DATA DETIL
MA Pandumaan-Sipituhuta Vs PT Toba Pulp Lestari Tbk

 SUMATERA UTARA, KAB. HUMBANG HASUNDUTAN

Nomor Kejadian :  11d08r
Waktu Kejadian :  03-08-2017
Konflik :  hutan
Status Konflik :  Dalam Proses
Sektor :  Hutan Produksi
Sektor Lain  :  
Luas  :  6.001,00 Ha
Dampak Masyarakat  :  0 Jiwa
Confidentiality  :  Public

KETERLIBATAN

  • Mentri Kehutanan
  • Kepala Dinas Kehutanan Sumut
  • Kapolda Sumut
  • Bupati Humbang Hasundutan
  • Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Kabupaten Humbang Hasundutan
  • Kapolres Humbang Hasundutan
  • PT Toba Pulp Lestari Tbk
  • Masyarakat Adat Pandumaan
  • masyarakat Adat Sipituhuta

KONTEN

Riwayat berbagai hutan, serta perubahan menjadi perkebunan eukaliptus, di sekitar Danau Toba termasuk Kabupaten Humbang Hasundutan, terkait dengan riwayat seorang pengusaha asal Belawan, dekat Medan. Namanya, Tan Kang Hoo atau Sukanto Tanoto. Dia kelahiran 1949, anak pertama dari tujuh bersaudara, dari sepasang migran asal Fujian, Tiongkok. Pada 1966, ketika umur 17 tahun, Tanoto berhenti sekolah dan ikut usaha keluarga, supplier onderdil mobil ke berbagai perusahaan minyak dan gas di Medan.

Pada 1973, ketika umur 24 tahun, Tanoto mendirikan perusahaan PT Raja Garuda Mas untuk produksi plywood. “Negara kita kaya kayu, mengapa kita mengimpor kayu lapis?” katanya. Dia menyakinkan pemerintah Indonesia agar memberi izin bikin pabrik plywood. Dia berhasil dengan pabrik itu. Meningkatnya produksi plywood membuat Tanoto merasa perlu bikin perkebunan eukaliptus.

Pada 26 April 1983, Tanoto mendirikan PT Inti Indorayon Utama. Usahanya, perkebunan eukaliptus guna bikin pulp, kertas, dan rayon. Gubernur Sumatera Utara Kaharuddin Nasution setuju Tanoto bangun pabrik seluas 200 hektar di Porsea, sebuah kota Kabupaten Toba Samosir. Mereka dapat izin hak pengusahaan hutan seluas 150.000 hektar.

Namun PT Inti Indorayon Utama dituduh merampas tanah adat. Ia juga diprotes warga sekitar Danau Toba karena mencemari tanah dan air danau dengan limbah. Sungai Asahan, yang membelah Porsea, juga tercemar limbah. Pada 7 Oktober 1987, longsor menewaskan 15 orang. Longsor kedua menimpa Desa Natumingka, 16 km dari longsor pertama, 15 orang tewas. Tanoto sendiri menaruh beberapa pejabat, termasuk Mayor Jenderal August Marpaung, sebagai komisaris Indorayon. Marpaung pernah memimpin Antara dan jadi dutabesar Indonesia untuk Australia. Tanoto juga berhubungan dengan Presiden Soeharto. Pabrik dan perkebunan pun berjalan lancar.

Pada Mei 1998, Presiden Soeharto, mundur sesudah berkuasa selama 33 tahun. Berbagai demonstrasi menuntut demokratisasi, reformasi dan penegakan hukum marak di Jawa, Sumatera maupun pulau lain. Struktur kekuasaan di Indonesia berubah. Tanoto kehilangan pelindung. Pada 9 Juni 1998, Gubernur Raja Inal Siregar memerintahkan operasi Indorayon berhenti setelah warta Porsea bersama ribuan mahasiswa di Medan unjuk rasa ke DPRD Sumatera Utara.

Pada 1999, zaman pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, Menteri Lingkungan Hidup Sony Keraf akhirnya minta pabrik Indorayon ditutup. Namun Sony Keraf bukan berjuang tanpa hambatan. Menteri Perdagangan Jusuf Kalla membantah ada polusi dari pabrik Indorayon.

Selama dua tahun, terjadi tarik-menarik antara kubu Sukanto Tanoto dan warga Toba. Pada 12 Juni 2000, seorang mahasiswa ditembak mati polisi dalam protes anti-Indorayon. Di Danau Toba, nasib Indorayon berubah ketika mereka ganti nama jadi PT Toba Pulp Lestari pada 2001. Nama Indorayon tampaknya sulit dipertahankan. Toba Pulp Lestari diam-diam operasi lagi dari Porsea zaman kepresidenan Megawati Soekarnoputri.

Angin berubah terbuka ketika Susilo Bambang Yudhoyono jadi presiden pada akhir 2004. Pada 2005, Menteri Kehutanan MS Kaban mengeluarkan surat pembagian kawasan hutan di Sumatera Utara. Indorayon melanjutkan kerja mereka namun tampil dengan nama baru Toba Pulp Lestari. Menurut MS Kaban, wilayah hutan perusahaan ini termasuk beberapa kabupaten: Tapanuli Utara, Toba Samosir, Samosir, Simalungun, Dairi, Pakpak Bharat, dan Tapanuli Selatan serta Humbang Hasundutan.

Pada 2009, atau 11 tahun sesudah Indorayon ditutup, sengketa tanah kembali meledak. Kini, warga Desa Pandumaan-Sipituhuta yang ada di Kabupaten Humbang Hasundutan, mulai perlawanan terhadap perusahaan lama dengan nama baru ini. Pandumaan-Sipituhuta, bersebelahan. Luasnya, sekitar 6.500 hektar terbagi atas 2.400 hektar wilayah desa, 4.100 hektar hutan kemenyan. Masyarakat adat di dua desa, total 700 keluarga, mayoritas mencari nafkah dari tombak haminjon.
Kini, hutan adat mereka masuk dalam konsesi Toba Pulp Lestari. Berbagai upaya dilakukan masyarakat, mengadukan persoalan dari kabupaten sampai Jakarta.

PADA Sabtu akhir Februari 2013, beberapa petani kemenyan Desa Pandumaan-Sipituhuta melihat karyawan PT Toba Pulp Lestari masuk kawasan sengketa tombak (hutan) di Dolok Ginjang. Para karyawan, dengan alat berat, menebang kemenyan dan hendak menanami daerah itu dengan eukaliptus. Warga protes namun karyawan bilang mereka hanya menjalankan perintah atasan.

Keesokan hari, sesudah ibadah Minggu, warga datang lebih banyak lagi. Mereka minta penebangan dihentikan. Bentrokan hampir terjadi. Kalah jumlah, warga desa pulang ke kampung. Suasana tegang.

Hari ketiga, Senin, 25 Februari 2013, pagi hari, sekitar 250 warga Pandumaan-Sipituhuta pergi ke tombak Dolok Ginjang. Kali ini sudah ada Brimob berjaga. Ada alat berat. Ada sekitar 20 pekerja TPL tengah menanam eukaliptus. Juga terdengar suara chainsaw mengaung-aung. Tiba-tiba, truk TPL pengangkut bibit dan pupuk terbakar. Malam itu, 15 warga ditangkap polisi, termasuk James Sinambela, pendeta Haposan Sinambela, maupun si pembunyi lonceng gereja. Mereka mendekam di tahanan polisi bersama belasan warga desa yang ditangkap di hutan kemenyan. Total 31 orang ditahan polisi.

Keseokan hari 15 warga dibebaskan, 16 menjadi tersangka termasuk Haposan Sinambela dan James Sinambela.


INKUIRI NASIONAL KOMNAS HAM 2015, Mongabay

LAMPIRAN

--Tidak Ada Lampiran--