DATA DETIL
Perampasan Lahan di Soge Indramayu

 JAWA BARAT, KAB. INDRAMAYU

Nomor Kejadian :  007ARC
Waktu Kejadian :  01-01-1970
Konflik :  Eks-Perkebunan
Status Konflik :  Dalam Proses
Sektor :  Perkebunan
Sektor Lain  :  
Luas  :  28.337,00 Ha
Dampak Masyarakat  :  622 Jiwa
Confidentiality  :  Public

KETERLIBATAN

  • Kuwu (Kades) Catim
  • Camat Kandanghaur
  • Kantor Pertanahan Kabupaten Indramayu
  • Pemerintah Kabupaten Indramayu
  • Pokrol Bambu
  • Mulyadi

KONTEN

Desa Soge berada di Kecamatan Kandanghaur, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Sebelum tahun 1983, desa ini adalah bagian dari Desa Ilir. Sebagian besar penduduk di sana adalah kaum tani yang mengusahakan tanah sejak era penjajahan Jepang hingga saat ini. Pada masa pendudukan tentara fasis Jepang, warga desa diinstruksikan untuk membuka lahan. Di bawah pengaturan Kuwu (semacam kepala desa) Wali, warga lantas membuka dan mengelola lahan serta berproduksi. Hasilnya diserahkan kepada aparatur tentara Jepang untuk memenuhi kebutuhan logistik perang.

Jumlah penduduk yang bertambah ketika itu berakibat pada perluasan pembukaan lahan pertanian. Ketika tentara Jepang angkat kaki, lahan tetap dikelola warga dan masih di bawah pengaturan kuwu, setiap hasil panennya menjadi sumber ekonomi warga dan keluarganya.

Memasuki masa awal kemerdekaan, warga tetap mengelola lahan yang telah dibuka dan juga masih melakukan pembukaan area hutan menjadi tanah pertanian. Namun, berbeda dengan masa pendudukan Jepang, pasca kemerdekaan warga diwajibkan membayar pajak ke desa. Aktivitas itu masih di bawah pengaturan Kuwu Wali. Pada masa itu juga, Kuwu mendukung warga untuk membuka dan mengelola lahan. Namun, setelah lahan sudah cukup produktif dan memiliki nilai jual, tanah tersebut ditawarkan kepada warga desa lain oleh kuwu.

Memasuki dekade 1950-an, warga masih membuka berblok-blok tanah dari hutan baru dan menjadikannya lahan pertanian secara berkelompok. Warga mengelolanya hingga 1-4 kali musim panen. Namun, warga diwajibkan menyetor upeti atau hasil panen 50 kg beras kepada Kuwu Catim, pengganti Kuwu Wali. Kuwu Catim, sebagai aparat pemerintah di tingkat lokal, kerap jadi penghubung proses jual beli tanah dengan tuan tanah lokal dan pemilik modal.

Memasuki dekade 1960-an, ada angin segar bagi kaum tani. Tahun 1960, pemerintah menerbitkan Undang-Undang Pokok Agraria beserta seperangkat infrastrukturnya untuk menopang program Land Reform. Di banyak wilayah di Indonesia, program Land Reform telah mengusik kehidupan sebagian orang, terutama kelas sosial tuan tanah dan elit-elit desa, yang tanah-tanahnya menjadi objek program ini.

Warga semakin semangat menggarap lahan karena di antara mereka sendiri ada yang ditetapkan menjadi panitia Land Reform tingkat desa hingga tingkat kabupaten. Namun, kecenderungan konsentrasi lahan pun sudah terjadi dan penguasaan tanah oleh warga lain yang tidak tinggal di sekitar tanah (absentee) tersebut pun mulai ada, akibat proses-proses panjang dan cukup masif yang dilakukan Kuwu Catim. Tahun 1964, berdasarkan SK Kepala Inspeksi Agraria (SK KINAG) Provinsi Jawa Barat No. LR. 323/D/VIII/65/1966, blok-blok lahan yang dibuka warga ditetapkan menjadi objek program Land Reform. Warga dan petani Soge yang sudah mengelola lahan lebih dari dua puluh tahun, bisa menjadi penerima objek program ini, asalkan mereka memenuhi kewajiban yang disyaratkan panitia pelaksana. Sejumlah bidang tanah yang sebelumnya berstatus tanah negara (government ground), dibagikan ke masing-masing subjek penerima seluas ½ bau, setara dengan 3.500 m2.

Tanah-tanah tersebut kemudian diredistribusikan kepada warga setempat, terutama warga yang tidak mempunyai tanah. Walaupun pada waktu itu masyarakat Ilir ini banyak menggarap sawah, tapi tidak punya hak milik dan posisinya hanya sebagai penggarap atau penyewa, baik sewa dari desa atau dari tuan tanah. Baru pada tahun 1962 setelah diberlakukannya UUPA 1960 masyarakat desa Ilir mendapat kejelasan mengenai status kepemilikan tanah dan mendapatkan kepastian menjadi subjek penerima dalam program Land Reform. Terutama setelah warga setempat mendapat Surat Prioritas, istilah selain SK KINAG 1966 terbit.

Kuwu Catim dan Camat Kandanghaur berusaha menghentikan kegiatan pertanian warga dengan cara meminta secara paksa Surat Prioritas yang dimiliki warga. Kuwu berjanji akan mengembalikan surat tersebut dengan bukti kepemilikan yang baru (surat cap Singa35 atau sertifikat hak milik). Tindakan Kuwu tersebut dilaporkan panitia Land Reform kepada pihak kepolisian. Sejak itu, upaya kuwu beserta aparaturnya berhenti dan rakyat bisa memulai kembali menggarap lahannya.

Setelah pecah Peristiwa G30S, kelompok-kelompok yang anti program Land Reform kembali melakukan aksi menghalangi warga menguasai tanah. Aparatur desa mengambil secara paksa Surat Prioritas yang sudah dibagikan kepada warga saat program Land Reform berlangsung. Pengambilan secara sepihak ini tidak hanya ditujukan bagi warga yang anggota PKI, melainkan bagi seluruh warga yang jadi simpatisan dan bahkan mereka sama sekali bukan pendukung atau bukan simpatisan PKI. Selanjutnya, kuwu dan camat terlibat dalam pemenjaraan banyak warga anggota PKI maupun yang bukan PKI.

Pasca 1965 hingga pemerintahan Orde Baru menjalankan kekuasaannya, Kuwu Catim meminjam SK KINAG yang dimiliki warga. Kemudian, Kuwu Catim memperjualbelikan SK itu dengan cara memalsukan akta jual beli. Pokrol Bambu, kelompok pengacara lokal, membantu Kuwu Catim memuluskan proses jual beli tanah itu.

Proses perampasan lahan petani kembali terjadi pada dekade 1970-1980-an. Prosesnya pun melalui peminjaman sejumlah SK KINAG 1966. Kuwu Catim meminjam SK itu dengan alasan akan dipergunakan untuk keperluan pembiayaan pembangunan irigasi. SK ini dijanjikan akan dikembalikan kepada warga dalam jangka waktu 3-5 tahun. Warga juga dihadapkan dengan informasi yang disebarkan oleh beberapa aparat desa bahwa bidang tanah di sekitar tanah redistribusi tahun 1966, akan diambil alih pemerintah daerah setempat. Untuk kedua alasan ini, aparat desa dan pemerintahan setempat tetap menggunakan stigma PKI untuk mencapai tujuan-tujuannya. Sejak tahun 1978, warga tidak bisa lagi menggarap lahannya.

Pada tahun 1991, warga meminta bantuan advokasi LBH Bandung untuk mengupayakan pengembalian SK. Hal itu dilakukan tentu untuk menguatkan alasan mereka menggarap kembali tanahnya. Warga juga meminta bantuan Pemda dan Kantor Pertanahan setempat, serta pokrol bambu. Namun semua upaya itu tidak berhasil. Pada tahun 1992, warga meminta salinan SK KINAG 1966 kepada Kantor Pertanahan Kabupaten Indramayu. Konon Kantor Pertanahan telah mengeluarkan 400 salinan SK. Salinan SK itu dititipkan kepada seorang bernama Mulyadi yang rencananya berniat membantu memperjuangkan hak-hak warga. Namun, salinan-salinan SK itu tidak pernah sampai ke tangan warga.

Berdasarkan hasil penelitian BPN tahun 1991 tentang kasus tanah Soge ini, setidaknya dari 30 akta kepemilikan tanah yang asalnya adalah tanah-tanah yang SK-nya dikumpulkan oleh Kuwu Catim (rata-rata seluas 3.500 m2 atau setara dengan 0,35 ha), yang artinya milik 30 orang penerima SK, sudah berpindah kepemilikan jadi hanya dimiliki oleh 4 orang dengan total luas lahan mencapai 16 ha, atau rata-rata mereka memiliki lahan seluas 4 ha.


Hilma Safitri, “Reform versus Counter-reform in Land Reform Program and the 1965 Tragedy in Soge Village, Indramayu District, West Java”. Paper dipersiapkan untuk Konferensi “Reconciling Indonesian History with 1965: Fact, Rumours and Stigma”, 10-12 November 2016, Goethe University, Frankfurt, Jerman.

LAMPIRAN

--Tidak Ada Lampiran--