DATA DETIL
Kasepuhan Masyarakat Adat Ciptagelar Vs Taman Nasional Halimun-Salak

 BANTEN, KAB. LEBAK

Nomor Kejadian :  4d08n
Waktu Kejadian :  05-08-2017
Konflik :  Taman Nasional
Status Konflik :  Belum Ditangani
Sektor :  Hutan Konservasi
Sektor Lain  :  Hutan Lindung
Luas  :  0,00 Ha
Dampak Masyarakat  :  0 Jiwa
Confidentiality  :  Public

KETERLIBATAN

  • Menteri Kehutanan (Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan)
  • Kepala Balai Penetapan Kawasan Hutan Wilayah XI Jawa-Madura
  • Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
  • Kepala Balai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS)
  • Bupati Lebak
  • Bupti Sukabumi
  • Bupati Bogor
  • Tim Terpadu Pengkajian Lapangan terkait Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Taman Nasional Gunung Halimun Salak
  • Kasepuhan Masyarakat Adat Ciptagelar

KONTEN

Pada Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar, terdapat tradisi berpindah kampung beserta lahan garapan sebagai pengetahuan lokal mereka. Tradisi berpindah merupakan mekanisme untuk mengatasi tekanan penduduk. Masalah tekanan penduduk mesti diatasi untuk menjaga keberlangsungan tatanan adat mereka. Akan tetapi ketika kawasan Halimun sudah dikuasai oleh banyak pihak, Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar tentu akan sulit untuk menjalankan mekanisme tersebut, karena lahan sudah terbatas. Persoalan ini tentunya akan mempengaruhi sistem adat mereka, sehingga akan mempengaruhi keberlangsungan hidup mereka nantinya. Masyarakat Adat Kasepuhan merupakan
“penghuni lama” di tengah rimba Halimun, namun saat ini mereka sudah tidak sendiri lagi. Saat ini kawasan kasepuhan juga dikuasai oleh pemerintah dan beberapa korporasi nasional juga swasta. Saat ini ruang gerak Masyarakat Adat Kasepuhan semakin terbatas karena adanya batas-batas wilayah yang sudah tidak bisa lagi untuk diakses. Kawasan ekosistem Halimun merupakan kawasan hutan primer dan sekunder yang berada di wilayah Selatan Jawa Barat dan Banten. Istilah kawasan gunung Halimun muncul setelah sebagian wilayahnya dikelola oleh taman nasional. Adimiharja (1992) menyebutkan luas total dari kawasan ekosistem Halimun yakni 122.000 Ha, yang terdiri dari 82.000 Ha kawasan hutan lindung dan 40.000 Ha cagar alam. Kemudian bebekal informasi yang dikeluarkan oleh FAO (1978) dan kemudian diperkuat oleh LIPI-PHPA-JICA (1998), Taman Nasional Halimun memaknai kawasan ekosistem Halimun sebagai daerah resapan air terpenting yang menjaga ketersediaan air di wilayah Jawa Barat dan Banten. Selanjutnya, dengan kekayaan ekosistem yang dimiliki, kawasan Halimun dimaknai sebagai salah satu sumber penting pendapatan Negara. Sejak tahun 1970-an dimulailah kegiatan investasi berskala nasional dan internasional melalui perkebunan teh, hutan pinus, dan (TNGH) mendefinisikan kawasan gunung Halimun sebagai kawasan konservasi yang dikategorikan masih sangat baik di pulau Jawa. Berada di antara 106021’ BT dan diantara 6037’ – 60 31’ Barat Daya Propinsi Jawa Barat, dan terletak di ketinggian 500-1929 mdpl. Berdasarkan fungsi ekologi kawasan, para ahli konservasi dan lingkungan memaknai kawasan ekosistem Halimun sebagai daerah resapan air terpenting yang menjaga ketersediaan air di wilayah Jawa Barat dan Banten. Bagi korporasi dan Negara, kawasan Halimun merupakan wilayah yang berpotensi besar menghasilkan keuntungan. Saat ini kawasan yang mereka jaga ternyata bukan milik Masyarakat Adat Kasepuhan lagi seutuhnya. Saat ini sudah banyak pihak yang memiliki kekuasaan mengatur dan menguasai kawasan Halimun. Berlandaskan hukum nasional, saat ini Negara dan korporasi besar telah menguasai sebagian besar kawasan Halimun dengan beragam kepentingan.
Adapun beberapa pihak-pihak yang berhubungan dengan Masyarakat Adat Kasepuhan di arena Halimun adalah sebagai berikut.
a. Sebagai penanggung jawab konservasi hutan alam, TNGH mengembangkan Zonasi Hutan yang sesuai dengan Kepmenhut No. 282/Kpts-II/1992. Dengan menyatakan bahwa wilayah TNGH secara geografis terletak di antara
60 37’ - 60 51’ LS dan 1060 21’ - 1060 38 BT dengan luas 40.000 Ha yang tersebar di Kab. Lebak seluas 14.487 Ha dan
25.513 Ha di Kab. Bogor dan Kab. Sukabumi. Kemudian berdasarkan Kepmenhut baru, No.175/Kpts-II/2003, wilayah tersebut diperluas ke wilayah Gunung Salak, sehingga menjadi 113.357 Ha dengan nama baru Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Keberadaan TNGHS ini bertujuan untuk menjaga kelestarian kawasan ekosistem Halimun untuk kepentingan hidup orang banyak. Karena itulah kebijakan utamanya menjaga hutan dari segala hal yang bisa merusak hutan, termasuk upaya masyarakat mencari nafkah di hutan.
b. Sebagai BUMN penghasil keuntungan untuk Negara, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat mengembangkan industri kehutanan yang menghasilkan produk berupa barang dan jasa yang bermutu tinggi dan menghasilkan keuntungan banyak. Di kawasan ekosistem Halimun, wilayah kerja dan produksi Perum Perhutani terdiri dari Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Bogor seluas
69.872 Ha, KPH Sukabumi seluas

83.166 Ha dan KPH Lebak seluas

63.478,59 Ha. Lahan tersebut berasal dari asset nasionalisasi perkebunan VOC oleh nagara. Dalam pengembangan hutan produksi, awalnya perhutani sangat tegas menindak masyarakat yang masuk hutan mereka. Namun aktivitas perhutani tersebut mendapat perlawanan dari masyarakat. Menyikapi hal itu perhutani mengembangkan program Corporate Sosial Responsibility (CSR)- nya yang berupa sistem Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) untuk kembali merangkul masyarakat dalam menjaga dan menikmati hasil hutan. Namun berdasarkan tinjauan RMI (2004), sistem PHBM tersebut lebih berupa pengembangan lanjutan dari sistem culturestelsel dan preangerstelsel zaman VOC. Hal tersebut ditunjukkan Perhutani dengan membiarkan petani menanam palawija (yang ditentukan Perhutani jenisnya) di bawah tegakan
pohon pinus milik Perhutani, namun masyarakat harus membayar sebagai ganti sewa lahan.
c. Kegiatan usaha yang dilakukan PTPN VIII meliputi pembudidayaan tanaman, pengolahan/produksi, dan penjualan komoditi perkebunan teh (26.703 Ha), Karet (28.879 Ha), Kina (4.105 Ha), kakao (4.478 Ha), Kelapa Sawit (5.056
Ha), dan Getah Percha (714 Ha). Lahan yang digunakan berasal dari asset perkebunan VOC yang di nasionalisasi oleh Negara.
d. Pihak Korporasi Swasta diwakili oleh PT. Nirmala Agung dan PT. Aneka Tambang. Perkebunan Nirmala merupakan perkebunan teh seluas
971,22 Ha. Berasal dari lahan garapan perkebunan VOC yang dilanjutkan pihak swasta. Sementara itu PT Aneka Tambang merupakan perusahaan penambang emas yang 65% sahamnya dikuasai Negara dan selebihnya milik swasta. Penambangan emas dilakukan di Gunung Pongkor dengan luas area 4.058
Ha yang terletak di tiga desa (Bantar Karet, Cisarua dan Malasari).


INKUIRI NASIONAL KOMNAS HAM 2015, RMI

LAMPIRAN

--Tidak Ada Lampiran--