DATA DETIL
Konflik Masyarakat Adat Kampung Nagahulambu dengan PT Toba Pulp Lestari

 SUMATERA UTARA, KAB. SIMALUNGUN

Nomor Kejadian :  31_IM
Waktu Kejadian :  28-12-2005
Konflik :  HPH
Status Konflik :  Belum Ditangani
Sektor :  Hutan Produksi
Sektor Lain  :  
Luas  :  0,00 Ha
Dampak Masyarakat  :  0 Jiwa
Confidentiality  :  Public

KETERLIBATAN

  • Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
  • PT TPL (Toba Pulp Lestari)
  • Masyarakat Adat Kampung Nagahulambu

KONTEN

Wilayah Adat Kampung Nagahulambu adalah bagian dari desa administrasi Desa Nagori Pondok Bulu, Kecamatan Dolok Pangaribuan, Kabupaten Simalungun. Meskipun berada di Kabupaten Simalungun, Nagahulambu masih merupakan bagian dari sub etnis Batak Toba. Dan untuk mempertahankan wilayah adatnya, masyarakat harus berjuang melawan perampasan tanah yang dilakukan oleh PT Toba Pulp Lestari (PT TPL). Konflik perampasan tanah oleh PT TPL atas wilayah adat Nagahulambu mulai mencuat pada tahun 2005 saat PT TPL melakukan penebangan atas berbagai tanaman milik warga. Pada waktu itu, warga sangat ketakutan karena PT TPL selalu didampingi aparat (Brimob) dengan senjata lengkap. Bahkan Kepala Desa waktu itu membuat pengumuman di kampung agar warga tidak ke ladang. Namun ternyata tujuannya hanya untuk mengelabui warga agar PT TPL bebas melakukan penebangan terhadap tanam-tanaman warga. Tanaman-tanaman seperti pohon-pohon alam yang berumur ratusan tahun, jengkol, petai, durian dan kopi, di bulldozer oleh PT TPL. Masyarakat berkali-kali memohon bahkan menyembah-nyembah pihak TPL agar tanaman-tanaman tersebut jangan dibuldozer, Namun diabaikan oleh pihak perusahaan.

PT TPL pernah berjanji untuk tidak akan membuldozer seluruh tanaman, khususnya pohon tuak (enau), tetapi kemudian pihak TPL membuldozer tanaman tersebut. Penebangan yang dilakukan oleh PT TPL sampai ke DAS (Daerah Aliran Sungai), sehingga sungai-sungai sudah mulai kering. Padahal sebelum kehadiran TPL, air sungai untuk memutar kincir air untuk kebutuhan listrik akhirnya tidak berfungsi

Padahal tahun 1981, Bupati JP Silitonga didukung Gubernur EWP Tambunan, sudah melakukan protes keras atas penebangan hutan di daerah ini dan mencabut ijin 42 pengusaha lokal pemegang HPH yang mengeksploitasi hutan di Simalungun, termasuk hutan Sibatuloting. Namun pada tahun 1984 Menteri Kehutanan memberikan konsesi kepada PT Inti Indorayon Utama (sekarang bernama PT Toba Pulp Lestari) di kabupaten ini seluas 25.000 hektar.

Sejarah Kepemilikan Tanah

Silambu marga Sinaga yang berasal dari Urat, Samosir, sampai ke Sipanganbolon, Girsang, Parapat (Simalungun). Ia bertemu dengan marga Sinaga yang telah mendiami Sibatu Nanggar, lalu ia pun pergi dari tempat itu dan mamukka huta (membuka perkampungan baru). Ia menamai huta (kampung) itu dari namanya, sehingga kampung itu bernama Nagahulambu.
Ketika tiba di kampung ini, Silambu marga Sinaga yang memiliki istri boru Sidabutar, namun karena tidak memiliki anak ia kembali menikah dengan boru Malau. Dari boru Malau, ia mendapatkan dua orang anak, salah satunya yaitu Sitampuk Sinaga. Sitampuk Sinaga memiliki anak yang bernama Sihati Sinaga, dan Sihati Sinaga memiliki anak bernama Diama Sinaga. Diama Sinaga memiliki dua orang istri. Boru Parhusip dari Tali Sungkit memberinya seorang anak yang dinamai Pahala Sinaga, dan Boru Jawa yang kini diberi marga Parhusip memberinya satu orang anak bernama Jaulada Sinaga.


Kini keturunan Sihulambu Sinaga telah memasuki generasi kedelapan, yaitu marga Sitio telah memasuki generasi keempat, marga Sialagan memasuki generasi keenam, dan marga Sitindaon telah memasuki generasi kelima, serta marga-marga lainnya seperti Pakpahan. Sebelum penjajahan Belanda warga hidup dengan rukun dan dapat menyelesaikan persoalan mereka dengan baik.



Pada masa Diama Sinaga menjadi Pangulu (Kepala Desa) atas Nagori Pondok Bulu, kemudian ia diangkat oleh Raja Siantar menjadi Partuanon atas kerajaan Nagori Pondok Bulu. Ketika itu pula Belanda membuat koloni hingga ke Simalungun. Ketika zaman penjajahan Belanda, masyarakat dipaksa untuk kerja rodi membangun jalan atau jembatan, dikenal dengan istilah lokal “marrodi”. Akibat kekerasan yang dilakukan oleh pemerintah Belanda saat itu, Pahala Sinaga mengintai dan menembak Komandan Belanda di Harian Ganjang. Karena peristiwa ini, pemerintah Belanda mengirimkan surat melalui Pangulu Diama Sinaga, meminta agar masyarakat di Nagahulmbu bertanggung jawab atas peristiwa penembakan itu. Pemerintah Belanda memerintahkan agar bertemu dengan masyarakat bahkan mengancam akan membakar kampung Nagahulambu jika perintah ini tidak dituruti.


Melihat warga kampung yang kalah jumlah dan peralatan perang, lalu Diama Sinaga mengerahkan masyarakat untuk bersembunyi ke Parjoringan dan Paronggangan yang berjarak 2,5 km dari kampung. Lokasi itu adalah perladangan yang menjadi tempat warga menanam tanaman pohon seperti jengkol, petai, dan lainnya. Warga yang ketakutan ini lalu membuat gubuk tempat persembunyian sambil tetap mengusahakan perladangan itu.


Belanda yang tidak berhasil menemukan warga, akhirnya marah dan membakar kampung Nagahulambu. Hingga kini lokasi tempat pembakaran Belanda tersebut dinamai Huta Namatutung (kampung yang terbakar). Setelah merasa aman, masyarakat kembali membuka kampung di sekitar kampung yang dibakar oleh Belanda tersebut.


Fungsi tanah adat Nagahulambu sebagai Sumber Perekonomian Masyarakat

Warga secara turun temurun telah menguasai dan mengelola tanah adat Nagahulambu untuk pertanian mereka. Pada umumnya warga Nagahulambu adalah petani dengan maragat tuak (menyadap pohon enau). Mereka juga memasok tuak ke kabupaten-kabupaten lain di sekitar Danau Toba. Awalnya tuak menjadi kebutuhan minum di kampung dan dijadikan gula merah. Tetapi akhirnya peminat tuak bertambah, mereka menjual secara langsung dan jarang mengolahnya menjadi gula merah karena membutuhkan waktu yang lebih lama. Di kemudian hari mereka mengambil buah pohon aren untuk dijadikan kolang kaling.

Selain hasil dari pohon aren, mereka juga tetap mengusahakan perladangan dengan menanam kopi dan mengambil hasil hutan seperti petai, jengkol yang ditanam oleh nenek moyang mereka di areal yang bernama Taluk Palia dan Tukkup yang merupakan hutan keramat yang dilindungi sebagai tempat penyimpanan air. Dari kampung ini setiap musin panennya, akan menghasilkan petai dan jengkol sekitar 30 truk.

Disisi lain dampak dari konsensi yang diberikan PT TPL, selain masyarakat kehilangan lahan pertanian/perladangan serta pohon-pohon alam lainnya yang berfungsi sebagai DTA, yang diwarisi selama ratusan tahun Masyarakat Nagahulambu juga kehilangan air bersih akibat penebangan di sekitar sumber air warga adanya alih fungsi lahan sawah menjadi tanaman muda (ladang) berakibat sumber air yang mengaliri persawahan tidak cukup untuk mengairi persawahan. Selanjutnya terjadi perubahan mata pencarian dari petani pemilik sawah/ladang menjadi buruh tani akhirnya berakibat pada terganggunya perekonomian warga. Selain itu juga berakibat pada tidak berfungsinya kincir air yang dibangun atas swadaya warga karena debit air tidak mampu lagi memutar kincir, hal ini disebabkan rusaknya Daerah Aliran Sungai (DAS) akibat penebangan yang dilakukan PT TPL; Dengan tidak berfungsinya kincir air, warga harus mengeluarkan biaya tambahan untuk membeli bahan bakar minyak untuk kebutuhan penerangan.


Upaya penolakan dilakukan oleh masyarakat atas kehadiran PT TPL dan terkadang masyarakat harus berhadapan langsung dengan aparatus keamanan khusunya Brimob. Aksi penolakan itu salah satunya terjadi pada 17 September 2012. Warga Nagahulambu bersama ratusan masyarakat Kecamatan Dolok Panribuan, Kabupaten Simalungun yang bergabung dalam Forum Mayarakat Tolak PT Toba Pulp Lestari (TPL) melakukan aksi unjuk rasa di kantor TPL Sektor Aek Nauli. Mereka menuntut PT TPL mengembalikan lahan pertanian warga yang diserobot TPL, yakni di Parjoringan, Talukpalia, Sitahoan, dan Tukkup. Hentikan intimidasi dari oknum aparat atas suruhan PT TPL kepada warga, warga juga menuntut PT TPL untuk menghentikan penimbunan sungai dan anak-anak sungai demi kepentingan penanaman eucalyptus dan jalan pengangkut kayu sehingga persawahan kering.


Selanjutnya pada 30 September 2012, warga Nagahulambu menyurati Bupati Simalungun agar memfasilitasi pertemuan warga dengan TPL untuk menuntut ganti rugi tanaman yang dirusak PT TPL sejak 2005-2012, namun tidak mendapatkan respon, selain aksi demostrasi warga juga melakukan pemetaan partisipatif untuk memetakan wilayah adatnya, diambil 6 titik dari batas terluar.


Keluarnya Putusan MK No.35/PUU-IX/2012 mengenai hutan adat memberi semangat perjuangan kepada masyrakat untuk mempertahankan wilayah adatnya sehingga pada 22 Juni 2013, warga memasang plank sebagai klaim di tanah adatnya dan ditidaklnjuti dengan pertemuan multi pihak pada 25 Juli 2013 yang dihadiri oleh Camat, Humas TPL, Kapolsek Tiga Dolok, masyarakat meminta agar TPL membuktikan tata batas yang telah dilakukan TPL pada areal konsesinya dan warga menunjukkan bukti lapangan tentang pengrusakan dan penebangan pohon alam yang dilakukan TPL hingga bibir sungai;


Pada 15 Agustus 2013, warga Nagahulambu dan sekitarnya yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Menggugat TPL, melakukan aksi damai ke kantor DPRD Simalungun dan Kantor Bupati Simalungun menuntut agar TPL keluar dari tanah adat, TPL menebang pohon alam sumber mata air warga dan hingga ke bibir sungai, dan agar TPL menarik 300-an brimob dari ladang warga dan pada 2 September 2013, ada kunjungan lapangan dari Komisi 1 DPRD Simalungun terkait kasus Nagahulambu, dibulan yang sama pada tanggal 24 September warga melakukan audiensi ke DPRD Simalungun untuk mempertannyakan hasil penyelidikan DPRD Simalungun ke lahan, namun warga kecewa atas rekomendasi yang dikeluarkan Komisi 1 DPRD Simalungun karena tidak sesuai dengan tuntutan warga.


Namun perjuangan warga tidak menyerah begitu saja dengan berkali-kali melayangkan surat keberatan kepada Bupati, DPRD, SKPD dan aparat kepolisian terkait kasus ini namun tidak mendapat tanggapan dan terakhir pada 8 Juni 2017, bersama masyarakat dari Tanah Batak melakukan aksi demonstrasi mengenai eksistensi masyarakat adat di Tanah Batak dan menuntut pengakuan Hak-hak Masyarakat Adat diakomodir dalam Peraturan Daerah


Untuk menujukkan hak kelolalahnya atas tanah adat, masyarakat menanami kembali ladang yang dirusak dengan tanaman pisang, jahe dan tanaman muda lainnya, namun selalu dirusak oleh TPL dan diganti dengan eucalyptus. Perjuangan yang dilakukan masyrakat juga harus berujung pada kriminlisasi. Salah seorang dari warga, Jahotman Nainggolan, divonis penjara 3 bulan dengan tuduhan melakukan pengancaman terhadap karyawan TPL.


BRWA

LAMPIRAN

--Tidak Ada Lampiran--