakat adat. Namun, sampai saat ini masyarakat adat masih
merasa ketakutan memasuki kawasan tersebut, karena adanya
ancaman dari pihak yang ingin menguasai wilayah adat. Masyarakat
Adat Sembahulun pada masa kini, menjadi tidak berani memasuki
kawasan hutan mereka sendiri sebagai akibat dari kebijakan pemerintah
mengenai Hutan Negara, semenjak zaman kolonial. Masyarakat Adat
Sembahulun tidak mengetahui cara untuk mempertahankan tanah yang
diambil oleh oknum pejabat Kehutanan dan Perkebunan di wilayah ini.
Sebagaimana tuturan Ustadz Abdurrahman Sembahulun sebagai
berikut.
“Pada tahun 1941, diadakan klasiran terhadap kawasan atau
wilayah Kemangkuan Tanaq Sembahulun. Antara lain ada yang
dijadikan tanah GG, hutan tutupan, hutan lindung, hutan Suaka
Marga Satwa, dan lahan hak milik.
Ada pun lahan yang dijadikan tanah GG, antara lain; Lendang
Tinggi, Dalam Petung, Urat Kemitan, Kebon, Aur Ketu, Aran Puk
Otak, Mercak, Dendaun, dan Selak Langan. Luas lahan yang
dijadikan tanah GG sekitar 3000 ha. Lahan tutupan dan hutan
lindung, antara lain Gunung Pergasingan, Gunung Anak Dara,
Gunung Bao, Gunung Kukusan, Gawar Kukusan, Urat Suleman,
Belukus Putek, dan Gawar Aik Kalak. Hutan Suaka Marga Satwa
antara lain; Gawar Oloromba, Gawar Sebau, Pondok Mamben,
Peropok, Bujangga, Lompak, Celidan, Pus-pus, Bon Jeruk, Pelar,
Kanji, Ceret Merong, Koan Kalik, Urat Puk Cali, Kasia Bajang,
Manto, Maletan, Urat Baras, Urat Jiring, Tengenegan, dan Pada
Balong.
Sedangkan, lahan yang dijadikan hak milik, antara lain Torek,
Rembuk, Saklendak, Orong Dalem, Tepas, Keterik, Lahamban,
Nongo, Segok, Serut, Sempaga, Monggon, Paok, Rantemas
Dalem Bara Sendong Papek Belunak, Sada, Peraya, Orong
Tojang, Gureja, Lauk Rura, Nangka Beleq, Rembuk, Jororng
Bangket, Talun Kubur Nunggal, Lekok, Telaga, Ara Manis, Urat
Lombok, Nap-Nap, Reban Dendaun, dan Manuk.
Pada tahun 1950, sebagian besar lahan hak milik yang tersebut
di atas dibuatkan pipil. Sekitar tahun 1960, para tokoh adat
membuka kembali sebagian lahan tutupan untuk dikelola oleh
masyarakat adat. Pada tahun 1979, pemerintah mengusir
masyarakat dari lahannya,” tuturnya
Taman Nasional
Cagar Alam
Hutan Konservasi
28
2001
Konflik Kehutanan Taman Wisata Alam Nanggala III di Battang Barat, Palopo, Sulawesi Selatan
Kawasan Hutan Konservasi TWA Nanggala III sebelumnya merupakan Kawasan Hutan Lindung yang ditunjuk berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK).
Taman Nasional
Hutan Konservasi
29
2014
Masyarakat Adat Tobelo Dalam
Kampung Dodaga berada di Kabupaten Halmahera Timur, Kecamatan
Wasile Timur. Menurut warga Dodaga, arti dari nama kampung “Dodaga”
adalah “tongkat”.
Tongkat bisa menjadi lambang dari suatu keputusan bersama. Dalam
hal ini, Dodaga pada waktu dulunya merupakan tempat persinggahan
untuk beristirahat bagi kelompok-kelompok yang menyebar dan
melakukan perjalanan di dalam hutan, selain itu juga sebagai tempat
berkumpul untuk bermusyawarah. Tempat ini akan sepi kembali, ketika
musyawarah sudah selesai.
Taman Nasional
Hutan Konservasi
30
2014
Masyarakat Adat Kasepuhan Citorek VS Taman Nasional Gunung Halimun Salak TNGHS
Masyarakat Kasepuhan Banten Kidul adalah suatu komunitas yang
dalam kesehariannya menjalankan pola perilaku sosio-budaya
tradisional yang mengacu pada karakteristik budaya Sunda pada abad
ke-18 (Asep, 2000). Para leluhur (karuhun) mereka yang membentuk
komunitas Kasepuhan adalah para pemimpin laskar Kerajaan
Padjadjaran yang mundur ke daerah selatan karena kerajaan mereka
berhasil dikuasai oleh Kesultanan Banten pada abad ke-16. Sebagai
urang tradisi, Masyarakat Kasepuhan berbeda dengan Masyarakat
Kanekes. Masyarakat Kanekes mengidentifikasikan diri mereka sebagai
orang Sunda pertama yang menolak keras segala pengaruh luar:
pengaruh Islam, Kolonialisme Belanda, dan Indonesia modern saat ini.
Sebaliknya, Masyarakat Kasepuhan cukup terbuka terhadap dunia luar
sepanjang tidak bertentangan dengan adat yang mereka taati, yaitu tatali
paranti karuhun. Keterbukaan tersebut secara struktur sosial
merupakan respons adaptif dari integritas sistem kekerabatan,
pemerintahan adat, dan ekonomi Kasepuhan,