DATA DETIL
Sengketa Lahan PT Pagilaran di Lima Desa, Kecamatan Blado, Kabupaten Batang

 JAWA TENGAH, KAB. BATANG

Nomor Kejadian :  014ARC
Waktu Kejadian :  01-01-1966
Konflik :  Eks-Perkebunan
Status Konflik :  Belum Ditangani
Sektor :  Perkebunan
Sektor Lain  :  
Luas  :  450,00 Ha
Dampak Masyarakat  :  1.000 Jiwa
Confidentiality  :  Public

KETERLIBATAN

  • Pemerintah Desa Bismo
  • Pemerintah Desa Kalisari
  • Pemerintah Desa Godang
  • Pemerintah Desa Bawang
  • Menteri Dalam Negeri
  • Aparat Kepolisian
  • Badan Pertanahan Nasional (BPN)
  • Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada (UGM)
  • Perkebunan Negara (PN) Pagilaran
  • PT Pagilaran
  • T. Chandra Brata (Kepala Kebun PN Pagilaran)
  • Muklas (Kaki Tangan PN Pagilaran)
  • Kelompok Buruh
  • Paguyuban Masyarakat Gunung Kamulyan (PMGK)
  • Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang

KONTEN

Kondisi umum Indonesia, khususnya Kabupaten Batang, ketika era kolonialisme banyak wilayah-wilayah atau lahan-lahan yang dimanfaatkan oleh kolonial untuk diperoleh hasil sumber daya alamnya dalam bentuk perkebunan maupun pertanian yang menghasilkan komoditas-komoditas yang tentunya diperuntukkan untuk kepentingan kolonial. Begitu juga dengan Desa Bismo, Desa Kalisari, Desa Gondang, Desa Bawang yang berada di Kecamatan Blado Kabupaten Batang. Ketika kolonilaisme datang, wilayah-wilayah yang berada di desa-desa tersebut masih berupa kawasan hutan. Para penduduk yang tinggal di wilayah tersebut, akhirnya membuka kawasan hutan untuk dijadikan lahan garapan. Ketika kolonil Belanda datang, dan kemudian menyewa lahan-lahan yang telah dibuka oleh masyararkat dengan sewa murah dan tidak manusiawi (Lucas 19 dalam Nugroho 2007).

Kemudian, Belanda memanfaatkan lahan tersebut untuk ditanam tanaman kina dan kopi, namun gagal. Kondisi geografis yang berada di wilayah dataran tinggi tersebut akhirnya dialihkan menjadi perkebunan teh. Sistem sewa menyewa yang dilakukan Belanda pada saat itu sangat tidak manusiawi, yang mana masyarakat setempat dipekerjakan layaknya budak yang harus bekerja di lahan yang dikuasai Belanda (Nugroho 2007). Pada 1920, pemerintah Belanda mengundang investor asing yang berasal dari Inggris untuk mengambil alih perusahaan perkebunan tersebut, yang kemudian pada tahun 1928 didirikanlah perusahaan P&T Land’s (Nugroho 2007).

Pada tahun 1942 menjelang kemerdekaan, ketika Jepang menguasai Indonesia, Jepang merebut alih kekuasaan atas lahan tersebut dan menginstruksikan lahan-lahan yang berada di dalam wilayah Desa Bismo, Desa Kalisari, Desa Gondang, Desa Bawang, yang tengah dikelola oleh masyarakat tersebut untuk sebagian ditanami tanaman palawija dan jagung, serta tanaman pangan lainnya. Namun, sekitar 450 Ha komoditas teh tetap dipertahankan oleh msyarakat dengan status pinjaman – jepang memberi pinjaman lahan garapan kepada penduduk. Hingga kemudian Jepang angkat kaki dari bumi Indonesia.

Pada masa paska kemerdekaan, terkait dengan peraturan nasionalisasi aset-aset yang berstatus hak barat, tahun 1964, lahan tersebut berubah status menjadi Perkebunan Negara Pagilaran (PN Pagilaran) dan kemudian diserahkan pengelolaannya kepada Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada (UGM). Pada saat itu pun masyarakat tani masih menggarap lahan mereka seluas 450 Ha dengan intensif.

Akan tetapi, paska pecahnya kontra-revolusi (G30S), pada 1966, instruksi diberikan oleh T. Chandra Brata sebagai kepala bagian kebun PN Pagilaran kepada petani untuk menyerahkan lahan garapan atau mencabut status lahan garapan masyarakat seluas 450 Ha kepada perusahaan. Muklas, salah satu orang yang dipercaya oleh perusahaan, adalah yang bertugas untuk memastikan bahwa bukti-bukti lahan yang digarap oleh masyarakat seperti patok-patok lahan dicabut (Nugroho 2007). Banyak masyarakat yang berupaya untuk mempertahankan lahannya, dituduh sebagai komunis/PKI. Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1974, PN Pagilaran, melalui Surat Keputusan (SK) Mendagri No. SK/15/HGU/DA/83, PN Pagilaran berubah menjad Perseroan Terbatas Pagilaran (PT Pagilaran) dengan pemberian Hak Guna Usaha (HGU) selama 25 tahun dengan luas 1.131 Ha yang mana 450 Ha lahan yang berada di empat desa tersebut masuk ke dalam HGU yang berakhir pada tahun 2008. (Pahlefi, tanpa tahun).

Masyarakat tani yang masih merasa memiliki hak atas lahan seluas 450 Ha tersebut tidak tinggal diam sehingga pada tahun 2000, masyarakat tani tersebut kembali melakukan reklaiming dengan cara mematok lahan-lahan, pengaplingan, dan menggarap kembali lahan-lahan mereka. Karena tindakan tersebut, PT Pagilaran kemudian melibatkan aparat kepolisian untuk meneror dan mengintimidasi masyarakat yang melakukan reklaiming atau pendudukan kembali lahan. Dari ratusan petani, 21 di antaranya ditahan dan divonis bersalah. Bahkan 19 dari 21 masyarakat tani yang dinyatakan bersalah, diculik terlebih dahulu oleh pihak kepolisian sebelum ditahan (Nugroho 2007). Kemudian para petani dan masyarakat sipil bersama kelompok buruh bergabung dalam organisasi bernama Paguyuban Masyarakat Gunung Kamulyan (PMGK). PMGK juga turut melakukan aksi demonstrasi besar ke Fakultas Pertanian UGM pada tahun 2003. Secara litgasi, LBH Semarang turut membantu para petani untuk memperjuangkan haknya, namun tak ada satupun aparat pemerintahan yang mendukung tuntutan petani (Herwati 2013).

Hingga hari ini, masyarakat tani yang sudah menggarap lahan seluas 450 Ha lebih dari 20 tahun dan secara hukum seharusnya lebih diprioritaskan oleh pemerintah kepada masyarakat petani penggarap untuk memperoleh hak penguasaan hidup tidak menentu dan tidak berhasil memperoleh kembali hak atas tanahnya. Sementara upah menjadi buruh tani di PT Pagilaran pun diakuinya sangatlah rendah dan tidak mencukupi untuk menghidupi kehidupan keluarga sehari-hari. Alih-alih mengeluarkan lahan yang merupakan hak petani, BPN justru menerbitkan perpanjangan HGU atas tanah seluas 1.131 Ha melalui SK Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia No. 17/HGU/BPN.RI/2009 tanggal 27 Januari 2009 selama 25 tahun (Putusan 75/G/2009/PTUN.JKT).


Nugroho. 2007. Pergolakan Sosial Petani Teh Pagilaran Kabupaten Batang Tahun 1998-2000. Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang. Semarang: Skripsi; Pahlefi. ---. Sengketa Tanah HGU Antara PT Pagilaran Dengan Petani di Kabupaten Batang Provinsi Jawa Tengah. Jurnal Ilmu Hukum; Siti Rakhma Mary Herwari. 2013. Petani Melawan perkebunan: Perjuangan Agraria di Jawa Tengah. Bhumi No.37 Tahun 12; Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia. Putusan 75/G/2009/PTUN.JKT. Jakarta.

LAMPIRAN

--Tidak Ada Lampiran--