DATA DETIL
Sengketa Lahan antara TNI AD dan Petani Desa Sukorejo, Jember

 JAWA TIMUR, KAB. JEMBER

Nomor Kejadian :  019ARC
Waktu Kejadian :  15-08-1959
Konflik :  Eks-Perkebunan
Status Konflik :  Dalam ProsesHukum
Sektor :  Perkebunan
Sektor Lain  :  Sarana Militer
Luas  :  84,43 Ha
Dampak Masyarakat  :  100 Jiwa
Confidentiality  :  Public

KETERLIBATAN

  • Gubernur Jawa Timur
  • Panglima Teritorium V Brawijaya
  • Residen Besuki
  • Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD)
  • Aparat Militer
  • Menteri Pertanian dan Agraria
  • Komando Daerah Militer (Kodam) VIII Brawijaya
  • Kantor Inspeksi Agraria Jawa Timur
  • Panitia Landreform Tk. I dan Tk. II
  • Dirjen Agraria Jawa Timur
  • DPRD Jawa Timur
  • Operasi Tertib (Opstib) Pusat Jakarta
  • Bupati Jember
  • Menteri Dalam Negeri
  • Badan Pertanahan Nasional (BPN)
  • Petani Penggarap Desa Sukorejo

KONTEN

Pada awal abad ke 19, banyak migran yang berasa dari banyak daerah bermigrasi ke wilayah-wilayah yang masih berupa kawasan hutan untuk dibuka atau dibabat sebagai lahan pertanian ataupun perkebunan. Tak terkecuali kolonalis Belanda yang pada awal abad 19 terus melakukan eksplorasi hingga ke timur Pulau Jawa. Salah satu wilayah tersebut adalah Jember yang memiliki tanah yang subur untuk pelbagai macam jenis komoditas. Seorang yang bernama Onderneemer George Birnie menemukan lahan potensial unuk budidaya tanaman tembakau yang berada di Keresidenan Besuki yang pada 1858 mulai merintis wilayah yang secara umum masih merupakan kawasan hutan. Dengan modal yang dimiliki, Birnie, mengdatangkan para migran dan juga para pendatang lainnya untuk bekerja (secara paksa) padanya merintis kawasaan hutan tersebut dan juga membangun rel Penarukan-Klakah guna percepatan sarana distirbusi dan produksi. Kawasan yang telah dirintisnya akhirnya diajukan kepada pemerintah Belanda guna membuka perusahaan perkebunan tembakau. Pada 1870 terbitlah hak erfpacht untuk pengelolaan perkebunan selama 75 tahun oleh sebuah perusahaan Belanda bernama Landbouw Matschapij Ould Djember (LMOD). Hak erfpacht yang dimiliki oleh LMOD salah satunya adalah yang berada di wilayah Sukorejo melalui hak erfpacht NV LMOD Verponding No. 414.

Hak erfpacht yang dimiliki oleh LMOD seharusnya selesai pada tahun 1945, namun pada tahun 1942, Jepang masuk menguasai nusantara dan membuat Belanda menyerah tanpa syarat. Kondisi ekonomi politik wilayah perkebunan LMOD menjadi kacau yang kemudian secara praktis perkebunan tidak terurus dengan baik atau terlantar. Pada tahun 1954, para petani yang masih bertahan tetap mengolah lahan untuk memenuhi kebutuhannya tanpa terikat kontrak dengan perusahaan mana pun akhirnya mengajukan permohonan hak Yasan penggarapan tanah kepada Gubernur Jawa Timur dengan menerbitkan Surat Keputusan (SK) Gubernur No. G/B.A/7C/1709 pada tanggal 21 Desember 1954 yang menyatakan Panglima Teritorium V Brawijaya agar mengajukan hak atas tanah seluas 62,75 Ha dan sisa luas 290,75 Ha diserahkan kepada rakyat.

Kemudian pihak Angkatan Darat (AD) meminta kepada rakyat agar lahan seluas 22,75 Ha dengan biaya ganti rugi Rp2.500,-/Ha dan seluas 40 Ha dengan biaya ganti rugi Rp3.000,-/Ha untuk kepentingan militer pada tahun 1958. Selanjutnya, di tahun yang sama, Residen Besuki di Bondowoso mengeluarkan keputusan No. SAgr/7J/5434 pada tanggal 15 Desember 1958 yang menyatakan luas lahan keseluruhan yang berjumlah 354,25 Ha yang terbagi di antaranya 21,5 dialihkan kepada Panglima Teritorium V Brawijaya (Res. 19/Terr V Brawijaya), 40 Ha untuk kepentingan militer, dan 290,75 Ha untuk sementara waktu diberikan Hak Pakai oleh Residen Besuki kepada rakyat atas dasar Stlbd. 1940 No. 426.

Berdasarkan keputusan Residen Besuki tersebut dan SK Gubernur Jawa Timur (No. G/B.A/7C/1709) yang mana menyatakan lahan seluas total 62,74 Ha untuk TNI AD, tetapi pihak dari TNI AD justru melanggar ketetapan tersebut dengan meminta secara paksa kepada masyarakat petani atas lahan garapan seluas 22,75 Ha pada tanggal 15 Agustus 1959 dengan ganti rugi Rp3.000,-/Ha untuk membangun Militer Dipo. Batalyon AD. Kemudian, TNI AD kembali mengambil lahan seluas 176 Ha pada tanggal 8 Desember 1960, namun masyarakat menolak dan tidak mau menerima ganti rugi yang diberikan. Terkait dengan UU No.1 1958 tentang nasionalisasi aset hak barat, maka pada tanggal 26 Mei 1964 diterbitkan SK Menteri Pertanian dan Agraria No. 54/KA/1964 yang salah satu isinya menyatakan hak erfpacht NV LMOD dibatalkan dan dinyatakan sebagai lahan objek landreform untuk diserahkan kepada petani penggarap.

Pada tanggal 5 Agustus 1964, Kodam VIII Brawijaya cq Zeni mengajukan hak pakai kepada Inspeksi Agraria Jawa Timur untuk meminta tanah Sukorejo seluas 292,75 Ha melalui surat No. 8.703/1964. Menteri Pertanian dan Agraria kemudian merespon surat tersebut dengan kembali menerbitkan SK No. BM/49/19 yang ditujukan kepada panitia landreform Tk. I dan Tk. II yang menyatakan agar lahan yang dimaksud di dalam SK Menteri Pertanian dan Agraria No. 54/KA/1964 segera diredistribusikan kepada petani penggarap dan lahan seluas 62,75 Ha diberikan kepada TNI AD. Akan tetapi, karena pelaksanaan redistribusi yang lambat Panitia Landreform Tk. I dan Tk. II tidak pernah memberi kejelasan. Selama 4 tahun lamanya masyarakat Sukorejo mendesak Dirjen Agraria agar lahan tersebut segera diredistribusikan, terhitung semenjak 1965-1969.

Kemudian Dirjen Agraria kembali merespon melalui surat No. 18/2/86 tanggal 3 Agustus 1968 yang menolak permintaan Panglima V Brawijaya atas permintaan lahan 22,75 Ha yang berada di dalam lahan objek landreform seluas 292,75 Ha tersebut. Akan tetapi, pada 11 Agustus 1971, justru tanpa izin TNI AD mematok lahan tersebut dengan patok yang bertuliskan “Daerah Tertutup Tanah Milik Angkatan Darat” yang dijaga oleh Koramil. Jika ada masyarakat yang mendekat akan dipukuli atau disiksa. Selanjutnya, masyarakat terus menerus diintimidasi untuk menandatangani blangko kosong yang ternyata berisi pernyataan bahwa tanah telah diserahkan kepada TNI AD. Bagi siapa pun yang menolak untuk menandatangani akan dituduh komunis atau bagian dari PKI, diculik dan disiksa oleh TNI AD.

Sebagai upaya merebut kembali hak atas lahannya, masyarakat kemudian mengajukan permohonan kepada DPRD Jawa Timur untuk mendesak Gubernur Jawa Timur selaku Panitia Landreform melaksanakan hasil keputusan SK Menteri Pertanian dan Agraria No. 54/KA/1964 dan SK No. BM/49/19. Selain itu, masyarakat juga mengajukan surat kepada Bupati Jember untuk meminta kejelasan soal status tanah yang berada di Sukorejo. Namun, Bupati Jember menolak karena merasa bukan wewenang bupati, tapi wewenang Operasi Tertib (Opstib) Pusat Jakarta.

Setelah mendengar pernyataan Bupati Jember tersebut, berangkatlah masyarakat ke Opstib Pusat Jakarta pada tanggal 26 Maret 1981 meminta kejelasan terkait kasus Sukorejo. Alih-alih mendapat kejelasan dan solusi, masyarakat yang datang justru diperintahkan secara paksa oleh Opstib Pusat Jakarta untuk cap jempol surat pernyataan blangko kosong yang pernah dibuat atau direkayasa oleh TNI AD pada tahun 1971. Kemudian surat pernyataan tersebut dikirimkan kepada Menteri Dalam Negeri, dan atas surat tersebut, Dirjen Agraria dan Menteri Dalam Negeri menerbitkan surat No. 59/6064/AGR pada tanggal 10 Oktober 1983 kepada Gubernur Jawa Timur tentang tanah objek landreform yang dinyatakan dalam SK Menteri Pertanian dan Agraria No. 54/KA/1964 untuk dikeluarkan dari status objek landreform. Selain itu, surat tersebut juga menyatakan bahwa tanah seluas 200,61 Ha diberikan kepada TNI AD, sementara 154 Ha bagi masyarakat petani penggarap. Menurut berita terakhir yang didapat, pada tahun 2012, sengketa lahan antara masyarakat dan TNI AD menyisakan 84 Ha yang masih belum jelas statusnya dan sedang diperjuangkan oleh masyarakat.


Tri Chandra Aprianto. 2016. Perjuangan Landreform Masyarakat Perkebunan: Partisipasi Politik, Klaim, dan Konflik Agraria di Jember. STPN Press: Jember; Tri Chandra Aprianto. 2011. Dekolonisasi Perkebunan Di Jember Tahun 1930an-1960an. Tesis Program Studi Ilmu Sejarah Universitas Indonesia: Depok;

LAMPIRAN

--Tidak Ada Lampiran--