Masyarakat Karang VS Taman Nasional Gunung Halimun Salak TNGHS
BANTEN, KAB. LEBAK
Nomor Kejadian
:
006
Waktu Kejadian
:
02-01-2014
Konflik
:
Taman Nasional
Status Konflik
:
Belum Ditangani
Sektor
:
Hutan Konservasi
Sektor Lain
:
Investasi
:
Rp 0,00
Luas
:
167,62 Ha
Dampak Masyarakat
:
2.387 Jiwa
Confidentiality
:
Public
KETERLIBATAN
- Menteri Kehutanan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
- Kepala Balai Penetapan Kawasan Hutan Wilayah XI Jawa-Madura
- Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
- Kepala Balai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak TNGHS
- Bupati Lebak
- Bupati Sukabumi
- Bupati Bogor
- Tim Terpadu Pengkajian Lapangan terkait Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Taman Nasional Gunung Halimun Salak
- -
- Masyarakat Adat Kasepuhan Karang
KONTEN
Kawasan hutan di dalam ekosistem Gunung Halimun - Salak yang terletak di wilayah administratif Kabupaten Lebak, Kabupaten Bogor, dan Kabupaten Sukabumi mengalami beberapa perubahan fungsi dan luasannya. Fungsi kawasan hutan di gunung Halimun Salak mengalami perubahan mulai dari status hutan rimba pada zaman kolonial sampai menjadi hutan konservasi (cagar alam) dan hutan lindung. Status hutan lindung selanjutnya berubah menjadi hutan produksi yang dikelola Perum Perhutani Unit III Jawa Barat pada tahun 1978 sedangkan status cagar alam beralih status menjadi Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) pada tahun 1992 melalui SK Menhut No. 282/Kpts-II/1992 seluas 40.000 ha. Kemudian ada perluasan taman nasional menjadi 113.367 ha dengan nama Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) melalui SK Menhut No.175/Kpts-II/2003. Dengan luasan TNGHS 113.367 ha, maka terdapat 42.925,15 ha yang masuk wilayah Lebak. Jumlah tersebut meningkat dari kawasan TNGH sebelumnya, yang hanya seluas 16.380 ha. Perluasan tersebut berakibat pula pada masuknya 44 desa yang tersebar di 10 kecamatan di Kabupaten Lebak ke dalam TNGHS. Secara geografis luas wilayah Kabupaten Lebak 304.472 ha yang terbagi menjadi 28 kecamatan dengan 340 desa dan 5 kelurahan. Sebagai wilayah yang memiliki hutan terluas di Provinsi Banten, tercatat Kabupaten Lebak memiliki hampir 32% sebagai hutan dengan fungsi lindung.
Kawasan TNGHS tersebut tumpang tindih dengan wewengkon Kasepuhan di antaranya Kasepuhan Citorek, Cirompang dan Karang. Tumpang tindih kawasan tersebut disertai dengan klaim penguasaan terhadap hutan sehingga berpotensi memunculkan konflik sosial sewaktu waktu. Tumpang tindih wewengkong kasepuhan dengan TNGHS sebagai berikut:
Wewengkon Kasepuhan Karang masuk ke dalam wilayah administratif Desa Jagaraksa, Kecamatan Muncang, Kabupaten Lebak. Desa Jagaraksa memiliki 7 kampung yaitu kampung Cikadu, Cilunglum, Karang, Cibangkala, Kapudang, Cimapag, dan Warung Pojok. Batas-batas administratif Desa Jagaraksa mengacu pada hasil pemetaan partisipatif (2014) yaitu: (1) Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Cikarang-Kecamatan Muncang, (2) Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Sobang-Kecamatan Sobang, (3) Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Pasirnangka-Kecamatan Muncang, dan (4) Sebelah Timur: berbatasan dengan Desa Maraya Kecamatan Sajira.
Berdasarkan hasil pemetaan partisipatif (2014), wilayah Desa Jagaraksa memiliki luas 1.081 ha. Luas wilayah tersebut terdiri atas leuweung kolot/paniisan (2,101 ha), leuweung cawisan (4,157 ha), pemukiman (22,411 ha), kebun (207,234 ha), sawah (359,997 ha), gunung Haruman (96,179 ha), dan hutan (389,207 ha). Dari total wilayah Desa Jagakarsa 1.081 ha, terdapat 67,625 ha diklaim masuk kawasan TNGHS. Dari 167,625 ha meliputi leuweung kolot/paniisan (1,616 ha), leuweung cawisan (4,157 ha), pemukiman (3,204 ha), kebun (96,573 ha), dan sawah (62,056 ha).
Dari luas kawasan TNGHS 113.367 ha yang tersebar di tiga kabupaten, terdapat 42.925,15 ha yang masuk ke wilayah Kabupaten Lebak. Mengacu pada kasus di tiga lokasi di atas, perkirakan berjumlah seluas 5.530 ha yang tumpang tindih dengan TNGHS. Hal ini tidak hanya menunjukkan adanya tumpang tindih kawasan tapi dapat dibaca lebih mendalam mengenai ketimpangan struktur agraria di sekitar kawasan TNGHS.
Rekomendasi Inkuiri Nasional KomnasHAM:
1. Pemerintah Daerah harus segera memutuskan Peraturan Daerah mengenai pengakuan Kasepuhan;
2. Pemerintah Kabupaten Lebak, Sukabumi dan Bogor perlu mendukung pemetaan partisipatif yang dilakukan masyarakat hukum adat;
3. Pada masa yang akan datang hutan negara menjadi kawasan hutan adat. Hutan adat dan hak terikat dengan fungsi ruang;
4. Harus segera dilakukan komunikasi antar Pemerintah Daerah (Bogor, Sukabumi dan Lebak) dan dijaga agar menjadi lebih baik;
5. Pemerintah Kabupaten Lebak, Sukabumi dan Bogor wajib melakukan survey tentang kondisi penguasaan tanah per rumah tangga (household survey) untuk memastikan program pengakuan hak masyarakat adat atas wilayah adat Nantinya betul-betul dapat membantu program pengentasan kemiskinan di kabupaten terkait (tidak hanya dinikmati oleh pihak-pihak yang sudah “kayaâ€);
6. Kementerian Lingkungan Hidup dan kehutanan perlu merumuskan kebijakan konservasi yang berbasis masyarakat – revisi UU 5/1990;
7. Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak perlu membuat standar operasional prosedur yang disusun bersama masyarakat tentang relasi taman nasional dan masyarakat adat;
8. Pemerintah Daerah agar membuat mekanisme khusus dalam penanganan konflik sumber daya alam antara masyarakat adat, Pemerintah dan Perusahaan memastikan partsipasi perempuan dalam semua proses dari perencanaan, pelaksanaan, sampai pada pengawasannya;
9. Manajemen pengelolaan taman nasional sangat penting untuk diperbaiki selaras dengan posisi masyarakat adat sebagai bagian dari pengelolaan taman nasional tersebut. Sebenarnya peraturan menjadi sangat penting. Apabila manajemen taman nasional terebut tidak diperbaiki maka eksistensi taman nasional akan semakin tidak mendapat legitimasi masyarakat.
Inkuiri Komnas HAM
LAMPIRAN
--Tidak Ada Lampiran--
BANTEN, KAB. LEBAK
Nomor Kejadian | : | 006 |
Waktu Kejadian | : | 02-01-2014 |
Konflik | : | Taman Nasional |
Status Konflik | : | Belum Ditangani |
Sektor | : | Hutan Konservasi |
Sektor Lain | : | |
Investasi | : | Rp 0,00 |
Luas | : | 167,62 Ha |
Dampak Masyarakat | : | 2.387 Jiwa |
Confidentiality | : | Public |
KETERLIBATAN
- Menteri Kehutanan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
- Kepala Balai Penetapan Kawasan Hutan Wilayah XI Jawa-Madura
- Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
- Kepala Balai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak TNGHS
- Bupati Lebak
- Bupati Sukabumi
- Bupati Bogor
- Tim Terpadu Pengkajian Lapangan terkait Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Taman Nasional Gunung Halimun Salak
- -
- Masyarakat Adat Kasepuhan Karang
KONTEN
Kawasan hutan di dalam ekosistem Gunung Halimun - Salak yang terletak di wilayah administratif Kabupaten Lebak, Kabupaten Bogor, dan Kabupaten Sukabumi mengalami beberapa perubahan fungsi dan luasannya. Fungsi kawasan hutan di gunung Halimun Salak mengalami perubahan mulai dari status hutan rimba pada zaman kolonial sampai menjadi hutan konservasi (cagar alam) dan hutan lindung. Status hutan lindung selanjutnya berubah menjadi hutan produksi yang dikelola Perum Perhutani Unit III Jawa Barat pada tahun 1978 sedangkan status cagar alam beralih status menjadi Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) pada tahun 1992 melalui SK Menhut No. 282/Kpts-II/1992 seluas 40.000 ha. Kemudian ada perluasan taman nasional menjadi 113.367 ha dengan nama Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) melalui SK Menhut No.175/Kpts-II/2003. Dengan luasan TNGHS 113.367 ha, maka terdapat 42.925,15 ha yang masuk wilayah Lebak. Jumlah tersebut meningkat dari kawasan TNGH sebelumnya, yang hanya seluas 16.380 ha. Perluasan tersebut berakibat pula pada masuknya 44 desa yang tersebar di 10 kecamatan di Kabupaten Lebak ke dalam TNGHS. Secara geografis luas wilayah Kabupaten Lebak 304.472 ha yang terbagi menjadi 28 kecamatan dengan 340 desa dan 5 kelurahan. Sebagai wilayah yang memiliki hutan terluas di Provinsi Banten, tercatat Kabupaten Lebak memiliki hampir 32% sebagai hutan dengan fungsi lindung.
Kawasan TNGHS tersebut tumpang tindih dengan wewengkon Kasepuhan di antaranya Kasepuhan Citorek, Cirompang dan Karang. Tumpang tindih kawasan tersebut disertai dengan klaim penguasaan terhadap hutan sehingga berpotensi memunculkan konflik sosial sewaktu waktu. Tumpang tindih wewengkong kasepuhan dengan TNGHS sebagai berikut:
Wewengkon Kasepuhan Karang masuk ke dalam wilayah administratif Desa Jagaraksa, Kecamatan Muncang, Kabupaten Lebak. Desa Jagaraksa memiliki 7 kampung yaitu kampung Cikadu, Cilunglum, Karang, Cibangkala, Kapudang, Cimapag, dan Warung Pojok. Batas-batas administratif Desa Jagaraksa mengacu pada hasil pemetaan partisipatif (2014) yaitu: (1) Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Cikarang-Kecamatan Muncang, (2) Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Sobang-Kecamatan Sobang, (3) Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Pasirnangka-Kecamatan Muncang, dan (4) Sebelah Timur: berbatasan dengan Desa Maraya Kecamatan Sajira.
Berdasarkan hasil pemetaan partisipatif (2014), wilayah Desa Jagaraksa memiliki luas 1.081 ha. Luas wilayah tersebut terdiri atas leuweung kolot/paniisan (2,101 ha), leuweung cawisan (4,157 ha), pemukiman (22,411 ha), kebun (207,234 ha), sawah (359,997 ha), gunung Haruman (96,179 ha), dan hutan (389,207 ha). Dari total wilayah Desa Jagakarsa 1.081 ha, terdapat 67,625 ha diklaim masuk kawasan TNGHS. Dari 167,625 ha meliputi leuweung kolot/paniisan (1,616 ha), leuweung cawisan (4,157 ha), pemukiman (3,204 ha), kebun (96,573 ha), dan sawah (62,056 ha).
Dari luas kawasan TNGHS 113.367 ha yang tersebar di tiga kabupaten, terdapat 42.925,15 ha yang masuk ke wilayah Kabupaten Lebak. Mengacu pada kasus di tiga lokasi di atas, perkirakan berjumlah seluas 5.530 ha yang tumpang tindih dengan TNGHS. Hal ini tidak hanya menunjukkan adanya tumpang tindih kawasan tapi dapat dibaca lebih mendalam mengenai ketimpangan struktur agraria di sekitar kawasan TNGHS.
Rekomendasi Inkuiri Nasional KomnasHAM:
1. Pemerintah Daerah harus segera memutuskan Peraturan Daerah mengenai pengakuan Kasepuhan;
2. Pemerintah Kabupaten Lebak, Sukabumi dan Bogor perlu mendukung pemetaan partisipatif yang dilakukan masyarakat hukum adat;
3. Pada masa yang akan datang hutan negara menjadi kawasan hutan adat. Hutan adat dan hak terikat dengan fungsi ruang;
4. Harus segera dilakukan komunikasi antar Pemerintah Daerah (Bogor, Sukabumi dan Lebak) dan dijaga agar menjadi lebih baik;
5. Pemerintah Kabupaten Lebak, Sukabumi dan Bogor wajib melakukan survey tentang kondisi penguasaan tanah per rumah tangga (household survey) untuk memastikan program pengakuan hak masyarakat adat atas wilayah adat Nantinya betul-betul dapat membantu program pengentasan kemiskinan di kabupaten terkait (tidak hanya dinikmati oleh pihak-pihak yang sudah “kayaâ€);
6. Kementerian Lingkungan Hidup dan kehutanan perlu merumuskan kebijakan konservasi yang berbasis masyarakat – revisi UU 5/1990;
7. Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak perlu membuat standar operasional prosedur yang disusun bersama masyarakat tentang relasi taman nasional dan masyarakat adat;
8. Pemerintah Daerah agar membuat mekanisme khusus dalam penanganan konflik sumber daya alam antara masyarakat adat, Pemerintah dan Perusahaan memastikan partsipasi perempuan dalam semua proses dari perencanaan, pelaksanaan, sampai pada pengawasannya;
9. Manajemen pengelolaan taman nasional sangat penting untuk diperbaiki selaras dengan posisi masyarakat adat sebagai bagian dari pengelolaan taman nasional tersebut. Sebenarnya peraturan menjadi sangat penting. Apabila manajemen taman nasional terebut tidak diperbaiki maka eksistensi taman nasional akan semakin tidak mendapat legitimasi masyarakat.
Inkuiri Komnas HAM
LAMPIRAN
--Tidak Ada Lampiran-- |