DATA DETIL
Konflik Lahan di Padang Halaban

 SUMATERA UTARA, KAB. LABUHANBATU UTARA

Nomor Kejadian :  010ARC
Waktu Kejadian :  01-01-1968
Konflik :  Perkebunan Kelapa Sawit,Perkebunan Karet
Status Konflik :  Dalam ProsesMediasi
Sektor :  Perkebunan
Sektor Lain  :  
Luas  :  3.000,00 Ha
Dampak Masyarakat  :  2.040 Jiwa
Confidentiality  :  Public

KETERLIBATAN

  • TNI
  • Gubernur Sumatera Utara tahun 1975
  • Direktorat Agraria Sumatera Utara tahun 1975
  • Bupati Labuhan Batu
  • Bupati Labuhan Batu Utara
  • Kantor Badan Pertahanan Nasional Labuhan Batu
  • Plantagen Aktiengeschlischaft (Plantagen AG)
  • PT SMART Tbk
  • PT PP Panigoran Kebun Padang Halaban
  • PT Serikat Putra Kebun Padang Halaban

KONTEN

Desa Padang Halaban (kode pos: 21445) terletak di Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhanbatu Utara, Sumatera Utara. Berdasarkan pengakuan warga setempat, situs berita Mongabay.co.id melaporkan bahwa wilayah Padang Halaban sempat menjadi wilayah lumbung pangan di Sumatera Utara pada tahun 1960-an.

Pada tahun 1954, berdasarkan UU Darurat No. 8 tahun 1954, Presiden Soekarno memerintahkan rakyat Indonesia untuk menduduki lahan perkebunan, yang sebelum masa kemerdekaan dikuasai oleh Jepang. Sukarno juga memerintahkan warga setempat untuk menanami lahan tersebut demi memenuhi kebutuhan sehari-hari. Rasyim (86), bersama ribuan warga lainnya, kemudian menduduki lahan seluas 3000 ha dan membangun delapan desa di Padang Halaban. Pada tahun 1954, Kantor Reorganisasi Pemakaian Tanah (KRPT) a/n M Harahap, memberikan bukti kepemilikan tanah berupa Kartu Tanda Pendaftaran Pendudukan Tanah (KTPPT) kepada kampung-kampung yang didirikan warga. Sekitar 2.040 kepala keluarga di enam kampung dengan luasan sekitar 1-2 ha/KK, mendapat KTPPT pada tahun 1956. Surat itu menjadi dasar warga setempat untuk bercocok tanam palawija seperti jagung, padi, dan tebu, di lahan tersebut.

Berdasarkan “Kronologi Konflik Tanah Padang Halaban” yang diterbitkan ELSAM, pada tahun 1965, petani yang menggarap tanah di Padang Halaban dituduh sebagai anggota Barisan Tani Indonesia (BTI), organisasi tani yang dianggap berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Sebanyak 119 orang tokoh desa yang dituduh terlibat BTI itu kemudian dihilangkan oleh TNI. Setelah itu, tanah diambil TNI dan berangsur-angsur berpindah tangan kepada Plantagen Aktiengeschlischaft (Plantagen AG).

Pada tahun 1968, Rasyim dan warga desa dikumpulkan di balai agung (sekarang disebut balai desa). Warga disuruh menyerahkan surat KTPPT dengan alasan akan diperbarui. Ternyata, setelah surat-surat itu diserahkan, warga diusir dari tanah yang mereka kuasai. Warga yang melawan, atau menolak menyerahkan surat KTPPT, akan dilabeli anggota BTI atau simpatisan PKI agar tindakan represif terhadap mereka mendapat pembenaran. Tahun itu juga terjadi proses tawar-menawar ganti rugi tanah, karena tanah akan dijadikan perkebunan karet dan sawit oleh perusahaan Plantagen AG. Proses ini tidak disepakati seluruh warga. Akhirnya proses ganti rugi dipaksakan dengan todongan senapan tentara.

Upaya penggusuran dan pengusiran mendapat perlawanan dan protes dari warga setempat. Protes dan perlawanan itu berhenti sekitar tahun 1972, sejak rezim Orde Baru semakin kuat dan represif. Ikatan Korban Hilang (IKOHI) Sumatera Utara melaporkan bahwa terjadi intimidasi todongan senjata api laras panjang, pembunuhan, dan penghilangan orang secara paksa, selama periode 1969-1970. Komnas HAM pun menyebutkan, terjadi pelanggaran HAM berat yang dialami warga Padang Halaban, Labuhanbatu Utara. Sedangkan ELSAM melaporkan bahwa selama 1969-1972, terjadi penggusuran atas enam desa. Warga setempat direlokasi paksa dan dikonsentrasikan di area yang lebih sempit. Perkampungan di enam desa yang semula memiliki luas 3000 ha, diperkecil menjadi hanya 100 ha.

Masih pada periode tersebut, tanah seluas kurang lebih 5000 ha direbut dan dikuasai Plantagen AG. Pihak perusahaan mengaku bahwa apa yang mereka lakukan berdasar pada persetujuan antara Pemerintah RI dan Plantagen Aktiengeschllschaft tanggal 29 April 1968. Dalam persetujuan itu, pemerintah memberikan hak guna usaha (HGU) baru selama 30 tahun terhitung mulai tanggal 1 Mei 1968 (berakhir tahun 1999).

Sejak Reformasi 1998, para petani di Padang Halaban mengorganisasi diri dalam sebuah wadah yang disebut Kelompok Tani Padang Halaban dan Sekitarnya (KTPHS). Aksi-aksi protes kembali dilancarkan. Uang relokasi yang ditawarkan Gubernur Sumatera Utara kala itu ditolak. Masyarakat menuntut agar tanah mereka dikembalikan kepada petani. KTPHS kemudian bergabung dengan gerakan reforma agraria GERAG AGRESU. Melihat upaya penyelesaian yang berlarut-larut, para petani itu melakukan pendudukan (reclaiming) di bekas tanah mereka yang direbut PT SMART Tbk. Hingga tahun 2012, paling tidak 83 ha lahan telah diduduki para petani.

Tahun 2009, KTPHS melayangkan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Rantau Parapat. Pihak-pihak yang digugat di antaranya: PT SMART Tbk, PT PP Panigoran Kebun Padang Halaban, PT Serikat Putra Kebun Padang Halaban, Bupati Labuhan Batu, Bupati Labuhan Batu Utara, dan Kepala Kantor Badan Pertahanan Nasional Labuhan Batu. Dari empat belas poin tuntutan, KTPHS pada intinya meminta agar tanah seluas kurang lebih 3,000 ha yang terletak di Kecamatan Aek Uo, Kecamatan Na IX-X dan Kecamatan Marbau, Kabupaten Labuhanbatu, diakui sebagai milik dari pihak penggugat (KTPHS). Hasilnya, KTPHS kalah.

Tahun berikutnya, KTPHS mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Medan. Mereka kembali kalah karena putusan Pengadilan Tinggi Medan malah menguatkan keputusan Pengadilan Negeri Rantau Parapat. Tahun 2011, KTPHS mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Namun MA menolak permohonan KTPHS dan memenangkan PT SMART Tbk serta PT PP Panigoran Kebun Padang Halaban sebagai pemilik sah sertifikat HGU No. 1/Padang Halaban.

Jenis hak konsensi di wilayah Padang Halaban adalah hak guna usaha (HGU). Sekarang, HGU atas tanah seluas 5.639,20 ha dipegang oleh PT SMART Tbk, anak perusahaan dari Golden Agri-Resources Ltd (GAR). Aktivitas utama PT SMART Tbk adalah penanaman dan pemanenan pohon kelapa sawit, pengolahan tandan buah segar (TBS) menjadi minyak sawit (CPO) dan inti sawit, dan pemrosesan CPO menjadi produk bernilai tambah, seperti minyak goreng, margarin, shortening, biodiesel, serta perdagangan produk berbasis kelapa sawit.

PT SMART Tbk mengaku memegang HGU sejak tahun 1975, ketika perusahaannya masih bernama Maskapai Perkebunan Sumcamma Padang Halaban. Pengakuan itu didasarkan pada Surat Keputusan Gubernur Daerah Tingkat I Sumatera Utara Cq Kepala Direktorat Agraria Sumut, tanggal 22 Agustus 1975. Pada tanggal 23 Agustus 1996 telah diajukan permohonan perpanjangan HGU oleh PT. SMART Tbk. Dan berdasarkan SK Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 95/HGU/BPN/97, pada 6 Agustus 1997 telah diberikan perpanjangan HGU selama 25 tahun kepada PT SMART Tbk. Dengan demikian HGU PT SMART Tbk akan berakhir pada tanggal 1 Januari 2024.

PT SMART mengaku telah menggandeng Komnas HAM dan pemerintah daerah setempat untuk menyelesaikan konflik dengan KTPHS.


http://www.mongabay.co.id/2015/10/11/mencari-desa-hilang-di-padang-halaban/; http://lama.elsam.or.id/article.php?id=1981&lang=in; “Tanggapan atas Artikel Mongabay tentang Konflik Padang Halaban” (PR PT SMART Tbk)

LAMPIRAN

--Tidak Ada Lampiran--