Sengketa Lahan Antara PT Sumber Manggis dan Masyarakat Desa Jogomulyan, Malang
JAWA TIMUR, KAB. MALANG
Nomor Kejadian
:
020ARC
Waktu Kejadian
:
01-01-1965
Konflik
:
Eks-Perkebunan
Status Konflik
:
Selesai
Sektor
:
Perkebunan
Sektor Lain
:
Investasi
:
Rp 0,00
Luas
:
526,00 Ha
Dampak Masyarakat
:
0 Jiwa
Confidentiality
:
Public
KETERLIBATAN
- Pemerintah Desa Jogomulyan
- Menteri Pertanian dan Agraria
- Menteri Dalam Negeri
- Dirjen Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah (PUOD)
- Kantor Pertanahan Nasional Jawa Timur
- Badan Pertanahan Nasional (BPN) Malang
- Pemerintah Desa Jogomulyan
- PT Sumber Manggis
- Sutikto (Pemimpin Kelompok Tani Desa Jogomulyan)
- Panitia Pemohon Penggarap Tanah (P3T)
- Ir. Dwi Putranda
- Masyarakat Petani Penggarap Desa Jogomulyan
KONTEN
Perkebunan yang berada di Desa Jogomulyan, Kecamatan Tirtoyudo, Malang, pada awal mulanya merupakan sebuah perkebunan yang dikuasai oleh kolonial Belanda yang diberikan melalui hak erfpacht, namun kemudian karena Belanda pada tahun 1942 menyerah tanpa syarat kepada penjajah Jepang lahan perkebunan menjadi terlantar. Setelah kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, masyarakat petani yang dahulu menjadi pekerja paksa perkebunan Belanda tersebut mulai memberanikan dan mengorganisir diri mereka untuk menguasai perkebunan bekas hak erfpacht tersebut. Masyarakat mulai menanami tanaman yang mereka inginkan, yang pada umumnya berupa tanaman pangan seperti padi dan ketela.
Pada 1950, perusahaan Belanda tersebut kembali mereklaim hak erfpacht atas perkebunan di Desa Jogomulyan seluas kurang lebih 526 Ha. Pada saat itu, tanpa melibatkan masyarakat petani, kesepakatan yang dihasilkan atas perundingan dengan pihak desa dan kepolisian dengan pihak perkebunan seorang Belanda menyatakan bahwa perkebunan diberikan kembali kepada perusahaan Belanda karena memang hak erfpacht yang dimiliki oleh perusahaan tersebut masih tersisa 9 tahun sampai pada tahun 1959, meskipun kesepakatan tersebut hanya berupa kesepakatan secara lisan saja tanpa bukti tinta hitam di atas kertas putih. Melalui kesepakatan itu pula pihak perusahaan Belanda berjanji untuk mengembalikan hak kelola perkebunan di Desa Jogomulyan kepada masyarakat petani ketika masa waktu hak erfpacht habis pada tahun 1959. Masyarakat yang kecewa diredam amarahnya dengan diberikan kain sepanjang 4 meter per Kepala Keluarga (KK).
Lahan perkebunan sempat diolah kembali oleh masyarakat pada tahun 1959, namun setelah gejolak politik yang tidak kondusif pada 1965. Secara tiba-tiba, perkebunan seluas 526 Ha tersebut diberikan kepada PT Sumber Manggis tanpa izin kepada masyarakat di Desa Jogomulyan. Hak Guna Usaha (HGU) diberikan pada PT Sumber Manggis dengan HGU No. 33/HGU/DA/80 pada tahun 1980 selama 25 tahun untuk ditanami kopi, kakao, dan karet. Masyarakat yang melakukan pengajuan atas lahan seluas 526 Ha untuk kesejahteraan petani tidak pernah dihiraukan oleh kantor agraria dan instansi terkait. Kekecewaan masyarakat sempat mereda, masyarakat pasrah atas apa yang terjadi dengan lahan kelola yang sejak 1945 menjadi sumber penghidupan. Perlakuan PT Sumber Manggis pun diakui oleh masyarakat tidak adil karena PT Sumber Manggis tidak memberi perhatian khusus, dalam konteks memberi pekerjaan kepada masyarakat Desa Jogomulyan. PT Sumber Manggis lebih memilih untuk mendatangkan pekerja dari tempat lain.
Masyarakat yang pasrah karena rejim Orde Baru yang otoriter tidak berani melakukan bentuk perlawanan apapun mengingat kekuatan negara yang represif, apalagi yang bersinggungan dengan program landreform Orde Lama mudah dituduh sebagai komunis ataupun sebagai anggota PKI. Perlawanan petani hanya dilakukan melalui tindakan yang diam-diam dan terselubung. Namun, pada tahun 1999, setelah Orde Baru runtuh, tepatnya pada tanggal 1 September 1999, masyarakat petani kembali mengorganisir diri dan mengajukan surat permohonan pengambilalihan lahan yang dikuasai oleh PT Sumber Manggis kepada Menteri Agraria, Menteri Dalam Negeri, Dirjen Pemerintahan Umum dan otonomi Daerah (PUOD), Kepala Kantor Pertanahan Nasional Jawa Timur, dan BPN Malang. Namun, surat permohonan tersebut tidak pernah digubris oleh instansi-instansi terkait yang ditujukan.
Diabaikannya surat permohonan tersebut, membuat kemarahan masyarakat petani mencapai puncaknya. Salah satu warga Desa Jogomulyan, Sutikto, menjadi pimpinan kelompok petani masyarakat Jogomulyan dan memimpin aksi unjuk rasa kepada PT Sumber Manggis bahkan hingga membabat seluruh tanaman yang ditanam oleh PT Sumber Manggis berupa ribuan batang kakao dan karet seluas 526 Ha. Mereka juga membakar pabrik pengolahan hasil produksi dan tiga unit mobil milik PT Sumber Manggis. Tak hanya itu, mereka pun mengambil inventaris pabrik berupa pupuk, kayu, dan beberapa mesin yang kemudian dibawa pulang oleh masyarakat.
Selain melakukan perlawanan unjuk rasa dan pembabatan batang pohon milik PT Sumber Manggis, masyarakat pun membentuk P3T (Panitia Pemohon Penggarap Tanah) untuk berjuang merebut kembali haknya melalui jalur litigasi. P3T tersebut beranggotakan beberapa delegasi dari masyarakat Desa Jogomulyan, seperti Sutikto, Sukardi, Sutopo dan Sutoryono. Ada juga dari kalangan akademisi, yaitu Ir. Dwi Putranda. Pembentukan P3T ini bertujuan untuk menemui pejabat-pejabat negara atau lembaga terkait yang terlibat dalam proses penguasaan lahan. Upaya yang dilakukan oleh P3T salah satunya mengirim surat kepada Menteri Agraria, Menteri Dalam Negeri, Dirjen PUOD, serta BPN tingkat provinsi dan kabupaten pada tanggal 1 September 1999. Upaya tersebut juga mendapat dukungan dari Kepala Desa Jogomulyan, Mahmudi, dengan mengirim surat pernyataan dukungan atas nama seluruh masyarakat Jogomulyan untuk pengembalian lahan yang telah dirampas oleh PT Sumber Manggis pada tanggal 6 September 1999.
Upaya tersebut membuahkan hasil, bahkan HGU PT Sumber Manggis No. 33/HGU/DA/80 diduga palsu dan telah dimanipulasi oleh BPN Malang, Bupati Malang, hingga Gubernur Jawa Timur yang lebih mengutamakan kepentingan pemodal dari pada amanat UUPA 1960 yang mana lahan bekas hak erfpacht yang telah dikuasai oleh masyarakat diprioritaskan kepada masyarakat atau petani penggarap yang menggarap lahan-lahan tersebut. Pada akhirnya Pemerintah Daerah Malang, Menteri Dalam Negeri menyerahkan hak kelola melalui sertifikat hak kepemilikan lahan seluas 526 Ha kepada masyarakat petani penggarap Desa Jogomulyan yang diwakili oleh Panitia P3T pada tanggal 15 Desember 2011. Hingga saat ini, masyarakat petani Desa Jogomulyan dapat kembali menggarap lahannya.
Mohammad Eko Prasetyo dan Dra. Latifatul Izzah, M.Hum. 2013. Konflik Tanah Di Kecamatan Tirtoyudo Kabupaten Malang Tahun 1999. Artikel Ilmiah Mahasiswa: Jember.
LAMPIRAN
--Tidak Ada Lampiran--
JAWA TIMUR, KAB. MALANG
Nomor Kejadian | : | 020ARC |
Waktu Kejadian | : | 01-01-1965 |
Konflik | : | Eks-Perkebunan |
Status Konflik | : | Selesai |
Sektor | : | Perkebunan |
Sektor Lain | : | |
Investasi | : | Rp 0,00 |
Luas | : | 526,00 Ha |
Dampak Masyarakat | : | 0 Jiwa |
Confidentiality | : | Public |
KETERLIBATAN
- Pemerintah Desa Jogomulyan
- Menteri Pertanian dan Agraria
- Menteri Dalam Negeri
- Dirjen Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah (PUOD)
- Kantor Pertanahan Nasional Jawa Timur
- Badan Pertanahan Nasional (BPN) Malang
- Pemerintah Desa Jogomulyan
- PT Sumber Manggis
- Sutikto (Pemimpin Kelompok Tani Desa Jogomulyan)
- Panitia Pemohon Penggarap Tanah (P3T)
- Ir. Dwi Putranda
- Masyarakat Petani Penggarap Desa Jogomulyan
KONTEN
Perkebunan yang berada di Desa Jogomulyan, Kecamatan Tirtoyudo, Malang, pada awal mulanya merupakan sebuah perkebunan yang dikuasai oleh kolonial Belanda yang diberikan melalui hak erfpacht, namun kemudian karena Belanda pada tahun 1942 menyerah tanpa syarat kepada penjajah Jepang lahan perkebunan menjadi terlantar. Setelah kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, masyarakat petani yang dahulu menjadi pekerja paksa perkebunan Belanda tersebut mulai memberanikan dan mengorganisir diri mereka untuk menguasai perkebunan bekas hak erfpacht tersebut. Masyarakat mulai menanami tanaman yang mereka inginkan, yang pada umumnya berupa tanaman pangan seperti padi dan ketela.
Pada 1950, perusahaan Belanda tersebut kembali mereklaim hak erfpacht atas perkebunan di Desa Jogomulyan seluas kurang lebih 526 Ha. Pada saat itu, tanpa melibatkan masyarakat petani, kesepakatan yang dihasilkan atas perundingan dengan pihak desa dan kepolisian dengan pihak perkebunan seorang Belanda menyatakan bahwa perkebunan diberikan kembali kepada perusahaan Belanda karena memang hak erfpacht yang dimiliki oleh perusahaan tersebut masih tersisa 9 tahun sampai pada tahun 1959, meskipun kesepakatan tersebut hanya berupa kesepakatan secara lisan saja tanpa bukti tinta hitam di atas kertas putih. Melalui kesepakatan itu pula pihak perusahaan Belanda berjanji untuk mengembalikan hak kelola perkebunan di Desa Jogomulyan kepada masyarakat petani ketika masa waktu hak erfpacht habis pada tahun 1959. Masyarakat yang kecewa diredam amarahnya dengan diberikan kain sepanjang 4 meter per Kepala Keluarga (KK).
Lahan perkebunan sempat diolah kembali oleh masyarakat pada tahun 1959, namun setelah gejolak politik yang tidak kondusif pada 1965. Secara tiba-tiba, perkebunan seluas 526 Ha tersebut diberikan kepada PT Sumber Manggis tanpa izin kepada masyarakat di Desa Jogomulyan. Hak Guna Usaha (HGU) diberikan pada PT Sumber Manggis dengan HGU No. 33/HGU/DA/80 pada tahun 1980 selama 25 tahun untuk ditanami kopi, kakao, dan karet. Masyarakat yang melakukan pengajuan atas lahan seluas 526 Ha untuk kesejahteraan petani tidak pernah dihiraukan oleh kantor agraria dan instansi terkait. Kekecewaan masyarakat sempat mereda, masyarakat pasrah atas apa yang terjadi dengan lahan kelola yang sejak 1945 menjadi sumber penghidupan. Perlakuan PT Sumber Manggis pun diakui oleh masyarakat tidak adil karena PT Sumber Manggis tidak memberi perhatian khusus, dalam konteks memberi pekerjaan kepada masyarakat Desa Jogomulyan. PT Sumber Manggis lebih memilih untuk mendatangkan pekerja dari tempat lain.
Masyarakat yang pasrah karena rejim Orde Baru yang otoriter tidak berani melakukan bentuk perlawanan apapun mengingat kekuatan negara yang represif, apalagi yang bersinggungan dengan program landreform Orde Lama mudah dituduh sebagai komunis ataupun sebagai anggota PKI. Perlawanan petani hanya dilakukan melalui tindakan yang diam-diam dan terselubung. Namun, pada tahun 1999, setelah Orde Baru runtuh, tepatnya pada tanggal 1 September 1999, masyarakat petani kembali mengorganisir diri dan mengajukan surat permohonan pengambilalihan lahan yang dikuasai oleh PT Sumber Manggis kepada Menteri Agraria, Menteri Dalam Negeri, Dirjen Pemerintahan Umum dan otonomi Daerah (PUOD), Kepala Kantor Pertanahan Nasional Jawa Timur, dan BPN Malang. Namun, surat permohonan tersebut tidak pernah digubris oleh instansi-instansi terkait yang ditujukan.
Diabaikannya surat permohonan tersebut, membuat kemarahan masyarakat petani mencapai puncaknya. Salah satu warga Desa Jogomulyan, Sutikto, menjadi pimpinan kelompok petani masyarakat Jogomulyan dan memimpin aksi unjuk rasa kepada PT Sumber Manggis bahkan hingga membabat seluruh tanaman yang ditanam oleh PT Sumber Manggis berupa ribuan batang kakao dan karet seluas 526 Ha. Mereka juga membakar pabrik pengolahan hasil produksi dan tiga unit mobil milik PT Sumber Manggis. Tak hanya itu, mereka pun mengambil inventaris pabrik berupa pupuk, kayu, dan beberapa mesin yang kemudian dibawa pulang oleh masyarakat.
Selain melakukan perlawanan unjuk rasa dan pembabatan batang pohon milik PT Sumber Manggis, masyarakat pun membentuk P3T (Panitia Pemohon Penggarap Tanah) untuk berjuang merebut kembali haknya melalui jalur litigasi. P3T tersebut beranggotakan beberapa delegasi dari masyarakat Desa Jogomulyan, seperti Sutikto, Sukardi, Sutopo dan Sutoryono. Ada juga dari kalangan akademisi, yaitu Ir. Dwi Putranda. Pembentukan P3T ini bertujuan untuk menemui pejabat-pejabat negara atau lembaga terkait yang terlibat dalam proses penguasaan lahan. Upaya yang dilakukan oleh P3T salah satunya mengirim surat kepada Menteri Agraria, Menteri Dalam Negeri, Dirjen PUOD, serta BPN tingkat provinsi dan kabupaten pada tanggal 1 September 1999. Upaya tersebut juga mendapat dukungan dari Kepala Desa Jogomulyan, Mahmudi, dengan mengirim surat pernyataan dukungan atas nama seluruh masyarakat Jogomulyan untuk pengembalian lahan yang telah dirampas oleh PT Sumber Manggis pada tanggal 6 September 1999.
Upaya tersebut membuahkan hasil, bahkan HGU PT Sumber Manggis No. 33/HGU/DA/80 diduga palsu dan telah dimanipulasi oleh BPN Malang, Bupati Malang, hingga Gubernur Jawa Timur yang lebih mengutamakan kepentingan pemodal dari pada amanat UUPA 1960 yang mana lahan bekas hak erfpacht yang telah dikuasai oleh masyarakat diprioritaskan kepada masyarakat atau petani penggarap yang menggarap lahan-lahan tersebut. Pada akhirnya Pemerintah Daerah Malang, Menteri Dalam Negeri menyerahkan hak kelola melalui sertifikat hak kepemilikan lahan seluas 526 Ha kepada masyarakat petani penggarap Desa Jogomulyan yang diwakili oleh Panitia P3T pada tanggal 15 Desember 2011. Hingga saat ini, masyarakat petani Desa Jogomulyan dapat kembali menggarap lahannya.
Mohammad Eko Prasetyo dan Dra. Latifatul Izzah, M.Hum. 2013. Konflik Tanah Di Kecamatan Tirtoyudo Kabupaten Malang Tahun 1999. Artikel Ilmiah Mahasiswa: Jember.
LAMPIRAN
--Tidak Ada Lampiran-- |