Kriminalisasi dan Ketidakadilan dalam perkara Bongku, Petani Masyarakat Adat Suku Sakai
RIAU, KAB. BENGKALIS
Nomor Kejadian
:
24-6-2020
Waktu Kejadian
:
01-06-2020
Konflik
:
HTI
Status Konflik
:
Selesai
Sektor
:
Hutan Produksi
Sektor Lain
:
Investasi
:
Rp 0,00
Luas
:
0,5 Ha
Dampak Masyarakat
:
0 Jiwa
Confidentiality
:
Public
KETERLIBATAN
- KLHK
- Polsek Pinggir
- Pemkab Bengkalis
- PT. Arara Abadi distrik Duri II
- Masyarakat Adat Suku Sakai
KONTEN
Suku Sakai dikenal dengan nama â€Uang Daek†(orang darat) atau suku â€Pebatinâ€. Istilah Sakai pada mulanya dipakai oleh tentara Jepang. Jepang menyebut rakyat biasa yang bukan pejuang dengan sebutan orang â€sakaiâ€. Akhirnya nama tersebut melekat pada diri mereka sampai sekarang dan sebutan â€Uang Daek†atau â€Suku Pebatin†menjadi hilang. Suku Sakai memiliki kebudayaan asli yang berbeda dengan Suku bangsa Melayu lainnya di Riau dengan kebudayaan yang telah mengalami akulturasi dengan kebudayaan lainnya. Menurut catatan naskah, sebelum dibentuknya budaya sekarang dalam satu Dasawarsa terakhir, mereka selalu hidup menyendiri di dalam hutan belantara â€Batin Selapan†yang sukar dicapai oleh orang luar dan hanya dikunjungi oleh segelintir orang Melayu
Orang Sakai adalah orang Veddoid yang bercampur dengan orang-orang Minangkabau yang datang bermigrasi pada sekitar abad ke-14 ke daerah Riau. Wilayah Hukum Adat Perbatinan Sakai telah lama diakui jauh sebelum kemaharajaan Kesultanan Siak Sri Indrapura. Oleh karena itu, dalam budaya Sakai mereka mengenal “Hak Ulayat†(Beschikking Recht) yang kekuasaannya berada ditangan persekutuan hukum komunitas Sakai. Namun karena sejak dahulu keberadaan Sakai ini telah terdesak oleh kebudayaan Melayu Siak, Rokan dan Tapung hingga saat ini oleh berbagai kepentingan pembangunan (pertambangan, kehutanan dan perkebunan), maka lambat laun eksistensi Hak Ulayat Suku Sakai semakin memudar.
Sejarah telah membuktikan bahwa dalam “Sakai Gebeit†jelas terlihat pembagian wilayah perbatinan Suku Sakai Batin Selapan dan Batin Lima, kemudian diperkuat lagi dengan “Besluit†Kerajaan Siak Sri Indrapura yang mengakui keberadaan hukum adat Sakai di Kecamatan Mandau sekarang. Berdasarkan bukti histroris atas keberadaan Suku Sangkai, sudah sewajarya “Hak Ulayat†Sakai diakui keberadaannya.
Mata pencaharian pokok Suku Sakai pada dasarnya petani dan pengumpul hasil hutan yang sangat tergantung pada alam. Mata pencaharian lain Suku Sakai adalah berkebun yang dilakukan secara subsistem, khususnya menanam ubi lambau dan ubi menggalau dan menangkap ikan yang kebanyakan untuk konsumsi sendiri. Ubi manggalo biasa ditanam masyarakat pada waktu tanaman padi berumur kira-kira dua bulan. Penanamannya dilakukan berturut-turut setiap hari sampai ladang penuh dengan tanaman ubi manggalo di sela tanaman padi. Ada juga yang menanam ubi manggalo setelah selesai panen padi.
Namun pola hidup suku Sakai berubah sejak pemerintah menerapkan berbagai aturan. Mereka dilarang memburu hewan hutan, yang sebagian sudah berstatus dilindungi.
1996
Mulai adanya konflik masyarakat adat Sakai dengan PT Arara Abadi di Dusun Suluk Bongkal. Padahal PT Arara Abadi berpegang pada batas konsesi sesuai izin dari pemerintah. Perusahaan menebang pohon alam dengan chainsaw, membakar lalu mengganti dengan akasia. Masyarakat Sakai menolak dan beberapa kali menghalau pekerja perusahaan. Mereka justru berhadapan dengan pada aparat keamanan dengan senjata. Masyarakat Sakai tak kuasa membalas dengan fisik. Padahal di sana terdapat tanah leluhur mereka, perkampungan dan bekas berladang yang tidak akan mereka tinggalkan karena suatu saat mereka akan kembali dengan memegang prinsip tebang di muka, hijau di belakang.
2001
Suku Sakai mengajukan kawasan hutan di sekitar Desa Koto Pait Beringin dan desa lain sebagai tanah ulayat. Namun permohonan ini belum dikabulkan pemerintah
2008
Terjadinya penyerangan rumah masyarakat adat. Wakil Ketua Komnas HAM menemukan kejadian pembakaran dan pengrusakan sejumlah rumah masyarakat Suku Sakai. Tanggal 18 Desember 2008. Helikopter beterbangan di atas sambil menjatuhkan bom api di atas rumah milik masyarakat adat Sakai. Ribuan pasukan gabungan (polisi, Satpol PP dan preman bayaran) menggempur Dusun Suluk Bongkal dari darat. Pasukan kepolisian melakukan penggusuran paksa terhadap warga Dusun Suluk Bongkal atas permintaan PT Arara Abadi.
Bongku pemah terlibat aksi pendudukan lahan bersama Serikat Tani Riau pada 2008 dan diputus bersalah
2012
Arara Abadi upayakan mediasi melibatkan Camat Pinggir dan DPRD Bengkalis. Mereka mencapai berbagai kesepahaman dan kesepakatan bersama yang tertuang dalam berita acara. Hal ini menjadi bukti ada kesepakatan penyelesaian sengketa. Perusahaan berupaya memberdayakan masyarakat Sakai, antara lain, kemitraan pengelolaan tanaman kehidupan di sebagian area SK Menteri Kehutanan atas nama Arara Abadi, mempekerjakan masyarakat sebagai tim pencegah kebakaran serta menjalankan sejumlah program Corporate Social Responsibility (CSR).
2013
Arara Abadi memetakan konflik di konsesi dengan masyarakat Sakai, namun nyatanya areal itu justru mereka tanam sendiri dengan akasia dan eukaliptus. PT Arara dan suku Sakai bersepakat menetapkan 7158 hektare kawasan hutan di sekitar Bengkalis sebagai tanah ulayat. Perusahaannya sudah mengecek ke lapangan soal klaim tanah ulayat suku Sakai seluas 7158 hektare. Sekitar 327 hektare disebut berada di area konsesi hutan tanaman industri milik. Menurut hasil pengecekan PT Arara, masyarakat Sakai tak pemah menguasai lahan tersebut. Bahkan lahan yang diklaim suku Sakai sudah dikuasai pihak ketiga.
2015
Pada 11-14 Agustus 2015, Direktorat Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat (PKTHA) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pernah turunkan tim penilai untuk bertemu masyarakat Sakai dan manajemen Arara Abadi. Tim mencatat beberapa hal yaitu, (1) masyarakat Sakai Bathin Beringin menuntut pengembalian wilayah ulayat seluas 2.912 hektar yang diduduki Arara Abadi; (2) Arara Abadi merasa areal konflik sudah selesai melalui skema pembangunan tanaman kehidupan; (3) saat itu masyarakat Sakai Bathin Beringin telah menduduki lahan konflik dengan mendirikan gubuk dan berkebun serta menanam tanaman hortikultura; dan (4) di dalam kelompok Bathin Beringin ada perpecahan yang masing-masing mengklaim bathin paling sah.
2016
a. Untuk menentukan perwakilan 13 bathin yang akan terlibat, Direktur PKTHA bersama tim Gakkum KLHK dan Tim Asesor terdahulu kembali melakukan penilaian pada 18 Mei 2016. Tindak lanjutnya, ditawari skema dialog melalui mediasi. Para pihak sepakat. Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) menunjuk mediator berdasarkan SK. 42/PSKL/PKTHA/PSL.1/10/2016.
b. Pansus Monitoring dan Identifikasi Sengketa Lahan Kehutanan dan Perkebunan di kabupaten Bengkalis DPRD Bengkalis menyatakan bahwa di Kecamatan Mandau dan Pinggir terjadi sengketa lahan. Sengketa lahan terjadi di 5 desa, Desa Tasik Serai Timur, Melibur, Tasik Serai, Beringin dan Serai Wangi dengan PT Arara Abadi dan PT RAL.
Pansus merekomendasikan meminta pemerintah Pemkab Bengkalis mencabut atau sekurang-kurangnya meninjau SK Menhut RI izin PT Arara Abadi seluas 44.138 ha serta meninggalkan tanah adat milik masyarakat persukuan sakai, yang saat ini ditanami bongku, sebesar 7.500 ha di Kecamatan Pinggir. Namun hingga kini belum ada kejelasan dari rekomendasi Pansus.
2017
Pada 11-13 Mei 2017, pertemuan pra mediasi untuk menyepakati tata cara mediasi dan mulai mediasi. Para pihak masih belum menyepakati agenda pembahasan dan masih pada usulan agenda masing-masing.
2019
Bongku Bin Jelodan (Alm) adalah seorang Masyarakat Adat Sakai di Suluk Bongkal, warga RT 01/RW 02, Dusun Suluk Bongkal, Desa Koto Pait Beringin, Kecamatan Talang Mandau, Bengkalis, Riau. Keseharian Bongku adalah bertani tradisional. Untuk menghidupi keluarganya bertanam Ubi Kayu, Bongku menanam Ubi Menggalo (Ubi Racun).
Berawal dari keinginan Bongku membuka lahan untuk ditanami Ubi kayu dan Ubi Menggalo, Bongku menggarap lahan yang merupakan lahan atau tanah ulayat yang saat ini diperjuangkan dan berada di areal Konsesi Hutan Tanam Industri (HTI) PT. Arara Abadi distrik Duri II, Kabupaten Bengkalis. Karena belum memiliki lahan sendiri, Bongku menebang sejumlah pohon eukaliptus dua hari berturut-turut.
Pada Hari Minggu, 3 November 2019, Bongku ditangkap dan ditahan oleh Kepolisian Sektor Pinggir, Kabupaten Bengkalis. Adapun uraian penangkapan sampai dengan melimpahkan Perkara dan disidangkan di Pengadilan Negeri Bengkalis dapat dirincikan sebagai berikut;
1. Bahwa Hari Minggu, 3 November pukul 08.00 WIB, Bongku kembali ke lahan yang hendak ditanami Ubi Kayu dan Ubi Menggalo dengan membawa sebilah parang untuk membersihkan lahan.
2. Sekitar pukul 11.00 WIB, Harianto Pohan, Danton Sekuriti PT Manggala Cipta Persada (MCP), subkontraktor PT Arara Abadi anak usaha Asia Pulp and Paper (APP) yang memiliki konsesi hutan tanaman industri hingga ke sebagian hutan Dusun Suluk Bongkal., bersama anggotanya, Usman, Tobias Tangan dan Supriadi datang menghampiri Bongku dan bertanya mengapa tanaman Akasia dan Eucalyptus ditebang oleh Bongku, lalu Bongku mengatakan bahwa tanah tersebut adalah tanah perjuangan masarakat adat sakai
3. Berbekal bukti sebilah parang dan potongan pohon bekas tebangan, Bongku dibawa ke kantor Distrik Duri II Km 38 untuk dimintai keterangan dan dipertemukan kepada Humas PT. Arara Abadi pada saat itu Edi Mulyono.
4. Pada pukul 15.00 WIB, Bongku dibawa ke kantor Polsek Pinggir oleh 4 orang security dan Humas PT Arara Abadi, Edi Mulyono.
5. Pada Pukul 17.45 WIB, Edi Mulyono membuat laporan dan dimintai keterangan oleh Polsek Pinggir.
6. Pada pukul 18.40 Wib Harianto (security yang menangkap) dimintai keterangan sebagai saksi.
7. Pada pukul 19.30 Wib Usman Bin Marzuki (security yang menangkap) dimintai keterangan sebagai saksi.
8. Mulyono memberitahu Koordinator Planning Survey Arara Abadi Distrik Duri II, Sudarta. Sudarta mengecek lokasi dan mengambil titik koordinat. Hasilnya, Bongku membabat setengah hektar akasia dan eukaliptus di petak D0404 sebagaimana terangkum dalam kesaksian penuntut umum. Luas areal tanam di sana mencapai 29,4 hektar.
2020
9. Perkembangan kasus tersebut telah berlanjut hingga ke meja persidangan di Pengadilan Negeri Bengkalis, Nomor Perkara 89/Pid.B/LH/2020/PN Bls Di Pengadilan Negeri Bengkalis.
10. Berdasarkan Dakwaan Kejaksaan Negeri Bengkalis No: REG.PERKARA.PDM:06/BKS/01/2020, Bongku bin (alm) Jelodan didakwa dengan Dakwaan yang disusun secara Alternatif berupa Dakwaan Kesatu melanggar Pasal 92 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, Atau Dakwaan Kedua melanggar Pasal 82 Ayat (1) huruf b Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, Atau Dakwaan Ketiga melanggar Pasal 82 Ayat (1) huruf c Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
11. Berdasarkan Surat Tuntutan Kejaksaan Negeri Bengkalis Nomor Register Perkara: PDM-06/BKS/01/2020, Jaksa Penuntut Umum berpendapat bahwa dakwaan yang dapat dibuktikan dalam perkara a quo adalah Dakwaan Ketiga yaitu melanggar Pasal 82 Ayat (1) huruf c Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
12. Bongku ditangkap lantaran menebang 20 batang pohon eucalyptus dan akasia milik PT Arara Abadi. Dia kemudian menjadi tersangka dan didakwa pasal UU 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Pak Bongku disidang di Pengadilan Bengkalis pada 24 Februari 2020.
13. Sidang putusan Bongku dilaksanakan pada tanggal 18 Mei 2020. Ketua majelis hakim Endah Karmila Dewi di dampingi dua hakim anggota Zia Ul Jannah dan Aulia Fatma Widhola menyatakan Bongku bin Jelodan bersalah. Bongku dinyatakan melanggar pasal 82 Ayat (1) huruf b Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H).
Pasal itu menyebutkan seseorang yang sengaja menebang pohon di hutan tanpa izin pejabat berwenang akan dihukum maksimal lima tahun penjara dan denda paling banyak Rp 2,5 miliar. Bongku bersalah dengan melakukan penebangan pohon di kawasan hutan tanpa memiliki izin dari pejabat yang berwenang. Dan menjatuhi hukuman 1 tahun penjara denda Rp200 juta dengan ketentuan apabila denda tidak dibayarkan maka diganti kurungan 1 bulan.
Menurut Bongku, eukaliptus dan akasia yang dia tebang dalam lahan adat perjuangan Suku Sakai dan tumbuh liar. Pengakuan Bongku dibenarkan Bathin Beringin Ridwan, Ketua Adat Suku Sakai, yang menjadi saksi meringankan Bongku.
Padahal dalam bagian penjelasan umum undang-undang tersebut jelas disebutkan subyek hukum aturan ini adalah pelaku kejahatan hutan terorganisasi dan korporasi. Apalagi di persidangan terbukti Bongku menebang pohon seorang diri. Justru sebaliknya, dari data putusan lima tahun terakhir, pengadilan ini justru beberapa kali membebaskan pelaku pembakaran hutan, termasuk perusahaan
14. Selanjutnya, hakim memerintahkan agar terdakwa tetap berada dalam tahanan. Kemudian menyerahkan barang bukti berupa 1 bilah parang dan 2 batang pohon eukaliptus yang bekas ditebang. Majelis hakim menegakkan hukum secara kaku, arogan, dan hitam-putih. Bahkan, dalam putusannya, majelis terkesan tidak menghiraukan keterangan saksi dan ahli yang meringankan terdakwa. Putusan ini juga ironis karena barang bukti perkara hanyalah dua batang pohon eukaliptus. Barang bukti ini tidak klop dengan dakwaan jaksa yang menyebutkan Bongku menebang 200 pohon eukaliptus dan akasia dalam konsesi PT Arara Abadi.
Selain itu, Jaksa dianggap lebih utamakan kepentingan Arara Abadi ketimbang kepentingan negara. Pasalnya, dalam pertimbangan memberatkan Bongku jaksa menyebutkan, pohon-pohon yang ditebang mengurangi volume panen Arara Abadi.
15. Tanggal 19 dan 20 Mei muncul ancaman dan tenakanan melalui pesan Whatsapp terhadap mahasiswa yang melakukan aksi solidaritas terhadap bongku, dalam pesan tersebut pelaku meminta agar tidak ikut menyuarakan kasus Bongku. Selain itu mereka juga mendapat pesan ancaman pembunuhan pada 9 Juni
16. Paska putusan Bongku bersama Penasihat Hukum (PH) langsung melakukan upaya banding pada tanggal 22 Mei 2020. Juli, istri Bongku, membawa anak bungsunya dan diantar Uka Sopian ke lapas pada 3 Juni 2020. Mereka membawa surat untuk mencabut kuasa pengacara dan menyatakan menerima keputusan Pengadilan Negeri Bengkalis. Setelah Bongku ttd, Uka dan Juli langsung mendatangu Kejaksaan Negeri bengkalis sekitar pukul 17.00.
Pada tanggal 5 Juni 2020 Bongku mencabut dan tidak melanjutkan banding. Bongku menyatakan tak melanjutkan banding karena rindu pada istri, anak dan keluarga lainnya. Koalisi mengapresiasi atas pilihan Bongku agar bisa bertemu dengan istri dan empat anaknya tersebut.
Hari Senin, 8 Juni 2020 Juli ddan Uka datang ke kantor LBH Pekanbaru untuk menyerahkan surat pencabutan kuasa dan pembatalan banding
17. Lapas kelas II Bengkalis. Bongku Bin Jelodan dinyatakan bebas pada 10 Juni 2020 melaui asimilasi sesuai dengan Permenkumham No 10 tahun 2020 tentang syarat pemberian asimilasi dalam pencegahan dan penanggulangan penyebaran Covid-19 serta Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH-19.PK.0104.04 tahun 2020 tentang pengeluaran dan pembebasan melalui asimilasi dalam rangka pencegahan dan penanggulangan penyebaran Covid-19.
Bongku diputus satu tahun pada Mei kemarin. Sementara selama berjalan proses hukum dia sudah menjalani kurungan selama delapan bulan. Oleh karena itu, Bongku akan menjalani sisa tahanan luar hingga November 2020.
18. Bongku diantar ke penyeberangan Sungai Pakning didampingi oleh Pengacara LBH Pekanbaru karena pihak keluarga tidak bisa menjemput langsung ke Lapas Bengkalis karena keterbatasan biaya. Dari Sungai Pakning, Bongku dijemput langsung pihak Keluarga dan pulang ke Kecamatan Pinggir bersama keluarga. Selama menjalankan program asimilasi, Bongku diminta untuk tetap berada di rumah. Bongku belum dibenarkan untuk beraktifitas di luar rumah selama program asimilasi ini.
19. Bongku merupakan satu diantara warga binaan yang sangat rajin. Bahkan pihak Lapas awalnya berencana jika memang hukumannya lama, Bongku akan dipekerjakan di Lapas Bengkalis.Sebenarnya pihak Lapas Bengkalis juga sempat berdiskusi dengan pengacara Bongku untuk tidak melakukan banding karena hukumannya tidak lama, apalagi sudah menjalani kurungan selama delapan bulan. Jika banding Bongku nantinya akan tetap di tahan sampai ada putusan inkrah, makanya saya sampaikan kepada pengacaranya untuk tidak banding. Karena tidak banding inilah Bongku bisa mendapatkan program asimilasi dan pulang ke rumah.
Pembebasan Bongku masih menyisakan konflik agraria dan tenurial terhadap masyarakat adat di Riau. Pengakuan terhadap wilayah masyarakat adat di provinsi Riau tidak jelas, ini menjadi potensi kriminalisasi terhadap mereka saat mengelola ladang untuk bertahan hidup. Bongku hanya bebas dalam proses hukumnya, ia belum bebas dalam mengelola ladangnya sendiri di tanah ulayat masyarakat adat sakai. Namun DPRD Provinsi Riau akan segera membahas Revisi Perda No.10 tahun 2015 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya
Status kawasan hutan yang disebut sebagai kawasan hutan produksi, walaupun sudah ditetapkan, masih terbuka bagi pelaksanaan klaim masyarakat atas haknya. Masyarakat, termasuk terdakwa Bongku, tidak dapat dipastikan memasuki dan melakukan tindakan ilegal, karena penetapan kawasan hutan negara belum dilakukan pengukuhan dengan mewujudkan dua hal sekaligus, yaitu sah/legal dan diakui legalitasnya oleh masyarakat (legitimate).
Elsam, Walhi Riau, Mongabay, Riauonline, Cakaplah.
LAMPIRAN
--Tidak Ada Lampiran--
RIAU, KAB. BENGKALIS
Nomor Kejadian | : | 24-6-2020 |
Waktu Kejadian | : | 01-06-2020 |
Konflik | : | HTI |
Status Konflik | : | Selesai |
Sektor | : | Hutan Produksi |
Sektor Lain | : | |
Investasi | : | Rp 0,00 |
Luas | : | 0,5 Ha |
Dampak Masyarakat | : | 0 Jiwa |
Confidentiality | : | Public |
KETERLIBATAN
- KLHK
- Polsek Pinggir
- Pemkab Bengkalis
- PT. Arara Abadi distrik Duri II
- Masyarakat Adat Suku Sakai
KONTEN
Suku Sakai dikenal dengan nama â€Uang Daek†(orang darat) atau suku â€Pebatinâ€. Istilah Sakai pada mulanya dipakai oleh tentara Jepang. Jepang menyebut rakyat biasa yang bukan pejuang dengan sebutan orang â€sakaiâ€. Akhirnya nama tersebut melekat pada diri mereka sampai sekarang dan sebutan â€Uang Daek†atau â€Suku Pebatin†menjadi hilang. Suku Sakai memiliki kebudayaan asli yang berbeda dengan Suku bangsa Melayu lainnya di Riau dengan kebudayaan yang telah mengalami akulturasi dengan kebudayaan lainnya. Menurut catatan naskah, sebelum dibentuknya budaya sekarang dalam satu Dasawarsa terakhir, mereka selalu hidup menyendiri di dalam hutan belantara â€Batin Selapan†yang sukar dicapai oleh orang luar dan hanya dikunjungi oleh segelintir orang Melayu
Orang Sakai adalah orang Veddoid yang bercampur dengan orang-orang Minangkabau yang datang bermigrasi pada sekitar abad ke-14 ke daerah Riau. Wilayah Hukum Adat Perbatinan Sakai telah lama diakui jauh sebelum kemaharajaan Kesultanan Siak Sri Indrapura. Oleh karena itu, dalam budaya Sakai mereka mengenal “Hak Ulayat†(Beschikking Recht) yang kekuasaannya berada ditangan persekutuan hukum komunitas Sakai. Namun karena sejak dahulu keberadaan Sakai ini telah terdesak oleh kebudayaan Melayu Siak, Rokan dan Tapung hingga saat ini oleh berbagai kepentingan pembangunan (pertambangan, kehutanan dan perkebunan), maka lambat laun eksistensi Hak Ulayat Suku Sakai semakin memudar.
Sejarah telah membuktikan bahwa dalam “Sakai Gebeit†jelas terlihat pembagian wilayah perbatinan Suku Sakai Batin Selapan dan Batin Lima, kemudian diperkuat lagi dengan “Besluit†Kerajaan Siak Sri Indrapura yang mengakui keberadaan hukum adat Sakai di Kecamatan Mandau sekarang. Berdasarkan bukti histroris atas keberadaan Suku Sangkai, sudah sewajarya “Hak Ulayat†Sakai diakui keberadaannya.
Mata pencaharian pokok Suku Sakai pada dasarnya petani dan pengumpul hasil hutan yang sangat tergantung pada alam. Mata pencaharian lain Suku Sakai adalah berkebun yang dilakukan secara subsistem, khususnya menanam ubi lambau dan ubi menggalau dan menangkap ikan yang kebanyakan untuk konsumsi sendiri. Ubi manggalo biasa ditanam masyarakat pada waktu tanaman padi berumur kira-kira dua bulan. Penanamannya dilakukan berturut-turut setiap hari sampai ladang penuh dengan tanaman ubi manggalo di sela tanaman padi. Ada juga yang menanam ubi manggalo setelah selesai panen padi.
Namun pola hidup suku Sakai berubah sejak pemerintah menerapkan berbagai aturan. Mereka dilarang memburu hewan hutan, yang sebagian sudah berstatus dilindungi.
1996
Mulai adanya konflik masyarakat adat Sakai dengan PT Arara Abadi di Dusun Suluk Bongkal. Padahal PT Arara Abadi berpegang pada batas konsesi sesuai izin dari pemerintah. Perusahaan menebang pohon alam dengan chainsaw, membakar lalu mengganti dengan akasia. Masyarakat Sakai menolak dan beberapa kali menghalau pekerja perusahaan. Mereka justru berhadapan dengan pada aparat keamanan dengan senjata. Masyarakat Sakai tak kuasa membalas dengan fisik. Padahal di sana terdapat tanah leluhur mereka, perkampungan dan bekas berladang yang tidak akan mereka tinggalkan karena suatu saat mereka akan kembali dengan memegang prinsip tebang di muka, hijau di belakang.
2001
Suku Sakai mengajukan kawasan hutan di sekitar Desa Koto Pait Beringin dan desa lain sebagai tanah ulayat. Namun permohonan ini belum dikabulkan pemerintah
2008
Terjadinya penyerangan rumah masyarakat adat. Wakil Ketua Komnas HAM menemukan kejadian pembakaran dan pengrusakan sejumlah rumah masyarakat Suku Sakai. Tanggal 18 Desember 2008. Helikopter beterbangan di atas sambil menjatuhkan bom api di atas rumah milik masyarakat adat Sakai. Ribuan pasukan gabungan (polisi, Satpol PP dan preman bayaran) menggempur Dusun Suluk Bongkal dari darat. Pasukan kepolisian melakukan penggusuran paksa terhadap warga Dusun Suluk Bongkal atas permintaan PT Arara Abadi.
Bongku pemah terlibat aksi pendudukan lahan bersama Serikat Tani Riau pada 2008 dan diputus bersalah
2012
Arara Abadi upayakan mediasi melibatkan Camat Pinggir dan DPRD Bengkalis. Mereka mencapai berbagai kesepahaman dan kesepakatan bersama yang tertuang dalam berita acara. Hal ini menjadi bukti ada kesepakatan penyelesaian sengketa. Perusahaan berupaya memberdayakan masyarakat Sakai, antara lain, kemitraan pengelolaan tanaman kehidupan di sebagian area SK Menteri Kehutanan atas nama Arara Abadi, mempekerjakan masyarakat sebagai tim pencegah kebakaran serta menjalankan sejumlah program Corporate Social Responsibility (CSR).
2013
Arara Abadi memetakan konflik di konsesi dengan masyarakat Sakai, namun nyatanya areal itu justru mereka tanam sendiri dengan akasia dan eukaliptus. PT Arara dan suku Sakai bersepakat menetapkan 7158 hektare kawasan hutan di sekitar Bengkalis sebagai tanah ulayat. Perusahaannya sudah mengecek ke lapangan soal klaim tanah ulayat suku Sakai seluas 7158 hektare. Sekitar 327 hektare disebut berada di area konsesi hutan tanaman industri milik. Menurut hasil pengecekan PT Arara, masyarakat Sakai tak pemah menguasai lahan tersebut. Bahkan lahan yang diklaim suku Sakai sudah dikuasai pihak ketiga.
2015
Pada 11-14 Agustus 2015, Direktorat Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat (PKTHA) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pernah turunkan tim penilai untuk bertemu masyarakat Sakai dan manajemen Arara Abadi. Tim mencatat beberapa hal yaitu, (1) masyarakat Sakai Bathin Beringin menuntut pengembalian wilayah ulayat seluas 2.912 hektar yang diduduki Arara Abadi; (2) Arara Abadi merasa areal konflik sudah selesai melalui skema pembangunan tanaman kehidupan; (3) saat itu masyarakat Sakai Bathin Beringin telah menduduki lahan konflik dengan mendirikan gubuk dan berkebun serta menanam tanaman hortikultura; dan (4) di dalam kelompok Bathin Beringin ada perpecahan yang masing-masing mengklaim bathin paling sah.
2016
a. Untuk menentukan perwakilan 13 bathin yang akan terlibat, Direktur PKTHA bersama tim Gakkum KLHK dan Tim Asesor terdahulu kembali melakukan penilaian pada 18 Mei 2016. Tindak lanjutnya, ditawari skema dialog melalui mediasi. Para pihak sepakat. Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) menunjuk mediator berdasarkan SK. 42/PSKL/PKTHA/PSL.1/10/2016.
b. Pansus Monitoring dan Identifikasi Sengketa Lahan Kehutanan dan Perkebunan di kabupaten Bengkalis DPRD Bengkalis menyatakan bahwa di Kecamatan Mandau dan Pinggir terjadi sengketa lahan. Sengketa lahan terjadi di 5 desa, Desa Tasik Serai Timur, Melibur, Tasik Serai, Beringin dan Serai Wangi dengan PT Arara Abadi dan PT RAL.
Pansus merekomendasikan meminta pemerintah Pemkab Bengkalis mencabut atau sekurang-kurangnya meninjau SK Menhut RI izin PT Arara Abadi seluas 44.138 ha serta meninggalkan tanah adat milik masyarakat persukuan sakai, yang saat ini ditanami bongku, sebesar 7.500 ha di Kecamatan Pinggir. Namun hingga kini belum ada kejelasan dari rekomendasi Pansus.
2017
Pada 11-13 Mei 2017, pertemuan pra mediasi untuk menyepakati tata cara mediasi dan mulai mediasi. Para pihak masih belum menyepakati agenda pembahasan dan masih pada usulan agenda masing-masing.
2019
Bongku Bin Jelodan (Alm) adalah seorang Masyarakat Adat Sakai di Suluk Bongkal, warga RT 01/RW 02, Dusun Suluk Bongkal, Desa Koto Pait Beringin, Kecamatan Talang Mandau, Bengkalis, Riau. Keseharian Bongku adalah bertani tradisional. Untuk menghidupi keluarganya bertanam Ubi Kayu, Bongku menanam Ubi Menggalo (Ubi Racun).
Berawal dari keinginan Bongku membuka lahan untuk ditanami Ubi kayu dan Ubi Menggalo, Bongku menggarap lahan yang merupakan lahan atau tanah ulayat yang saat ini diperjuangkan dan berada di areal Konsesi Hutan Tanam Industri (HTI) PT. Arara Abadi distrik Duri II, Kabupaten Bengkalis. Karena belum memiliki lahan sendiri, Bongku menebang sejumlah pohon eukaliptus dua hari berturut-turut.
Pada Hari Minggu, 3 November 2019, Bongku ditangkap dan ditahan oleh Kepolisian Sektor Pinggir, Kabupaten Bengkalis. Adapun uraian penangkapan sampai dengan melimpahkan Perkara dan disidangkan di Pengadilan Negeri Bengkalis dapat dirincikan sebagai berikut;
1. Bahwa Hari Minggu, 3 November pukul 08.00 WIB, Bongku kembali ke lahan yang hendak ditanami Ubi Kayu dan Ubi Menggalo dengan membawa sebilah parang untuk membersihkan lahan.
2. Sekitar pukul 11.00 WIB, Harianto Pohan, Danton Sekuriti PT Manggala Cipta Persada (MCP), subkontraktor PT Arara Abadi anak usaha Asia Pulp and Paper (APP) yang memiliki konsesi hutan tanaman industri hingga ke sebagian hutan Dusun Suluk Bongkal., bersama anggotanya, Usman, Tobias Tangan dan Supriadi datang menghampiri Bongku dan bertanya mengapa tanaman Akasia dan Eucalyptus ditebang oleh Bongku, lalu Bongku mengatakan bahwa tanah tersebut adalah tanah perjuangan masarakat adat sakai
3. Berbekal bukti sebilah parang dan potongan pohon bekas tebangan, Bongku dibawa ke kantor Distrik Duri II Km 38 untuk dimintai keterangan dan dipertemukan kepada Humas PT. Arara Abadi pada saat itu Edi Mulyono.
4. Pada pukul 15.00 WIB, Bongku dibawa ke kantor Polsek Pinggir oleh 4 orang security dan Humas PT Arara Abadi, Edi Mulyono.
5. Pada Pukul 17.45 WIB, Edi Mulyono membuat laporan dan dimintai keterangan oleh Polsek Pinggir.
6. Pada pukul 18.40 Wib Harianto (security yang menangkap) dimintai keterangan sebagai saksi.
7. Pada pukul 19.30 Wib Usman Bin Marzuki (security yang menangkap) dimintai keterangan sebagai saksi.
8. Mulyono memberitahu Koordinator Planning Survey Arara Abadi Distrik Duri II, Sudarta. Sudarta mengecek lokasi dan mengambil titik koordinat. Hasilnya, Bongku membabat setengah hektar akasia dan eukaliptus di petak D0404 sebagaimana terangkum dalam kesaksian penuntut umum. Luas areal tanam di sana mencapai 29,4 hektar.
2020
9. Perkembangan kasus tersebut telah berlanjut hingga ke meja persidangan di Pengadilan Negeri Bengkalis, Nomor Perkara 89/Pid.B/LH/2020/PN Bls Di Pengadilan Negeri Bengkalis.
10. Berdasarkan Dakwaan Kejaksaan Negeri Bengkalis No: REG.PERKARA.PDM:06/BKS/01/2020, Bongku bin (alm) Jelodan didakwa dengan Dakwaan yang disusun secara Alternatif berupa Dakwaan Kesatu melanggar Pasal 92 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, Atau Dakwaan Kedua melanggar Pasal 82 Ayat (1) huruf b Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, Atau Dakwaan Ketiga melanggar Pasal 82 Ayat (1) huruf c Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
11. Berdasarkan Surat Tuntutan Kejaksaan Negeri Bengkalis Nomor Register Perkara: PDM-06/BKS/01/2020, Jaksa Penuntut Umum berpendapat bahwa dakwaan yang dapat dibuktikan dalam perkara a quo adalah Dakwaan Ketiga yaitu melanggar Pasal 82 Ayat (1) huruf c Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
12. Bongku ditangkap lantaran menebang 20 batang pohon eucalyptus dan akasia milik PT Arara Abadi. Dia kemudian menjadi tersangka dan didakwa pasal UU 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Pak Bongku disidang di Pengadilan Bengkalis pada 24 Februari 2020.
13. Sidang putusan Bongku dilaksanakan pada tanggal 18 Mei 2020. Ketua majelis hakim Endah Karmila Dewi di dampingi dua hakim anggota Zia Ul Jannah dan Aulia Fatma Widhola menyatakan Bongku bin Jelodan bersalah. Bongku dinyatakan melanggar pasal 82 Ayat (1) huruf b Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H).
Pasal itu menyebutkan seseorang yang sengaja menebang pohon di hutan tanpa izin pejabat berwenang akan dihukum maksimal lima tahun penjara dan denda paling banyak Rp 2,5 miliar. Bongku bersalah dengan melakukan penebangan pohon di kawasan hutan tanpa memiliki izin dari pejabat yang berwenang. Dan menjatuhi hukuman 1 tahun penjara denda Rp200 juta dengan ketentuan apabila denda tidak dibayarkan maka diganti kurungan 1 bulan.
Menurut Bongku, eukaliptus dan akasia yang dia tebang dalam lahan adat perjuangan Suku Sakai dan tumbuh liar. Pengakuan Bongku dibenarkan Bathin Beringin Ridwan, Ketua Adat Suku Sakai, yang menjadi saksi meringankan Bongku.
Padahal dalam bagian penjelasan umum undang-undang tersebut jelas disebutkan subyek hukum aturan ini adalah pelaku kejahatan hutan terorganisasi dan korporasi. Apalagi di persidangan terbukti Bongku menebang pohon seorang diri. Justru sebaliknya, dari data putusan lima tahun terakhir, pengadilan ini justru beberapa kali membebaskan pelaku pembakaran hutan, termasuk perusahaan
14. Selanjutnya, hakim memerintahkan agar terdakwa tetap berada dalam tahanan. Kemudian menyerahkan barang bukti berupa 1 bilah parang dan 2 batang pohon eukaliptus yang bekas ditebang. Majelis hakim menegakkan hukum secara kaku, arogan, dan hitam-putih. Bahkan, dalam putusannya, majelis terkesan tidak menghiraukan keterangan saksi dan ahli yang meringankan terdakwa. Putusan ini juga ironis karena barang bukti perkara hanyalah dua batang pohon eukaliptus. Barang bukti ini tidak klop dengan dakwaan jaksa yang menyebutkan Bongku menebang 200 pohon eukaliptus dan akasia dalam konsesi PT Arara Abadi.
Selain itu, Jaksa dianggap lebih utamakan kepentingan Arara Abadi ketimbang kepentingan negara. Pasalnya, dalam pertimbangan memberatkan Bongku jaksa menyebutkan, pohon-pohon yang ditebang mengurangi volume panen Arara Abadi.
15. Tanggal 19 dan 20 Mei muncul ancaman dan tenakanan melalui pesan Whatsapp terhadap mahasiswa yang melakukan aksi solidaritas terhadap bongku, dalam pesan tersebut pelaku meminta agar tidak ikut menyuarakan kasus Bongku. Selain itu mereka juga mendapat pesan ancaman pembunuhan pada 9 Juni
16. Paska putusan Bongku bersama Penasihat Hukum (PH) langsung melakukan upaya banding pada tanggal 22 Mei 2020. Juli, istri Bongku, membawa anak bungsunya dan diantar Uka Sopian ke lapas pada 3 Juni 2020. Mereka membawa surat untuk mencabut kuasa pengacara dan menyatakan menerima keputusan Pengadilan Negeri Bengkalis. Setelah Bongku ttd, Uka dan Juli langsung mendatangu Kejaksaan Negeri bengkalis sekitar pukul 17.00.
Pada tanggal 5 Juni 2020 Bongku mencabut dan tidak melanjutkan banding. Bongku menyatakan tak melanjutkan banding karena rindu pada istri, anak dan keluarga lainnya. Koalisi mengapresiasi atas pilihan Bongku agar bisa bertemu dengan istri dan empat anaknya tersebut.
Hari Senin, 8 Juni 2020 Juli ddan Uka datang ke kantor LBH Pekanbaru untuk menyerahkan surat pencabutan kuasa dan pembatalan banding
17. Lapas kelas II Bengkalis. Bongku Bin Jelodan dinyatakan bebas pada 10 Juni 2020 melaui asimilasi sesuai dengan Permenkumham No 10 tahun 2020 tentang syarat pemberian asimilasi dalam pencegahan dan penanggulangan penyebaran Covid-19 serta Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH-19.PK.0104.04 tahun 2020 tentang pengeluaran dan pembebasan melalui asimilasi dalam rangka pencegahan dan penanggulangan penyebaran Covid-19.
Bongku diputus satu tahun pada Mei kemarin. Sementara selama berjalan proses hukum dia sudah menjalani kurungan selama delapan bulan. Oleh karena itu, Bongku akan menjalani sisa tahanan luar hingga November 2020.
18. Bongku diantar ke penyeberangan Sungai Pakning didampingi oleh Pengacara LBH Pekanbaru karena pihak keluarga tidak bisa menjemput langsung ke Lapas Bengkalis karena keterbatasan biaya. Dari Sungai Pakning, Bongku dijemput langsung pihak Keluarga dan pulang ke Kecamatan Pinggir bersama keluarga. Selama menjalankan program asimilasi, Bongku diminta untuk tetap berada di rumah. Bongku belum dibenarkan untuk beraktifitas di luar rumah selama program asimilasi ini.
19. Bongku merupakan satu diantara warga binaan yang sangat rajin. Bahkan pihak Lapas awalnya berencana jika memang hukumannya lama, Bongku akan dipekerjakan di Lapas Bengkalis.Sebenarnya pihak Lapas Bengkalis juga sempat berdiskusi dengan pengacara Bongku untuk tidak melakukan banding karena hukumannya tidak lama, apalagi sudah menjalani kurungan selama delapan bulan. Jika banding Bongku nantinya akan tetap di tahan sampai ada putusan inkrah, makanya saya sampaikan kepada pengacaranya untuk tidak banding. Karena tidak banding inilah Bongku bisa mendapatkan program asimilasi dan pulang ke rumah.
Pembebasan Bongku masih menyisakan konflik agraria dan tenurial terhadap masyarakat adat di Riau. Pengakuan terhadap wilayah masyarakat adat di provinsi Riau tidak jelas, ini menjadi potensi kriminalisasi terhadap mereka saat mengelola ladang untuk bertahan hidup. Bongku hanya bebas dalam proses hukumnya, ia belum bebas dalam mengelola ladangnya sendiri di tanah ulayat masyarakat adat sakai. Namun DPRD Provinsi Riau akan segera membahas Revisi Perda No.10 tahun 2015 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya
Status kawasan hutan yang disebut sebagai kawasan hutan produksi, walaupun sudah ditetapkan, masih terbuka bagi pelaksanaan klaim masyarakat atas haknya. Masyarakat, termasuk terdakwa Bongku, tidak dapat dipastikan memasuki dan melakukan tindakan ilegal, karena penetapan kawasan hutan negara belum dilakukan pengukuhan dengan mewujudkan dua hal sekaligus, yaitu sah/legal dan diakui legalitasnya oleh masyarakat (legitimate).
Elsam, Walhi Riau, Mongabay, Riauonline, Cakaplah.
LAMPIRAN
--Tidak Ada Lampiran-- |