DATA DETIL
Konflik Lahan di Tanjung Batang, Lampung Selatan

 LAMPUNG, KAB. LAMPUNG SELATAN

Nomor Kejadian :  009ARC
Waktu Kejadian :  09-09-1998
Konflik :  hutan
Status Konflik :  Selesai
Sektor :  Hutan Produksi
Sektor Lain  :  
Luas  :  400,00 Ha
Dampak Masyarakat  :  0 Jiwa
Confidentiality  :  Public

KETERLIBATAN

  • Badan Pertanahan Nasional
  • Pemerintah Provinsi Lampung
  • Kementrian Kehutanan
  • Kepala Desa Budi Lestari
  • PT Lampung Plantation Factory (PT LPF)
  • PT Dharma Hutan Lestari (DHL)

KONTEN

Tanah yang disengketakan di Kecamatan Tanjung Bintang, Kabupaten Lampung Selatan, hingga tahun 1971 adalah milik Departemen Kehutanan RI. Dari tahun 1971 hingga 1982, masyarakat yang dipimpin pengurus HKTI Karta Sasmita membuka hutan tanpa sepengetahuan pihak kehutanan. Masyarakat yang kebanyakan dari daerah pendatang itu membuka lahan lalu menetap dan membayar uang administrasi pada ketua yang memimpin tiap-tiap areal. Masyarakat membuka hutan dengan luas masing-masing 1,5 ha, sebagian dipakai tempat tinggal kemudian sebagian lainnya menanaminya dengan singkong, jagung, dan padi. Sebagian kecil hasil panennya diberikan untuk kesejahteraan pamong desa.

Pada 1982, PT Citra Lamtorogung Persada (PT CLP) menanami areal Kecamatan Tanjung Bintang dengan pohon lamtoro. Penanam pohon itu merupakan bagian dari proyek penghijauan PT CLP dan Inhutani V. Dua institusi yang telah mendapat izin dari kepala desa setempat itu kemudian mengadakan pertemuan dengan masyarakat setempat. Dalam pertemuan itu mereka menyatakan bahwa lahan yang ditanami lamtoro di Dusun Seraten dan Purwosari, setelah dirawat hingga berumur tiga tahun oleh PT CLP, adalah tanggungan pihak kehutanan dan tiga tahun berikutnya akan diserahkan kepada masyarakat. Setelah itu, masyarakat dapat mengolah lagi lahan garapannya. Karena berdasar izin Kepala Desa Budi Lestari, masyarakat menuruti hal itu dan sebagian dari mereka dipekerjakan di area tersebut sebagai tenaga kerja dengan upah ditetapkan perusahaan. Hal itu kemudian membuat pendapatan masyarakat menurun.

Karena kerap dijadikan tempat persembunyian penjahat dan perampok, kawasan PT CLP yang lebat itu ditebangi banyak orang pada 1991. Setahun berikutnya, karena buah pohon lamotoro itu tidak bisa dijual, PT CLP diganti PT Lampung Plantation Factory (PT LPF) yang dipimpin Suseno Lugito.

Setelah mendapat izin dari kepala desa setempat, PT LPF yang membudidayakan pohon kayu gamanila (kayu kertas) ini menjanjikan bahwa masyarakat setempat dapat menggarap lahan di sela-sela tanaman kayu kertas. Gejolak konflik muncul ketika jarak tanam kayu gamanila PT LPF di luar kesepakatan awal dan PT LPF bersama Inhutani V terus memperluas area tanam hingga menjadi sekitar 1000 ha. Semula, PT LPF, yang membuat jarak tanam antarpohon adalah 2x5 m, memperbolehkan masyarakat setempat untuk bercocok tanam di antara jarak tanam 5 m itu.

Sejak area tanam perusahaan diperluas, kawasan tanam yang semestinya hanya berada di satu desa, Desa Budi Lestari, meluas ke tiga desa lainnya. Desa-desa itu di antaranya ialah Desa Talang Jawa, Tri Panca Tunggal, dan Sinar Karya, meliputi 400 ha yang terpakai sebagai perluasan PT LPF. Desa Talang Jawa sendiri terkena perluasan penanaman oleh perusahaan seluas 20 ha. Warga desa akhirnya bersatu untuk merebut kembali tanah hak mereka.

Kekecewaan masyarakat kembali terjadi pada 1996, ketika pemegang konsensi berganti ke PT Dharma Hutan Lestari (DHL). Masyarakat merasa ditipu karena tidak diperbolehkan menggarap tanah di sela-sela pohon gamanila. Selain itu juga, masyarakat mengetahui bahwa SK penanaman pohon kayu kertas itu bertitimangsa tahun 1996, tapi secara de facto perusahaan telah menanam sejak tahun 1992.

Tanggal 9 September 1998, sekitar 10 ribu masyarakat petani berdemonstrasi selama tiga hari dengan mendirikan tenda darurat di depan kantor Gubernur Lampung. Masyarakat yang didampingi oleh Dewan Rakyat Lampung (DRL), Dewan Tani Lampung (DTL), dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH), menuntut agar pemerintah mengembalikan tanah mereka. Aksi mereka berlanjut pada 27 November 1998 dengan melakukan pendudukan lahan. Keesokan harinya, terjadi perundingan yang menghasilkan kesepakatan awal mengenai penjarangan tanaman dari 2 x 4 m menjadi 4 x 4 m.

Perundingan berikutnya terjadi pada 18 Februari 1999. PT DHL, perwakilan posko Desa Sinar Rejeki, Desa Sumber Jaya, Desa Karang Anyar, Desa Sidoharjo, Desa Sidomulyo, Desa Pancasila, Desa Marga Jaya, Desa Suka Dami, Desa karya Mukti, Desa Tri Sinar, Desa Purwodadi, Desa Budi Lestari, Desa Sidomukti, Desa Jaya Guna, dan Desa Metro Kibang, terlibat dalam perundingan itu dan menghasilkan perjanjian bahwa Dewan Tani Lampung bersama PT DHL menyepakati sepuluh poin kesepakatan.

Sepuluh poin kesepakatan itu di antarnya: PT DHL membolehkan rakyat menanam di lahan HTI setelah kayu dijarangkan dengan ukuran 8 x 4 m; perusahaan menitipkan kayu yang masih ada sampai panen untuk tahun tanam 1992 + 6 tahun dan tahun tanam 1994 + 8 tahun; setelah kayu dipanen, perusahaan berjanji tidak akan menanam kayu lagi di Register 40 dan Register 37 dan lahan diserahkan pengolahannya kepada rakyat; perusahaan membayar biaya perawatan kayu sesuai program selama panen dengan standar UMR kepada rakyat yang dititip kayu dengan perincian ditentukan perusahaan; penjarangan akan dilakukan perusahaan; perusahaan memperbaiki jembatan Jadiko; PT LPF tidak keberatan dan tidak akan menghalang-halangi SK Menteri Perhutanan No. 38/kpts-11/1996; petani tidak akan mendapat sanksi jika tanaman mati, kecuali secara sengaja ditebang, diracun, atau dibakar; pemimpin perusahaan, Kris Haryanto, sanggup membantu rakyat menghalau, menghantarkan kawasan hutan Register 40 dan Register 37 menjadi lapang Sidoharjo, karena kawasan itu sudah tidak layak menjadi kawasan hutan; dan perusahaan akan melakukan penjarangan mulai dalam jangka waktu 1 bulan dari kesepakatan ini.

Dengan hasil perundingan tersebut, 8 Oktober 1999 mulai diadakan penebangan besar-besaran. Pada tahun 2000, tanah mulai dibagi-bagikan kepada masyarakat penggugat yang tanahnya direbut PT DHL. Pembagian itu dilakukan berdasarkan keaktifan para penggugat. Pembagian yang dilakukan masyarakat Kecamatan Talang Jawa itu menghasilkan 0,5 ha per kepala keluarga. Setelah tanah itu kembali kepada rakyat dan berhasil panen jagung untuk pertama kalinya, pendapatan mereka mulai meningkat.

Kendati demikian, masyarakat masih membutuhkan sertifikat tanah agar tanah yang telah mereka miliki itu punya kekuatan legal. 22 Maret 2001, beberapa anggota posko mendatangi Pemerintah DT I (sekarang pemerintah provinsi) Lampung untuk sertifikasi. Hasilnya, Badan Pertanahan Nasional (BPN) akan menerbitkan sertifikat bagi masyarakat secara bertahap.


Tim PUSSbik, 2002, Tanah Lampung; Sengketa Pertanahan dan Perjuangan Rakyat Tani Lampung, Bandar Lampung: Pusat Studi Strategi dan Kebijakan (PUSSbik).

LAMPIRAN

--Tidak Ada Lampiran--