Masyarakat Adat Rejang Kehilangan Hak atas Hutannya
BENGKULU, KAB. REJANG LEBONG
Nomor Kejadian
:
24-10-2025
Waktu Kejadian
:
01-09-2016
Konflik
:
Taman Nasional
Status Konflik
:
Dalam Proses
Sektor
:
Hutan Konservasi
Sektor Lain
:
Investasi
:
Rp 0,00
Luas
:
0,00 Ha
Dampak Masyarakat
:
0 Jiwa
Confidentiality
:
Public
KETERLIBATAN
- Kementerian Kehutanan
KONTEN
Hubungan MHA Rejang dengan hutan mengalami gejolak ketika pemerintah orde baru menetapkan hampir seluruh kawasan hutan masyarakat Rejang di Kabupaten Lebong sebagai kawasan TNKS. Surat Menteri Pertanian No.736/ Mentan/X/1982, tertanggal 14 Oktober 1982 menetapkan TNKS seluas 1.484.660 hektar yang di dalamnya merupakan gabungan dari 17 kelompok Hutan Lindung Register tahun 1921-1926 yang sebelumnya ditetapkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Dalam perjalanannya, terdapat perubahan luas TNKS sehingga dilakukan pula pengukuran tata batas ulang melalui pemancangan pal batas dan rekonstruksi. Pendapat TNKS memicu konflik berkepanjangan antara pengelola kawasan dengan MHA Rejang, terutama karena paradigma konservasionis yang membersihkan hutan dari aktivitas manusia–ketika itu telah terjadi secara turun temurun. Dalam penetapan batas TNKS, pemerintah juga tidak melibatkan secara aktif MHA.
Penerbitan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 yang menguji Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, khususnya terkait dengan status hutan adat, memberi peluang masyarakat adat untuk mengelola kembali hutan adatnya yang sebelumnya dimasukkan ke dalam hutan negara. Salah satu kasus pengajuan hutan adat adalah Masyarakat Hukum Adat (MHA) Rejang, Kabupaten Lebong, Bengkulu, yang telah mengajukan pengakuan hutan adat selama 5 tahun namun terhambat pada SK Bupati tentang tim verifikasi dan identifikasi hutan adat.
Akibat dari penetapan wilayah TNKS adalah hilangnya hak MHA Rejang terhadap hutan adat dan tergerusnya identitas serta relasi sejarahnya terhadap wilayahnya. Pasca TNKS diputuskan, aparat kehutanan kerap melakukan aksi represif terutama menjelang akhir rezim orde baru selama tahun 1990-1998. Aksi represif ini menyebabkan trauma psikis hingga sebagian masyarakat tidak lagi melakukan aktivitas di hutan dan mencari alternatif ekonomi yang lain. Relasi MHA Rejang dengan hutannya tidak terbatas pada hutan sebagai tempat mencari penghidupan, namun juga sebagai tempat sakral yang tidak boleh didatangi sembarang orang, dan menebang pohon harus mengikuti aturan tertentu. Dengan kata lain, hutan memenuhi fungsi ekonomi, ekologis dan spiritual.
Sajogyo Institute
LAMPIRAN
--Tidak Ada Lampiran--
BENGKULU, KAB. REJANG LEBONG
| Nomor Kejadian | : | 24-10-2025 |
| Waktu Kejadian | : | 01-09-2016 |
| Konflik | : | Taman Nasional |
| Status Konflik | : | Dalam Proses |
| Sektor | : | Hutan Konservasi |
| Sektor Lain | : | |
| Investasi | : | Rp 0,00 |
| Luas | : | 0,00 Ha |
| Dampak Masyarakat | : | 0 Jiwa |
| Confidentiality | : | Public |
KETERLIBATAN
- Kementerian Kehutanan
KONTEN
Hubungan MHA Rejang dengan hutan mengalami gejolak ketika pemerintah orde baru menetapkan hampir seluruh kawasan hutan masyarakat Rejang di Kabupaten Lebong sebagai kawasan TNKS. Surat Menteri Pertanian No.736/ Mentan/X/1982, tertanggal 14 Oktober 1982 menetapkan TNKS seluas 1.484.660 hektar yang di dalamnya merupakan gabungan dari 17 kelompok Hutan Lindung Register tahun 1921-1926 yang sebelumnya ditetapkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Dalam perjalanannya, terdapat perubahan luas TNKS sehingga dilakukan pula pengukuran tata batas ulang melalui pemancangan pal batas dan rekonstruksi. Pendapat TNKS memicu konflik berkepanjangan antara pengelola kawasan dengan MHA Rejang, terutama karena paradigma konservasionis yang membersihkan hutan dari aktivitas manusia–ketika itu telah terjadi secara turun temurun. Dalam penetapan batas TNKS, pemerintah juga tidak melibatkan secara aktif MHA.
Penerbitan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 yang menguji Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, khususnya terkait dengan status hutan adat, memberi peluang masyarakat adat untuk mengelola kembali hutan adatnya yang sebelumnya dimasukkan ke dalam hutan negara. Salah satu kasus pengajuan hutan adat adalah Masyarakat Hukum Adat (MHA) Rejang, Kabupaten Lebong, Bengkulu, yang telah mengajukan pengakuan hutan adat selama 5 tahun namun terhambat pada SK Bupati tentang tim verifikasi dan identifikasi hutan adat.
Akibat dari penetapan wilayah TNKS adalah hilangnya hak MHA Rejang terhadap hutan adat dan tergerusnya identitas serta relasi sejarahnya terhadap wilayahnya. Pasca TNKS diputuskan, aparat kehutanan kerap melakukan aksi represif terutama menjelang akhir rezim orde baru selama tahun 1990-1998. Aksi represif ini menyebabkan trauma psikis hingga sebagian masyarakat tidak lagi melakukan aktivitas di hutan dan mencari alternatif ekonomi yang lain. Relasi MHA Rejang dengan hutannya tidak terbatas pada hutan sebagai tempat mencari penghidupan, namun juga sebagai tempat sakral yang tidak boleh didatangi sembarang orang, dan menebang pohon harus mengikuti aturan tertentu. Dengan kata lain, hutan memenuhi fungsi ekonomi, ekologis dan spiritual.
Sajogyo Institute
LAMPIRAN
| --Tidak Ada Lampiran-- |