Konflik PG Cinta Manis, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan
SUMATERA SELATAN, KAB. OGAN ILIR
Nomor Kejadian
:
018ARC
Waktu Kejadian
:
01-01-1981
Konflik
:
PTPN,Eks-Perkebunan
Status Konflik
:
Dalam ProsesHukum
Sektor
:
Perkebunan
Sektor Lain
:
Investasi
:
Rp 0,00
Luas
:
15.000,00 Ha
Dampak Masyarakat
:
1.000 Jiwa
Confidentiality
:
Public
KETERLIBATAN
- Pemerintah Republik Indonesia
- Gubernur Sumatera Selatan
- Kabupaten Ogan Ilir
- Aparat Kepolisian
- Koordinator Menteri Perekonomian Periode 2009-2014
- Badan Pertanahan Nasional (BPN)
- PT Perkebunan Nusantara VII (PTPN VII)
- PG Cinta Manis
- Gerakan Petani Penesak Bersatu (GPPB)
- Wahana Lingkungan Hidup (WALHI)
- Serikat Petani Indonesia (SPI)
- Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
- Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI)
KONTEN
Pada awal mulanya PTPN VII merupakan bekas perkebunan kolonial Belanda. Masyarakat yang menjadi pekerja-pekerja paksa di perkebunan Belanda itu masih menggarap lahan hingga 1942, ketika Belanda menyerah kepada Jepang. Nasionalisasi perkebunan eks hak erfpacht tersebut baru dapat dinasionalisasi pada 10 November 1957. Secara legal formal diterbitkan lah PP No. 14 yang dilanjutkan PP No. 114-175 pada tahun 1959. Kemudian, perkebuanan tersebut dibagi menjadi beberapa unit-unit usaha berdasarkan jenis komoditas pada tahun 1963 yang banyak di antaranya adalah perkebunan karet.
Masyarakat yang tergabung dalam Gerakan Petani Penesak Bersatu (GPPB) telah menggarap lahan perkebunan tersebut secara turun temurun menanam tanaman karet, padi dan buah jenis nanas. Pengaplingan batas-batas perkebunan yang dilakukan oleh masyarakat pada awalnya hanya menggunakan batang bambu tanpa bukti legal hukum (sertifikat). Perkebunan karet sangat rentan terhadap api sehingga ketika musim kemarau panjang, tak jarang banyak perkebunan karet milik masyarakat yang terbakar. Selain itu, khusus masyarakat di Desa Rengas dan Tanjung Atap juga memiliki kawasan hutan seluas 25 Ha yang disebut hutan ramuan. Dan dimiliki secara komunal di bawah kontrol desa. Adapula lahan yang dikhususkan untuk disewakan kepada siapapun untuk diusahakan.
PT Perkebunan Nusantara (PN) VII merupakan penggabungan dari PT Perkebunan X, PT Perkebunan XXXI, Proyek Pengembangan PT Perkebunan XI di Kabupaten Lahat dan Proyek Pengembangan PT Perkebunan di Provinsi Bengkulu. Pada tahun 1981 PT Perkebunan XXI-XXII mendapat pencadangan tanah melalui Surat Keputusan (SK) Gubernur KDH tingkat I Sumatera Selatan No. 379/KPTS/1981 untuk proyek pabrik gula. Pencadangan lokasi ini berada di 3 lokasi yang berbeda. Lokasi 1 seluas 7.289 Ha, Lokasi 2 seluas 9.500 Ha, dan Lokasi 3 seluas 3.500 Ha dengan total luas 20.289 Ha. Kemudian, Bupati Kabupaten Ogan Ilir memerintahkan untuk melakukan inventarisasi tanah, tanam, tumbuh, dan bangunan rakyat terhadap lokasi yang akan dibebaskan PT Perkebunan XXI-XXII di lima desa yang berada di Kecamatan Tanjung Batu dan Muara Kuang, dan membayar ganti rugi kepada lahan-lahan masyarakat yang masuk ke dalam luas wilayah yang akan dibebaskan tersebut.
Pada tahun 1991, PT Perkebunan XXI-XXII (PTPN VII yang selanjutnya disebut PG. Cinta Manis) – yang merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), mengajukan Hak Guna Usaha (HGU) di atas lahan yang berada di tiga lokasi tersebut. Kemudian, pemerintah pada saat itu mempertimbangkan lahan seluas sekatar 6.512 Ha yang berada di Lokasi 1 untuk diberikan HGU pada tahun 1995 No.1/1995 di Desa Burai, Kecamatan Rantau Alai. Namun, sekitar 13.500 Ha turut diklaim oleh PG Cinta Manis – yang tidak termasuk ke dalam HGU.
Konflik diawali ketika proses pengukuran dilakukan oleh PG Cinta Manis dan petani setempat untuk dapat menghitung besaran ganti rugi yang akan diterima oleh petani kemudian. Pihak PG Cinta Manis tidak menghitung pengukuran di bagian pinggir lahan-lahan yang dipenuhi oleh aliran sungai kecil selebar 25 meter (bagian kanan dan kiri sungai). Dengan demikian terjadi pengurangan pengukuran seluas 50 meter di sepanjang sungai-sungai tersebut karena dianggap tidak cocok untuk ditanami tebu, total luasan tersebut kurang lebih mencapai 30.000 Ha. Akan tetapi, wilayah yang tidak dihitung tersebut tetap diklaim masuk wilayah perkebunan (dan di luar HGU) dan menjadi wilayah terlarang untuk dimasuki oleh masyarakat.
Pembebasan tersebut berlangsung pada tahun 1982 sampai tahun 1985 yang dilakukan secara paksa dan melibatkan aparat keamanan. Sebelumnya, petani meminta untuk pembebasan ditunda untuk menunggu tanaman-tanaman mencapai musim panen. Akan tetapi, dengan menggunakan alat berat, pihak perusahaan tidak segan-segan membabat lahan yang telah ditanami oleh masyarakat ketika pada saat itu padi-padi yang ditanam mulai siap tuai dan begitu juga dengan nanas yang ditanam sudah siap dipanen. Meskipun masyarakat melawan, tetapi pembebasan lahan tetap dilakukan hingga selesai oleh perusahaan.
Masyarakat petani yang tergabung dalam GPPB mengakui proses ganti rugi yang diselesaikan oleh PG Cinta Manis baru sekitar 20%. Masyarakat yang merasa tidak puas pun mengajukan hingga ke tingkat kasasi. Dari 30.000 Ha yang dituntut hanya 40 Ha yang berhasil dimenangkan, yaitu lahan yang berada di Desa Rengas. Sisa wilayah yang tidak dimenangkan tetap dikelola oleh PG Cinta Manis karena sudah membayar ganti rugi yang dititipkan ke pengadilan. Biaya ganti rugi pun ternyata bukan berdasarkan luas lahan, akan tetapi berdasarkan tegakan tanaman dan jenis tanaman yang ditanami oleh masyarakat sehingga lahan yang masyarakat yang tidak ditanami karena akibat kebakaran hutan tidak mendapat ganti rugi. Hingga tahun 2000 proses ganti rugi tersebut penuh dengan masalah semenjak awal pembebasan lahan.
Masyarakat sempat berhenti melakukan perlawanan atau memperjuangkan lahan yang dilakukan sejak tahun 1982. Namun, pada tahun 2009, masyarakat Desa Rengas kembali mengorganisir diri untuk mereklaim atau pendudukan lahan kembali seluas 15.000 Ha pada 14 Desember 2009. Aparat kepolisian yang berpihak pada perusahaan pun menghancurkan pondok-pondok masyarakat di atas lahan yang direklaim. Benturan fisik dan penembakan pun terjadi hingga jatuh korban yang kehilangan jari tangan akibat penembakan tersebut. Aksi reklaim ini membuahkan hasil sehingga 15.000 Ha lahan yang direklaim dapat diredistribusikan oleh masyarakat sebanyak 2 Ha kepada setiap Kepala Keluarga (KK) untuk ditanami karet.
Berbeda dengan kondisi di desa lain yang juga masuk ke dalam HGU PG. Cinta Manis. Banyak di antara masyarakat dari desa yang berada di 7 kecamatan di atas alas HGU PG. Cinta Mas kehilangan sumber penghidupannya. Upaya penyelesaian sempat dilakukan oleh pemerintah melalui Menteri Ekonomi, Hatta Rajasa, pada 2012 yang tidak menghasilkan dan menyelesaikan apa-apa. Konflik fisik masih kerap terjadi, bahkan pada tahun 2012 satu orang tewas tertembak peluru panas polisi di Desa Limbang Jaya dan penangkapan terhadap 9 petani. Upaya lain juga ditempuh oleh GPPB melalui BPN RI untuk cek kembali laporan-laporan petani dengan tindak lanjut dari pemerintah untuk mengevaluasi wilayah HGU PG. Cinta Mas, dan lahan yang belum ada HGU untuk diberikan kepada masyarakat. Selain itu, masyarakat juga diperbolehkan untuk mengamankan wilayah batas desa masing-masing dan memanfaatkan lahannya, hanya saja bukan berarti memiliki. Setiap upaya yang dilakukan oleh GPPB juga turut dibantu oleh beberapa lembaga, seperti WALHI. Serikat Petani Indonesia (SPI), dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), serta Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
Noer Fauzi Rachman, Eko Cahyono, dan Swanvri. 2014. Pahitnya Gula Cinta Manis: Analisa Struktural Konflik Agraria ‘Cinta Manis’. Working Paper Sajogyo Institute No. 15: Bogor; Sapariah Saturi. 2012. http://www.mongabay.co.id/2012/08/02/interogasi-dan-penembakan-sisakan-trauma-bagi-warga-ogan-ilir/. Diakses pada 14 Mei 2018.
LAMPIRAN
--Tidak Ada Lampiran--
SUMATERA SELATAN, KAB. OGAN ILIR
Nomor Kejadian | : | 018ARC |
Waktu Kejadian | : | 01-01-1981 |
Konflik | : | PTPN,Eks-Perkebunan |
Status Konflik | : | Dalam ProsesHukum |
Sektor | : | Perkebunan |
Sektor Lain | : | |
Investasi | : | Rp 0,00 |
Luas | : | 15.000,00 Ha |
Dampak Masyarakat | : | 1.000 Jiwa |
Confidentiality | : | Public |
KETERLIBATAN
- Pemerintah Republik Indonesia
- Gubernur Sumatera Selatan
- Kabupaten Ogan Ilir
- Aparat Kepolisian
- Koordinator Menteri Perekonomian Periode 2009-2014
- Badan Pertanahan Nasional (BPN)
- PT Perkebunan Nusantara VII (PTPN VII)
- PG Cinta Manis
- Gerakan Petani Penesak Bersatu (GPPB)
- Wahana Lingkungan Hidup (WALHI)
- Serikat Petani Indonesia (SPI)
- Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
- Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI)
KONTEN
Pada awal mulanya PTPN VII merupakan bekas perkebunan kolonial Belanda. Masyarakat yang menjadi pekerja-pekerja paksa di perkebunan Belanda itu masih menggarap lahan hingga 1942, ketika Belanda menyerah kepada Jepang. Nasionalisasi perkebunan eks hak erfpacht tersebut baru dapat dinasionalisasi pada 10 November 1957. Secara legal formal diterbitkan lah PP No. 14 yang dilanjutkan PP No. 114-175 pada tahun 1959. Kemudian, perkebuanan tersebut dibagi menjadi beberapa unit-unit usaha berdasarkan jenis komoditas pada tahun 1963 yang banyak di antaranya adalah perkebunan karet.
Masyarakat yang tergabung dalam Gerakan Petani Penesak Bersatu (GPPB) telah menggarap lahan perkebunan tersebut secara turun temurun menanam tanaman karet, padi dan buah jenis nanas. Pengaplingan batas-batas perkebunan yang dilakukan oleh masyarakat pada awalnya hanya menggunakan batang bambu tanpa bukti legal hukum (sertifikat). Perkebunan karet sangat rentan terhadap api sehingga ketika musim kemarau panjang, tak jarang banyak perkebunan karet milik masyarakat yang terbakar. Selain itu, khusus masyarakat di Desa Rengas dan Tanjung Atap juga memiliki kawasan hutan seluas 25 Ha yang disebut hutan ramuan. Dan dimiliki secara komunal di bawah kontrol desa. Adapula lahan yang dikhususkan untuk disewakan kepada siapapun untuk diusahakan.
PT Perkebunan Nusantara (PN) VII merupakan penggabungan dari PT Perkebunan X, PT Perkebunan XXXI, Proyek Pengembangan PT Perkebunan XI di Kabupaten Lahat dan Proyek Pengembangan PT Perkebunan di Provinsi Bengkulu. Pada tahun 1981 PT Perkebunan XXI-XXII mendapat pencadangan tanah melalui Surat Keputusan (SK) Gubernur KDH tingkat I Sumatera Selatan No. 379/KPTS/1981 untuk proyek pabrik gula. Pencadangan lokasi ini berada di 3 lokasi yang berbeda. Lokasi 1 seluas 7.289 Ha, Lokasi 2 seluas 9.500 Ha, dan Lokasi 3 seluas 3.500 Ha dengan total luas 20.289 Ha. Kemudian, Bupati Kabupaten Ogan Ilir memerintahkan untuk melakukan inventarisasi tanah, tanam, tumbuh, dan bangunan rakyat terhadap lokasi yang akan dibebaskan PT Perkebunan XXI-XXII di lima desa yang berada di Kecamatan Tanjung Batu dan Muara Kuang, dan membayar ganti rugi kepada lahan-lahan masyarakat yang masuk ke dalam luas wilayah yang akan dibebaskan tersebut.
Pada tahun 1991, PT Perkebunan XXI-XXII (PTPN VII yang selanjutnya disebut PG. Cinta Manis) – yang merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), mengajukan Hak Guna Usaha (HGU) di atas lahan yang berada di tiga lokasi tersebut. Kemudian, pemerintah pada saat itu mempertimbangkan lahan seluas sekatar 6.512 Ha yang berada di Lokasi 1 untuk diberikan HGU pada tahun 1995 No.1/1995 di Desa Burai, Kecamatan Rantau Alai. Namun, sekitar 13.500 Ha turut diklaim oleh PG Cinta Manis – yang tidak termasuk ke dalam HGU.
Konflik diawali ketika proses pengukuran dilakukan oleh PG Cinta Manis dan petani setempat untuk dapat menghitung besaran ganti rugi yang akan diterima oleh petani kemudian. Pihak PG Cinta Manis tidak menghitung pengukuran di bagian pinggir lahan-lahan yang dipenuhi oleh aliran sungai kecil selebar 25 meter (bagian kanan dan kiri sungai). Dengan demikian terjadi pengurangan pengukuran seluas 50 meter di sepanjang sungai-sungai tersebut karena dianggap tidak cocok untuk ditanami tebu, total luasan tersebut kurang lebih mencapai 30.000 Ha. Akan tetapi, wilayah yang tidak dihitung tersebut tetap diklaim masuk wilayah perkebunan (dan di luar HGU) dan menjadi wilayah terlarang untuk dimasuki oleh masyarakat.
Pembebasan tersebut berlangsung pada tahun 1982 sampai tahun 1985 yang dilakukan secara paksa dan melibatkan aparat keamanan. Sebelumnya, petani meminta untuk pembebasan ditunda untuk menunggu tanaman-tanaman mencapai musim panen. Akan tetapi, dengan menggunakan alat berat, pihak perusahaan tidak segan-segan membabat lahan yang telah ditanami oleh masyarakat ketika pada saat itu padi-padi yang ditanam mulai siap tuai dan begitu juga dengan nanas yang ditanam sudah siap dipanen. Meskipun masyarakat melawan, tetapi pembebasan lahan tetap dilakukan hingga selesai oleh perusahaan.
Masyarakat petani yang tergabung dalam GPPB mengakui proses ganti rugi yang diselesaikan oleh PG Cinta Manis baru sekitar 20%. Masyarakat yang merasa tidak puas pun mengajukan hingga ke tingkat kasasi. Dari 30.000 Ha yang dituntut hanya 40 Ha yang berhasil dimenangkan, yaitu lahan yang berada di Desa Rengas. Sisa wilayah yang tidak dimenangkan tetap dikelola oleh PG Cinta Manis karena sudah membayar ganti rugi yang dititipkan ke pengadilan. Biaya ganti rugi pun ternyata bukan berdasarkan luas lahan, akan tetapi berdasarkan tegakan tanaman dan jenis tanaman yang ditanami oleh masyarakat sehingga lahan yang masyarakat yang tidak ditanami karena akibat kebakaran hutan tidak mendapat ganti rugi. Hingga tahun 2000 proses ganti rugi tersebut penuh dengan masalah semenjak awal pembebasan lahan.
Masyarakat sempat berhenti melakukan perlawanan atau memperjuangkan lahan yang dilakukan sejak tahun 1982. Namun, pada tahun 2009, masyarakat Desa Rengas kembali mengorganisir diri untuk mereklaim atau pendudukan lahan kembali seluas 15.000 Ha pada 14 Desember 2009. Aparat kepolisian yang berpihak pada perusahaan pun menghancurkan pondok-pondok masyarakat di atas lahan yang direklaim. Benturan fisik dan penembakan pun terjadi hingga jatuh korban yang kehilangan jari tangan akibat penembakan tersebut. Aksi reklaim ini membuahkan hasil sehingga 15.000 Ha lahan yang direklaim dapat diredistribusikan oleh masyarakat sebanyak 2 Ha kepada setiap Kepala Keluarga (KK) untuk ditanami karet.
Berbeda dengan kondisi di desa lain yang juga masuk ke dalam HGU PG. Cinta Manis. Banyak di antara masyarakat dari desa yang berada di 7 kecamatan di atas alas HGU PG. Cinta Mas kehilangan sumber penghidupannya. Upaya penyelesaian sempat dilakukan oleh pemerintah melalui Menteri Ekonomi, Hatta Rajasa, pada 2012 yang tidak menghasilkan dan menyelesaikan apa-apa. Konflik fisik masih kerap terjadi, bahkan pada tahun 2012 satu orang tewas tertembak peluru panas polisi di Desa Limbang Jaya dan penangkapan terhadap 9 petani. Upaya lain juga ditempuh oleh GPPB melalui BPN RI untuk cek kembali laporan-laporan petani dengan tindak lanjut dari pemerintah untuk mengevaluasi wilayah HGU PG. Cinta Mas, dan lahan yang belum ada HGU untuk diberikan kepada masyarakat. Selain itu, masyarakat juga diperbolehkan untuk mengamankan wilayah batas desa masing-masing dan memanfaatkan lahannya, hanya saja bukan berarti memiliki. Setiap upaya yang dilakukan oleh GPPB juga turut dibantu oleh beberapa lembaga, seperti WALHI. Serikat Petani Indonesia (SPI), dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), serta Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
Noer Fauzi Rachman, Eko Cahyono, dan Swanvri. 2014. Pahitnya Gula Cinta Manis: Analisa Struktural Konflik Agraria ‘Cinta Manis’. Working Paper Sajogyo Institute No. 15: Bogor; Sapariah Saturi. 2012. http://www.mongabay.co.id/2012/08/02/interogasi-dan-penembakan-sisakan-trauma-bagi-warga-ogan-ilir/. Diakses pada 14 Mei 2018.
LAMPIRAN
--Tidak Ada Lampiran-- |