Konflik Masyarakat Adat Keturunan Ama Raja Medang Simamora VS PT Toba Pulp Lestari
SUMATERA UTARA, KAB. HUMBANG HASUNDUTAN
Nomor Kejadian
:
27_IM
Waktu Kejadian
:
01-06-1996
Konflik
:
HPH
Status Konflik
:
Dalam ProsesMediasi
Sektor
:
Hutan Produksi
Sektor Lain
:
Investasi
:
Rp 0,00
Luas
:
153,00 Ha
Dampak Masyarakat
:
0 Jiwa
Confidentiality
:
Public
KETERLIBATAN
- Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup
- DPRD Humbang Hasundutan
- Kantor Staf Kepresidenan
- PT TPL (Toba Pulp Lestari)
- PT. Inti Indorayon Utama
- Masyarakat Adat Keturunan Ama Raja Medang Simamora
KONTEN
Masyarakat Adat Keturunan Ama Raja Medang Simamora yang mempunyai wilayah adat yang bernama Sitakkubak (Parpulosan, Hite Tano, Pias/Rabi, Parlogologan) yang luasanya 153 Ha. Wilayah adat tersebut berupa perladangan dan hutan adat, yang berada dalam wilayah administrasi beberapa desa seperti Lumban Purba, Batu Najagar, Sosor Tolong dan Aek Lung Kecamatan Dolok Sanggul Kabupaten Humbang Hasundutan Sumatera Utara. Namun, masyarakat Adat Keturunan Ama Raja Medang Simamora harus berjuang melawan tindakan perampasan atas wilayah adatnya yang dilakukan oleh PT TPL
Untuk menelusuri konflik perampasan wilayah adat tersebut dapat diawali dengan melihat kebelakang yaitu kejadian pada 1975 dimana tanah adat yang bernama Sitakkubak yang terdiri dari tanah Parpolasan, Hite Tano, Pas/Rabi, dan Parlogologoan, dijadikan areal penghijauan/rehabilitasi daerah aliran sungai dan tanah kritis untuk waktu 30 tahun, dengan perjanjian bahwa tanah tetap menjadi milik masyarakat. Hal ini dapat dibuktikan berdasarkan isi berita acara gabungan serah terima bibit/biji dan pertanian penghijauan antara Kepala Bagian Kesatuan Pemangku Hutan Silindung (saat Humbang Silindung belum mekar dari Kabupaten Tapanuli Utara), sebagai pihak Pertama dengan Kepala Kampung Sait ni Huta, sebagai pihak Kedua pada tanggal 15 Pebruari 1975 untuk penghijauan tanah rakyat di kampung Sait ni Huta seluas ±153 Ha (termasuk didalamnya Sitakkubak) untuk penghijauan/rehabilitasi daerah aliran sungai dan tanah kritis. Dalam perjanjian ini dinyatakan bahwa hak kepemilikan atas tanah adalah tetap milik masyarakat. Dan di tahun 1994, tanaman pinus hasil penghijauan tersebut dipanen/ditebang. Namun pada tahun 1996 areal ini langsung ditanami oleh PT. Inti Indorayon Utama (sebelum berganti nama menjadi PT. TPL, Tbk) dengan eukalyptus tanpa persetujuan keturunan Ama Raja Medang Simamora, dengan alasan bahwa tanah tersebut sudah menjadi areal HPH/TI PT.TPL
Berbagai tindakan dilakukan oleh masyarakat adat Keturunan Ama Raja untuk dapat memperthankan wilayah adatnya. Diantaranya pada September 2009, salah satu keturunan Ama Raja Medang Simamora yang telah kenal KSPPM melalui kelompok Credit Union (CU) mengajak KSPPM untuk berdiskusi di kampung tentang permasalahan tanah adat mereka. Kemudian dihasilkan kesepakatan serta kesepahaman dalam perjuangan tanah adat Tombak Sitakkubak. Pada tahun 2010, masyarakat melakukan protes terhadap Pemkab Humbang Hasundutan melalui surat atas perampasan tanah adat Tombak Sitakkubak yang dilakukan oleh TPL. Masyarakat melakukan audiensi ke kantor Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup untuk menyampaikan perampasan tanah adat Tombak Sitakkubak kepada dinas terkait dan memperjelas status tanah adat mereka.
Masyarakat adat juga melakukan audiensi ke Dewan Kehutanan Nasional, Kemeterian Kehutanan, Komnas HAM dan Komnas Perempuan terkait perampasan tanah adat Tombak Sitakkubak, namun belum ada hasil atau keputusan yang mendukung peleasan tanah adat dari konsesi TPL selain itu juga melakukan berbagai diskusi untuk penguatan masyarakat adat terkait perjuangan mereka.
Di tahun 2011 masyrakat kembali bergerak, dengan tetap melakukan aksi bersama dengan masyarakat adat Kecamatan Pollung mendesak Pemerintah Kabupaten dan DPRD Humbang Hasundutan untuk melepaskan tanah adat dari konsesi TPL. Dan tahun 2011 masyarakat menyurati Komnas HAM terkait dengan surat Komnas HAM kepada masyarakat yang berisikan informasi bahwa tidak ada pelanggaran HAM pada kasus yang mereka alami. Selain itu juga untuk menegaskan kepemilikan wilayah adatnya masyarakat melakukan pemetaan tanah adat secara partisipatif bersama KSPPM, Petra Bersama dan KPHSU.
Pada 2012 terjadi pembagian tanah adat kepada setiap kepala keluarga yang ikut berjuang agar tanah adat tersebut dikelola. Sebagian kepala keluarga dari keturuanan Ama Raja Medang mulai mengolah tanah adat yang ada di Tombak Sitakkubak. Di tahun 2012 juga masyarakat menolak pemetaan yang dilakukan DPRD Humbang Hasundutan, TPL dan Dinas Kehutanan dan Lingungan Hidup Humbang Hasundutan karena tidak sesuai dengan pemetaan partisipatif yang telah dilakukan sesuai sejarah yang mereka miliki.
Di tahun 2012 masyarakat ikut membentuk AMAN Tano Batak sebagai media perjuangan masyarakat adat di tanah Batak melawan perampasan hak-hak atas tanah adat. Empat tahun kemudian di tahun 2016 masyarakat mencek ulang titik kordinat wilayah adat untuk memastikan tumpang tindih dengan peta milik kehutanan lampiran SK 579 tahun 2014. Selain itu masyrakat juga melakukan Verifikasi yang difasilitasi oleh Kantor Staf Presiden (Noer Fauzi), PSKL dan Kehutanan Medan
Kondisi terakhir pada pertengahan februari 2017 KLHK bersama KSP melakukan verifikasi terhadap keberadaan masyarakat adat dan wilayah adat milik Turunan Ama Raja Medang Simamora. Berikutnya pada Oktober 2017, perwakilan masyarakat Turunan Ama Raja Medang Simamora bersama 10 kasus masyarakat adat lainya mendatangi KLHK untuk mempercepat upaya penyelesaian konflik mereka.
Pada 19 Maret 2018 Perwakilan masyarakat Turunan Ama Raja Medang Simamora mengikuti pertemuan dengan direktur penanganan konflik tenurial dan Hutan adat di KSPPM Parapat. Pada 3 mei 2018 masyarakat Perwakilan masyarakat Turunan Ama Raja Medang Simamora mengikuti pertemuan multi pihak bersama Direktur PKTHA, Perusahaan TPL, Pemkab Humbang Hasundutan di Medan.
Secara de facto masyarakat telah menguasai 148 Hektar tanah tersebut dari total 153 Hektar luas tanah yang diperjuangkan. Namun demikian masyarakat masih berharap KLHK secepat nya dapat mengeluarkan SK Hutan adat masyarakat agar lebih terjamin dari potensi ancaman perusahaan. Perda PPMHA Pandumaan Sipituhuta baru disahkan pada 31 Januari 2019.
Kondisi eksisting saaat ini anggota kelompok telah mengelola tanah di Sitakkubak, dan menanam tanaman muda seperti cabai, kol dan sayuran dan tetap melakukan konsolidasi organisasi untuk membangun kekuatan perjuangan bersama kembali.
Fungsi dan Pemanfaatan Tombak Sitakkubak
Fungsi Tombak Sitakkubak bagi keturunan Ama Raja Medang Simamora sesuai dengan penjelasan masyarakat dapat dibagi dalam 3 fungsi, yaitu: bagian Utara/atas dari Tombak Sitakkubak dinamai dengan Parlogologoan dulunya difungsikan sebagai sawah dan untuk menanam bayoun/pandan untuk tikar. Saat ini bagian utara tetap dikelola keturunan Ama Raja Naiang dari Op. Bonar Simamora, Op. Kasan Simomora, dan Op. Baginda Simamora dan borunya Simanullang (marga boru) menjadi areal perladangan dan tanaman Pohon Pinus yang ada, ditanami oleh keturunan Ama Raja Medang dari Op. Kasan Simamora.
Bagian tengah dari Tombak Sitakkubak diberi nama Aek Nabolon/Hite Tano diperuntukkan sebagai panjampalan/ tempat pengembalaan kuda dan kerbau. Tahun 1975 bagian tengah dari Tombak Sitakkubak beralih fungsi menjadi lahan penanaman pinus. Penanaman pinus ini merupakan program dari pemerintah dan saat itu penggunaan lahan adalah perjanjian pinjam pakai selama 30 tahun. Pinus memasuki masa panen pada tahun 1994 dan ditebangi oleh pengusaha. Setelah selesai penebangan, Keturunan Ama Raja Medang berharap tanah tersebut kembali tetapi langsung ditanami dengan Eukaliptus. Ketika proses penanaman Eukaliptus tersebut keturunan Ama Raja Medang tidak dapat berbuat apa-apa disekitar lahan karena banyak Brimob yang melakukan pengawalan. Lahan bekas pinus tersebut merupakan milik keturunan ama Raja Naiang dari keturunan Op. Bonar Simamora, Op. Kasan Simomora, dan Op. Baginda Simamora dan juga keturunan dari Op. Batu Gumba (sebagian kecil dari tanah).
Sedangkan bagian selatan diberi nama Sitakkubak Parpolasan dulu merupakan Perladangan utama yang ditanami dengan Jeruk, Kopi dan Kemenyan. Pada Zaman penjajahan Belanda, Tombak Sitakkubak ditanami kopi dan Jeruk. Sedangkan di daerah lembah yang ada di sekitar Sitakkubak Parpolasan dimanfaatkan untuk menanam padi sawah. Bukti bekas persawahan masih bisa kita lihat dengan masih adanya petak-petak sawah yang sudah tidak dikelola lagi.
Setelah berakhirnya pendudukan Belanda dan diambil alih oleh Jepang, keturunan Ama Raja Medang tetap mengelola areal tersebut sebagai perladangan dengan menanami Kopi, Jeruk serta Tembakau. Tembakau ditanam ketika itu merupakan sesuai dengan kebutuhan pasar pada masa itu. Saat ini areal Sitakkubak Parpolasan tidak lagi dijadikan lahan perladangan karena topografinya yang berlembah.
BRWA
LAMPIRAN
--Tidak Ada Lampiran--
SUMATERA UTARA, KAB. HUMBANG HASUNDUTAN
Nomor Kejadian | : | 27_IM |
Waktu Kejadian | : | 01-06-1996 |
Konflik | : | HPH |
Status Konflik | : | Dalam ProsesMediasi |
Sektor | : | Hutan Produksi |
Sektor Lain | : | |
Investasi | : | Rp 0,00 |
Luas | : | 153,00 Ha |
Dampak Masyarakat | : | 0 Jiwa |
Confidentiality | : | Public |
KETERLIBATAN
- Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup
- DPRD Humbang Hasundutan
- Kantor Staf Kepresidenan
- PT TPL (Toba Pulp Lestari)
- PT. Inti Indorayon Utama
- Masyarakat Adat Keturunan Ama Raja Medang Simamora
KONTEN
Masyarakat Adat Keturunan Ama Raja Medang Simamora yang mempunyai wilayah adat yang bernama Sitakkubak (Parpulosan, Hite Tano, Pias/Rabi, Parlogologan) yang luasanya 153 Ha. Wilayah adat tersebut berupa perladangan dan hutan adat, yang berada dalam wilayah administrasi beberapa desa seperti Lumban Purba, Batu Najagar, Sosor Tolong dan Aek Lung Kecamatan Dolok Sanggul Kabupaten Humbang Hasundutan Sumatera Utara. Namun, masyarakat Adat Keturunan Ama Raja Medang Simamora harus berjuang melawan tindakan perampasan atas wilayah adatnya yang dilakukan oleh PT TPL
Untuk menelusuri konflik perampasan wilayah adat tersebut dapat diawali dengan melihat kebelakang yaitu kejadian pada 1975 dimana tanah adat yang bernama Sitakkubak yang terdiri dari tanah Parpolasan, Hite Tano, Pas/Rabi, dan Parlogologoan, dijadikan areal penghijauan/rehabilitasi daerah aliran sungai dan tanah kritis untuk waktu 30 tahun, dengan perjanjian bahwa tanah tetap menjadi milik masyarakat. Hal ini dapat dibuktikan berdasarkan isi berita acara gabungan serah terima bibit/biji dan pertanian penghijauan antara Kepala Bagian Kesatuan Pemangku Hutan Silindung (saat Humbang Silindung belum mekar dari Kabupaten Tapanuli Utara), sebagai pihak Pertama dengan Kepala Kampung Sait ni Huta, sebagai pihak Kedua pada tanggal 15 Pebruari 1975 untuk penghijauan tanah rakyat di kampung Sait ni Huta seluas ±153 Ha (termasuk didalamnya Sitakkubak) untuk penghijauan/rehabilitasi daerah aliran sungai dan tanah kritis. Dalam perjanjian ini dinyatakan bahwa hak kepemilikan atas tanah adalah tetap milik masyarakat. Dan di tahun 1994, tanaman pinus hasil penghijauan tersebut dipanen/ditebang. Namun pada tahun 1996 areal ini langsung ditanami oleh PT. Inti Indorayon Utama (sebelum berganti nama menjadi PT. TPL, Tbk) dengan eukalyptus tanpa persetujuan keturunan Ama Raja Medang Simamora, dengan alasan bahwa tanah tersebut sudah menjadi areal HPH/TI PT.TPL
Berbagai tindakan dilakukan oleh masyarakat adat Keturunan Ama Raja untuk dapat memperthankan wilayah adatnya. Diantaranya pada September 2009, salah satu keturunan Ama Raja Medang Simamora yang telah kenal KSPPM melalui kelompok Credit Union (CU) mengajak KSPPM untuk berdiskusi di kampung tentang permasalahan tanah adat mereka. Kemudian dihasilkan kesepakatan serta kesepahaman dalam perjuangan tanah adat Tombak Sitakkubak. Pada tahun 2010, masyarakat melakukan protes terhadap Pemkab Humbang Hasundutan melalui surat atas perampasan tanah adat Tombak Sitakkubak yang dilakukan oleh TPL. Masyarakat melakukan audiensi ke kantor Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup untuk menyampaikan perampasan tanah adat Tombak Sitakkubak kepada dinas terkait dan memperjelas status tanah adat mereka.
Masyarakat adat juga melakukan audiensi ke Dewan Kehutanan Nasional, Kemeterian Kehutanan, Komnas HAM dan Komnas Perempuan terkait perampasan tanah adat Tombak Sitakkubak, namun belum ada hasil atau keputusan yang mendukung peleasan tanah adat dari konsesi TPL selain itu juga melakukan berbagai diskusi untuk penguatan masyarakat adat terkait perjuangan mereka.
Di tahun 2011 masyrakat kembali bergerak, dengan tetap melakukan aksi bersama dengan masyarakat adat Kecamatan Pollung mendesak Pemerintah Kabupaten dan DPRD Humbang Hasundutan untuk melepaskan tanah adat dari konsesi TPL. Dan tahun 2011 masyarakat menyurati Komnas HAM terkait dengan surat Komnas HAM kepada masyarakat yang berisikan informasi bahwa tidak ada pelanggaran HAM pada kasus yang mereka alami. Selain itu juga untuk menegaskan kepemilikan wilayah adatnya masyarakat melakukan pemetaan tanah adat secara partisipatif bersama KSPPM, Petra Bersama dan KPHSU.
Pada 2012 terjadi pembagian tanah adat kepada setiap kepala keluarga yang ikut berjuang agar tanah adat tersebut dikelola. Sebagian kepala keluarga dari keturuanan Ama Raja Medang mulai mengolah tanah adat yang ada di Tombak Sitakkubak. Di tahun 2012 juga masyarakat menolak pemetaan yang dilakukan DPRD Humbang Hasundutan, TPL dan Dinas Kehutanan dan Lingungan Hidup Humbang Hasundutan karena tidak sesuai dengan pemetaan partisipatif yang telah dilakukan sesuai sejarah yang mereka miliki.
Di tahun 2012 masyarakat ikut membentuk AMAN Tano Batak sebagai media perjuangan masyarakat adat di tanah Batak melawan perampasan hak-hak atas tanah adat. Empat tahun kemudian di tahun 2016 masyarakat mencek ulang titik kordinat wilayah adat untuk memastikan tumpang tindih dengan peta milik kehutanan lampiran SK 579 tahun 2014. Selain itu masyrakat juga melakukan Verifikasi yang difasilitasi oleh Kantor Staf Presiden (Noer Fauzi), PSKL dan Kehutanan Medan
Kondisi terakhir pada pertengahan februari 2017 KLHK bersama KSP melakukan verifikasi terhadap keberadaan masyarakat adat dan wilayah adat milik Turunan Ama Raja Medang Simamora. Berikutnya pada Oktober 2017, perwakilan masyarakat Turunan Ama Raja Medang Simamora bersama 10 kasus masyarakat adat lainya mendatangi KLHK untuk mempercepat upaya penyelesaian konflik mereka.
Pada 19 Maret 2018 Perwakilan masyarakat Turunan Ama Raja Medang Simamora mengikuti pertemuan dengan direktur penanganan konflik tenurial dan Hutan adat di KSPPM Parapat. Pada 3 mei 2018 masyarakat Perwakilan masyarakat Turunan Ama Raja Medang Simamora mengikuti pertemuan multi pihak bersama Direktur PKTHA, Perusahaan TPL, Pemkab Humbang Hasundutan di Medan.
Secara de facto masyarakat telah menguasai 148 Hektar tanah tersebut dari total 153 Hektar luas tanah yang diperjuangkan. Namun demikian masyarakat masih berharap KLHK secepat nya dapat mengeluarkan SK Hutan adat masyarakat agar lebih terjamin dari potensi ancaman perusahaan. Perda PPMHA Pandumaan Sipituhuta baru disahkan pada 31 Januari 2019.
Kondisi eksisting saaat ini anggota kelompok telah mengelola tanah di Sitakkubak, dan menanam tanaman muda seperti cabai, kol dan sayuran dan tetap melakukan konsolidasi organisasi untuk membangun kekuatan perjuangan bersama kembali.
Fungsi dan Pemanfaatan Tombak Sitakkubak
Fungsi Tombak Sitakkubak bagi keturunan Ama Raja Medang Simamora sesuai dengan penjelasan masyarakat dapat dibagi dalam 3 fungsi, yaitu: bagian Utara/atas dari Tombak Sitakkubak dinamai dengan Parlogologoan dulunya difungsikan sebagai sawah dan untuk menanam bayoun/pandan untuk tikar. Saat ini bagian utara tetap dikelola keturunan Ama Raja Naiang dari Op. Bonar Simamora, Op. Kasan Simomora, dan Op. Baginda Simamora dan borunya Simanullang (marga boru) menjadi areal perladangan dan tanaman Pohon Pinus yang ada, ditanami oleh keturunan Ama Raja Medang dari Op. Kasan Simamora.
Bagian tengah dari Tombak Sitakkubak diberi nama Aek Nabolon/Hite Tano diperuntukkan sebagai panjampalan/ tempat pengembalaan kuda dan kerbau. Tahun 1975 bagian tengah dari Tombak Sitakkubak beralih fungsi menjadi lahan penanaman pinus. Penanaman pinus ini merupakan program dari pemerintah dan saat itu penggunaan lahan adalah perjanjian pinjam pakai selama 30 tahun. Pinus memasuki masa panen pada tahun 1994 dan ditebangi oleh pengusaha. Setelah selesai penebangan, Keturunan Ama Raja Medang berharap tanah tersebut kembali tetapi langsung ditanami dengan Eukaliptus. Ketika proses penanaman Eukaliptus tersebut keturunan Ama Raja Medang tidak dapat berbuat apa-apa disekitar lahan karena banyak Brimob yang melakukan pengawalan. Lahan bekas pinus tersebut merupakan milik keturunan ama Raja Naiang dari keturunan Op. Bonar Simamora, Op. Kasan Simomora, dan Op. Baginda Simamora dan juga keturunan dari Op. Batu Gumba (sebagian kecil dari tanah).
Sedangkan bagian selatan diberi nama Sitakkubak Parpolasan dulu merupakan Perladangan utama yang ditanami dengan Jeruk, Kopi dan Kemenyan. Pada Zaman penjajahan Belanda, Tombak Sitakkubak ditanami kopi dan Jeruk. Sedangkan di daerah lembah yang ada di sekitar Sitakkubak Parpolasan dimanfaatkan untuk menanam padi sawah. Bukti bekas persawahan masih bisa kita lihat dengan masih adanya petak-petak sawah yang sudah tidak dikelola lagi.
Setelah berakhirnya pendudukan Belanda dan diambil alih oleh Jepang, keturunan Ama Raja Medang tetap mengelola areal tersebut sebagai perladangan dengan menanami Kopi, Jeruk serta Tembakau. Tembakau ditanam ketika itu merupakan sesuai dengan kebutuhan pasar pada masa itu. Saat ini areal Sitakkubak Parpolasan tidak lagi dijadikan lahan perladangan karena topografinya yang berlembah.
BRWA
LAMPIRAN
--Tidak Ada Lampiran-- |