DATA DETIL
tanah Masyarakat Adat sembahulun dari Masa ke Masa

 NUSA TENGGARA BARAT, KAB. LOMBOK TIMUR

Nomor Kejadian :  54
Waktu Kejadian :  24-09-2014
Konflik :  Taman Nasional,Cagar Alam
Status Konflik :  Belum Ditangani
Sektor :  Hutan Konservasi
Sektor Lain  :  
Luas  :  8.000,00 Ha
Dampak Masyarakat  :  13.000 Jiwa
Confidentiality  :  Public

KETERLIBATAN

  • Menteri Kehutanan (Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan)
  • Kepala Balai Taman Nasional Rinjani
  • Bupati Lombok Timur
  • Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Lombok Timur
  • Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Lombok Timur
  • PT Sampoerna Agro
  • Masyarakat Adat Kemangkuan Tanah Sembahulun

KONTEN

Pada 12 Maret 1941 melalui Surat Keputusan Nomor 15 (Staatsblad No.77), Pemerintah Hindia Belanda menetapkan kawasan Gunung Rinjani menjadi Kawasan Suaka Marga Satwa. Penetapan itu dilakukan dengan alasan melindungi ekosistem di kawasan hutan Gunung Rinjani. Namun, penetapan itu justru mengubah sistem pranata sosial masyarakat Sembahulun.
Setelah penetapan UU No. 22 Tahun 1975 tentang Pembentukan Desa, wajah masyarakat adat Sembahulun kembali berubah. Fungsi dan peran lembaga adat menjadi lemah, dan beralih menjadi fungsi dan peran administrasi dalam kegiatan pemerintah desa. Misalnya, pemekel (pemimpin adat) berubah menjadi kepala desa, lalu pemangku adat menjadi Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa, dan penghulu menjadi Lembaga Musyawarah Desa. Tak berhenti di situ, ketersingkiran MHA Sembahulun bertambah dengan pasca keluarnya Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 280/kpts-VI/1997 1990 yang menyatakan bahwa Gunung Rinjani dinyatakan sebagai Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR). Penetapan TNGR itu membatasi masyarakat sehingga tidak dapat memasuki hutan secara leluasa terutama untuk memanfaatkan kekayaan di dalamnya, baik untuk tujuan spiritual maupun ekonomi.

Masyarakat adat Sembahulun telah mendiami Gunung Rinjani dan berkegiatan di dalam hutannya sejak abad ke-13 masehi. Melalui tradisi lisan, masyarakat Sembahulun menguatkan bukti sebagai pemilik sah Kawasan Gunung Rinjani. Penguasaan negara atas tanah masyarakat adat Sembahulun secara sistemik menghilangkan identitas dan memori atas tanah dan kepemilikan tanah-airnya. Pada 1980, Dinas Perkebunan dan Pertanian Kabupaten Lombok Timur memperkenalkan program penanaman bibit kopi. Setelah itu warga menanam kopi sesuai mekanisme pemerintah. Ketika hasil dari kopi itu menjanjikan, peraturan berubah dan warga perlu membayar tagihan dari petugas dinas perkebunan. Tak sedikit warga yang kemudian melepas tanahnya untuk bisa membayar biji kopi yang mereka tanam atas sumbangan pemerintah daerah.

Negaraisasi atas tanah MHA Tanaq Sembaluhun berdampak pada hilangnya akses masyarakat atas hutan adat, menghilangkan sumber pencaharian ekonomi, merusak lingkungan hidup dan mata air di sekitar hutan Gunung Rinjani, serta mendorong migrasi para perempuan adat Sembahulun menjadi buruh migran. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 menganulir pernyataan bahwa hutan adat bukanlah hutan negara. Putusan ini menjadi alas legitimasi untuk menuntut pengembalian hak-hak MHA atas hutan adat yang diklaim sebagai hutan negara. Semenjak terbitnya putusan itu, masyarakat adat mencari tanah-tanah mereka yang dulu (di)hilang(kan).


Sajogyo Institute

LAMPIRAN

--Tidak Ada Lampiran--